Studi Kasus atas Respon PNS
Terhadap UU No. 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat
dan
UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan
by Ipah Jahrotunasipah
Abstrak
Pembayaran zakat profesi oleh para
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintahan Kota Cirebon hingga kini belum
mengembangkan metode withholding (pemotongan
gaji). Ia belum dilihat sebagai modal social yang potensial dan
masih bertumpu
pada kerelaan (kesediaan) muzakki. Padahal
kontribusi besaran zakat profesi terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan
penyelesaian persoalan sosial lainnya sangatlah signifikan. Karena itu, penulis
memandang perlu untuk melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang
memengaruhi keputusan PNS di Lingkungan Pemerintah Daerah Kota Cirebon untuk
membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
Metodologi dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi linear sederhana dan
regresi linear berganda dengan menempatkan faktor pengetahuan, budaya, motivasi
dan regulasi sebagai variabel independen dan kesediaan sebagai faktor dependen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor-faktor tersebut berpengaruh kuat dan sedang terhadap kesediaan baik
secara parsial maupun secara serentak. Seperti ditunjukkan oleh nilai r secara
berturut-turut, yaitu 0,755; 0,78; 0,86; dan 0,837 untuk yang parsial. Dengan
demikian r untuk semua variabel > dari 0 dan H0 ditolak dan H1
diterima. Begitu juga hasil analisis regresi berganda menunjukkan nilai r = 0, 946 > 0. Artinya, total variabel X
(X1+X2+X3+X4) mempunyai pengaruh
terhadap variabel kesediaan, dengan persamaan regresi: Y = -2,641 +
0,19X1 + 0,020X2 + 0,062X3 + 0,051X4 . Artinya, hipotesis semakin tinggi
pengetahuan, budaya bersedekah, motivasi dan pemahamannya terhadap regulasi
zakat dan pajak di Indonesia akan semakin memengaruhi tingkat kesadaran dan
kesediaan berzakat para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah
Daerah Kota Cirebon melalui BAZ/LAZ, diterima.
Selain itu, dari penelitian ini juga
diperoleh data bahwa 85,7% responden
menyatakan bersedia untuk pembayaran zakat profesi melalui BAZ/LAZ
dengan cara pemotongan gaji.
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakng
Masalah
Berdasarkan UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, lembaga
pengelola zakat terdiri atas Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Badan
Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah,
baik di tingkat nasional maupun provinsi hingga kecamatan. Sedangkan Lembaga
Amil Zakat (LAZ), adalah institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh
masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah, untuk melakukan kegiatan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan
agama.[1]
BAZ/LAZ tersebut belum banyak mengembangkan metode pemungutan zakat
profesi melalui metode withholding
(pemotongan gaji) (withholding tax)
oleh Manajemen Perusahaan selaku pemberi kerja. Padahal, meknisme withholding tax ini terbukti telah
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan pajak di Indonesia,
yaitu antara lain berupa pajak penghasilan karyawan (PPh Pasal 21), yakni pajak
penghasilan yang dipotong dari gaji karyawan. Faktor keberhasilan metode
tersebut adalah karena pengelolaan pajak dilakukan oleh negara yang di dalamnya
terdapat unsur sanksi hukum bagi yang tidak melaksanakannya.
Pengaturan tentang zakat profesi ini juga telah dikukuhkan dengan UU
Pajak No 17 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa zakat penghasilan adalah komponen
pengurang pajak.[2]
Meski demikian, sejumlah penelitian zakat di beberapa daerah menunjukkan bahwa
pengelolaan dana-dana zakat baik dalam hal pengumpulannya maupun pendistribusiannya
masih menunjukkan adanya keterbatasan-keterbatasan yang juga disebabkan oleh
kebijakan yang belum berpihak.
Misalnya, penelitian di Sukoharjo[3]
dan Kabupaten Gresik[4]
yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pemotongan zakat profesi sebagai komponen
pengurang pajak belum dapat dilaksanakan secara maksimal dikarenakan (1) masih
adanya keraguan dari pemerintah daerah setempat; (2) tidak ada kerjasama yang
baik antara pemerintah daerah dan dirjen pajak, antara BAZ/LAZ dengan
pemerintah (3) serta kesadaran muzakki untuk berzakat melalui BAZ/LAZ masih
rendah. Berbeda dengan pengalaman di Kabupaten Bengkulu. Pemotongan zakat
dengan system withholding telah
berhasil dilaksanakan dengan baik pada zakat profesi PNS di lingkungan Pemda
setempat dengan menggunakan SK Walikota No. 20 Tahun 2008.
Termasuk Kota Cirebon, pemerintahannya hingga kini belum menunjukkan
ke arah upaya pelaksanaan kedua UU tersebut. Sