Sekjen
IAEI dan Anggota Pleno DSN-MUI
Krisis
keuangan Amerika Serikat saat ini, mulai merambah ke berbagai negara, termasuk
Indonesia. Pada tanggal 8 Oktober 2008, kemaren, IHSG tertekan tajam turun 10
%, demikian pula Nikken di Jepang jatuh lebih dari 9 %. Hampir semua pasar
keuangan dunia terimbas krisis financial US tersebut. Karena itu para
pengamat menyebut krisis ini sebagai krisis finansial global. Krisis keuangan
global yang terjadi belakangan ini, merupakan fenomena yang mengejutkan dunia,
tidak saja bagi pemikir ekonomi mikro dan makro, tetapi juga bagi para elite
politik dan para pengusaha.
Dalam
sejarah ekonomi, ternyata krisis sering terjadi di mana-mana melanda hampir
semua negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Krisis demi krisis ekonomi
terus berulang tiada henti, sejak tahun 1923,1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan
1998 – 2001 bahkan sampai saat ini krisis semakin mengkhawatirkan dengan
munculnya krisis finansial di Amerika Serikat . Krisis itu terjadi tidak saja
di Amerika latin, Asia, Eropa, tetapi juga melanda Amerika Serikat
.
Roy
Davies dan Glyn Davies, 1996 dalam buku The History of Money From Ancient time
to Present Day, menguraikan sejarah kronologi secara komprehensif. Menurut
mereka, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih 20kali kriss besar yang melanda
banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa secara rata-rata, setiap 5 tahun
terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta
umat manusia.
Pada
tahun 1907 krisis perbankan Internasional dimulai di New York, setelah beberapa
decade sebelumnya yakni mulai tahun 1860-1921 terjadi peningkatan hebat jumlah
bank di Amerika s/d 19 kali lipat. Selanjutnya, tahun1920 terjadi depresi
ekonomi di Jepang. Kemudian pada tahun 1922 – 1923 German mengalami krisis
dengan hyper inflasi yang tinggi. Karena takut mata uang menurun nilainya, gaji
dibayar sampai dua kali dalam sehari. Selanjutnya, pada tahun 1927 krisis
keuangan melanda Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada
bank-bank Taiwan
Pada
tahun 1929– 30 The Great Crash (di pasar modal NY) & Great Depression
(Kegagalan Perbankan); di US, hingga net national product-nya terbangkas lebih
dari setengahnya. Selanjutnya, pada tahun 1931 Austria mengalami krisis
perbankan, akibatnya kejatuhan perbankan di German, yang kemudian mengakibatkan
berfluktuasinya mata uang internasional. Hal ini membuat UK meninggalkan
standard emas. Kemudian1944 – 66 Prancis mengalami hyper inflasi akibat dari
kebijakan yang mulai meliberalkan perekonomiannya. Berikutnya, pada tahun 1944–
46 Hungaria mengalami hyper inflasi dan krisis moneter. Ini merupakan krisis
terburuk eropa. Note issues Hungaria meningkat dari 12000 million (11
digits)hingga 27 digits.
Pada
tahun 1945– 48 Jerman mengalami hyper inflasi akibat perang dunia kedua..
Selanjutnya tahun 1945 – 55 Krisis Perbankan di Nigeria Akibat pertumbuhan bank
yang tidak teregulasi dengan baik pada tahun 1945. Pada saat yang sama,
Perancis mengalami hyperinflasi sejak tahun 1944 sampai 1966. Pada tahun
(1950-1972) ekonomi dunia terasa lebih stabil sementara, karena pada periode
ini tidak terjadi krisis untuk masa tertentu. Hal ini disebabkan karena Bretton
Woods Agreements, yang mengeluarkan regulasi di sektor moneter relatif lebih
ketat (Fixed Exchange Rate Regime). Disamping itu IMF memainkan perannya dalam
mengatasi anomali-anomali keuangan di dunia. Jadi regulasi khususnya di
perbankan dan umumnya di sektor keuangan, serta penerapan rezim nilai tukar
yang stabil membuat sektor keuangan dunia (untuk sementara) "tenang".
Namun
ketika tahun 1971 Kesepakatan Breton Woods runtuh (collapsed). Pada hakikatnya
perjanjian ini runtuh akibat sistem dengan mekanisme bunganya tak dapat
dibendung untuk tetap mempertahankan rezim nilai tukar yang fixed exchange
rate. Selanjutnya pada tahun 1971-73 terjadi kesepakatan Smithsonian (di mana
saat itu nilai 1 Ons emas = 38 USD). Pada fase ini dicoba untuk menenangkan
kembali sektor keuangan dengan perjanjian baru. Namun hanya bertahan 2-3 tahun
saja.
Pada
tahun 1973 Amerika meninggalkan standar emas. Akibat hukum "uang buruk
(foreign exchange) menggantikan uang bagus (dollar yang di-back-up dengan
emas)-(Gresham Law)". Pada tahun 1973 dan sesudahnya mengglobalnya
aktifitas spekulasi sebagai dinamika baru di pasar moneter konvensional akibat
penerapan floating exchange rate sistem. Periode Spekulasi; di pasar modal,uang,
obligasi dan derivative. Maka tak aneh jika pada tahun 1973 – 1874 terjadi
krisis perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan
kompetisi pada supply of credit.
Pada
tahun 1974 Krisis pada Euro dollar Market; akibat west German Bankhaus ID Herstatt
gagal mengantisipasi international crisis. Selanjutnya tahun 1978-80 Deep
recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang
kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri.
Selanjutnya
sejarah mencatat bahwa pada tahun 1980 krisis dunia ketiga; banyaknya hutang
dari negara dunia ketiga disebabkan oleh oil booming pada th 1974, tapi ketika
negara maju meningkatkan interest rate untuk menekan inflasi, hutang negara
ketiga meningkat melebihi kemampuan bayarnya. Pada tahun 1980 itulah terjadi
krisis hutang di Polandia; akibat terpengaruh dampak negatif dari krisis hutang
dunia ketiga. Banyak bank di eropa barat yang menarik dananya dari bank di
eropa timur.
Pada
saat yang hampir bersamaan yakni di tahun 1982 terjadi krisis hutang di Mexico;
disebabkan outflow kapital yang massiveke US, kemudian di-treatments dengan
hutang dari US, IMF, BIS. Krisis ini jugamenarik Argentina, Brazil dan
Venezuela untuk masuk dalam lingkaran krisis.
Perkembangan
berikutnya, pada tahun1987 The Great Crash (Stock Exchange), 16 Oct 1987 di
pasar modal US & UK.Mengakibatkan otoritas moneter dunia meningkatkan money
supply. Selanjutnya pada tahun 1994 terjadi krisis keuangan di Mexico; kembali
akibat kebijakan finansial yang tidak tepat.
Pada
tahun 1997-2002 krisis keuangan melanda Asia Tenggara; krisis yang dimulai di
Thailand, Malaysia kemudian Indonesia, akibat kebijakan hutang yang tidak
transparan. Krisis Keuangan di Korea; memiliki sebab yang sama dengan Asteng.
Kemudian,
pada tahun 1998 terjadi krisis keuangan di Rusia; dengan jatuhnya nilai Rubel
Rusia (akibat spekulasi) Selanjutnya krisis keuangan melanda Brazil di tahun
1998. pada saat yang hamper bersamaan krisis keuangan melanda Argentina di
tahun 1999. Terakhir, pada tahun 2007-hingga saat ini, krisis keuangan
melanda Amerika Serikat.
Dari
data dan fakta historis tersebut terlihat bahwa dunia tidak pernah sepi dari
krisis yang sangat membayakan kehidupan ekonomi umat manusia di muka bumi ini.
Apakah
akar persoalan krisis dan resesi yang menimpa berbagai belahan dunia tersebut ?
Dalam
menjawab pertanyaan tersebut, cukup banyak para pengamat dan ekonom yang
berkomentar dan memberikan analisis dari berbagai sudut pandang.
Dalam
menganalisa penyebab utama timbulnya krisis moneter tersebut, banyak yang
berkonklusi bahwa kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental economic
fragility) adalah merupakan penyebab utama munculnya krisis ekonomi. Hal ini
seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International
Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment
Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: "Ekonomi yang mengalami inflasi
yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan
perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang,
tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak
dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan
ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis
ekonomi".
Ini
dengan jelas menunjukkan bahwa defisit neraca pembayaran (deficit balance of
payment), beban hutang luar negeri (foreign debt-burden) yang
membengkak--terutama sekali hutang jangka pendek, investasi yang tidak efisien
(inefficient investment),dan banyak indikator ekonomi lainnya telah berperan
aktif dalam mengundang munculnya krisis ekonomi.
Sementara
itu,menurut pakar ekonomi Islam, penyebab utama krisis adalah kepincangan
sektor moneter (keuangan)dan sektor riel yang dalam Islam dikategorikan dengan
riba. Sektor keuangan berkembangcepat melepaskan dan meninggalkan jauh sektor
riel. Bahkan ekonomi kapitalis,tidak mengaitkan sama sekali antara sektor
keuangan dengan sektor riel.
Tercerabutnyasektor
moneter dari sektor riel terlihat dengan nyata dalam bisnis transaksi maya
(virtual transaction) melalui transaksi derivatif yang penuh ribawi. Tegasnya,
Transaksi maya sangat dominan ketimbang transaksi riil.Transaksi maya mencapai
lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di
sektor riel berupa perdagngan barang dan jasa hanyasekitar limapersen saja.
Menurut
analisis lain, perbandingan tersebut semakin tajam, tidak lagi 95 % : 5 %,
melainkan 99% : 1 %. Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun
2007 di UINJakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di
pasaruang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$1,5
trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia
di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi
sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar,
yangspot, selebihnya adalah forward, futures,dan options.
Islam
sangat mencela transaksi dirivatif ribawi dan menghalalkan transaksi riel.
Hal ini dengan tegas difirmankan Allah dalam Surah Al-Baqarah : 275 : Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Sebagaimana
disebut di atas, perkembangan dan pertumbuhan finansial di dunia saat ini,
sangat tak seimbang dengan pertumbuhan sektor riel. Realitas ketidakseimbangan
arus moneter dan arus barang/jasatersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi
berbagai negara.
Pakar
manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidak seimbangan
antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni
fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang
dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi
(terutama di dunia pasar modal, pasar valas dan proverti), sehingga potret
ekonomi dunia seperti balon saja (bubble economy).
Disebut
ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi
apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy
adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun
tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh
ketinggalan perkembangannya.
Sekedar
ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter
Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar
modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun
dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS.
Padahal
arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar
7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan
arus barang (Didin S Damanhuri, Problem Utang dalam Hegemoni Ekonomi),
Dalam
ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar bukanlah variabel yang dapat ditentukan
begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam ekonomi Islam,
jumlah uang yang beredar ditentukan di dalam perekonomian sebagai variabel
endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel atau
dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang
dan jasa dalam perekonomian.
Dalam
ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riel, inilah
perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi
konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat
pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negara–negara berkembang
(terparah Indonesia). Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk
kepentingan sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang.
Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, khususnya
negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang
yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel.
Spekulasi
mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang.
Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia
(London, New York, Chicago, Tokyo,Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang
negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Lihat saja nasib
rupiah semakin hari semakin merosot dan nilainya tidak menentu.
Di
pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi
suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata
pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya
seperti Indonesia, jelas menjadi bulan-bulanan para spekulan. Demikian pula
ulah George Soros di Asia Tenggara.
Bagi
spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang
penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan
rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu
peristiwa politik yang menimbulkan ketidak pastian.
Menjelang
momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga
permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah secara semu
ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan
ketidak pastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam
jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan
anjlok.
Robin
Hahnel dalam artikelnya Capitalist Globalism In Crisis:Understanding the Global
Economic Crisis (2000), mengatakan bahwa globalisasi - khususnya dalam
financial market, hanya membuat pemegang asset semakin memperbesar jumlah
kekayaannya tanpa melakukan apa-apa. Dalam kacamata ekonomi Islam, mereka
meraup keuntungan tanpa 'iwadh (aktivitas bisnis riil,seperti perdagangan
barang dan jasariil) Mereka hanya memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang
terdapat dalam pasar uang dengan kegiatan spekulasi untuk menumpuk kekayaan
mereka tanpa kegiatan produksi yang riil. Dapat dikatakan uang tertarik pada
segelintir pelaku ekonomi meninggalkan lubang yang menganga pada sebagian besar
spot ekonomi.
They
do not work, they do not roduce, they trade money for stocks, stocks for bonds,
dollars for yen, etc.They speculate that some way to hold their wealth will be
safer and more remunerative than some other way. Broadly speaking, the global
credit system has been changed over the past two decades in ways that pleased
the speculators (Hahnel, 2000).
Hahnel
juga menyoroti bagaimana sistem kredit atau sistem hutang sudah memerangkap
perekonomian dunia sedemikian dalam. Apalagi mekanisme bunga (interestrate)
juga menggurita bersama sistem hutang ini. Yang kemudian membuat sistem
perekonomian harus menderita ketidak seimbangan kronis. Sistem hutang ini
menurut Hahnel hanya melayani kepentingan spekulator, kepentingan segelintir
pelaku ekonomi. Namun segelintir pelaku ekonomi tersebut menguasai sebagian
besar asset yang ada di dunia. Jika kita kaji pemikiran Hahner ini lebih
mendalam akan kita lihat dengan sangat jelas bahwa perekonomian akan berakhir
dengan kehancuran akibat sistem yang dianutnya, yakni kapitalisme ribawi
Penasihat
keuangan Barat, bernama Dan Taylor, mempunyai keyakinan bahwa sistem
kewangan dan perbankan Islam mempuyai keunggulan system yang lebih baik
berbanding dengan sistem keuangan Barat yang berasaskan riba. Krisis keuangan
yang sedang dihadapai oleh negara-negara Barat seperti USA dan UK memberikan
kekuatan secara langsung dan tidak langsung kepada sistem finansial Islam yang
berdasarkan Syariah. Sistem keuangan Barat sudah runtuh.... "Islamic finance
and banking willwin", begitulah kata penasihat kewangan Barat. BDO Stoy
Hayward says financial turmoil puts Islamic products in strong position.
According
to the financial advisers Islamic banks areone of the few financial
institutions who still have significant sums of money available to finance
individuals and corporates, unlike their western banking counterparts, who will
only continue to constrict their lending policies inlight of the current
economic crisis.
Dan
Taylor, Head of Banking at BDO Stoy Hayward, says: "As the riskprofile of
Islamic Banks is generally lower than conventional western banks, this presents
a more solid option for both retail and institutional investors and suggests
that dealings with Islamic financial institutions will grow dramatically as
people switch to more secure products in this environment."
"Further
growth of Islamic banking in the UK will also be attributed to their more
conservative approach to financing, as the risks are shared with theinvestor,
much like the private equity model. In addition, it is more difficult for
Islamic financial institutions to use leverage; therefore their risk profile is
naturally lower," continues Taylor (Ahmad Sanusi Husein, IIUM)
Kembali
kepada aktivitas riba para spekulan, bahwa Mereka meraup keuntungan dari
selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi
para spekulan untuk bermain. Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi
Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas
masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa
akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan
sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel.
Dengan
demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya
adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang
mengandung riba, termasuk transaksi-transaksi maya di pasar uang. Gejala
decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang
bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah
menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka
yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar
AS.
Dapat
disimpulkan, perekonomian saat ini digelembungkan oleh transaksi maya yang
dilakukan oleh segelintir orang di beberapa kota dunia, seperti London (27
persen), Tokyo-Hong Kong-Singapura(25 persen), dan Chicago-New York (17
persen). Kekuatan pasar uangini sangat besar dibandingkan kekuatan perekonomian
dunia secara keseluruhan.Perekonomian global praktis ditentukan oleh perilaku
lima negara tersebut.
Karena
itu, Islam menolak keras segala jenis transaksi maya seperti yang terjadi di
pasar uang saat ini. Sekali lagi ditegaskan, "Uang bukan komoditas".
Praktek penggandaan uang dan spekulasi dilarang. Sebaliknya, Islam mendorong
globalisasi dalam arti mengembangkan perdagangan internasional.
Dalam
ekonomiIslam, globalisasi merupakan bagian integral dari konsep universal
Islam. Rasulullah telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja.
Ketika berusia belasan tahun, dia telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman, dan
beberapa negara di kawasan Teluk sekarang. Sejak awal kekuasaannya, umat Islam
menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya dua
abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai EropaUtara.
Ternyata nilai-nilai ekonomi syariah selalu aktual, dan terbukti dapat menjadi
solusi terhadap resesi perekonomian.
Di
zaman Nabi Muhammad jarang sekali terjadi resesi. Zaman khalifah yang empat
juga begitu.Pernah sekali Nabi mengalami defisit, yaitu sebelum Perang Hunain,
namun segeradilunasi setelah perang. Di zaman Umar bin Khattab (khalifah kedua)
dan Utsman (khalifahketiga) , malah APBN mengalami surplus. Pernah dalam zaman
pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tak dijumpai lagi satu orang
miskinpun!!!
Apa
rahasianya? Kebijakan moneter Rasulullah Saw -- yang kemudian diikuti oleh para
khalifah -- selalu terkait dengan sektor riil perekonomian berupa perdagangan .
Hasilnya adalahpertumbuhan sekaligus stabilitas.
Pengaitan
sektor moneter dengan sektor riil merupakan obat mujarab untuk mengatasi
gejolak kurs mata uang -- seperti yang melanda Indonesia sejak akhir 1997
sampai saat ini. "Perekonomian yang mengaitkan sektor moneter langsung
dengansektor riil akan membuat kurs mata uang stabil." Inilah yang
dijalankan bank-bank Islam dewasa ini, di mana setiap pembiayaan harus ada
underline transactionnya.Tidak seperti bank konvensional yang menerapkan sistem
ribawi.
Tantangan
umatIslam dewasa ini adalah menunjukkan keagungan dan keampuhan ekonomi
syariah.Tidak hanya bagi masyarakat muslim, melainkan juga bagi masyarakat non
muslim,tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia international. Islam
ternyata mewariskan sistem perekonomian yang tepat, fair, adil, manusiawi,
untuk menciptakan kemaslahatan dankesejahteraan hidup, tidak hanya di dunia,
tapi juga di akhirat . Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar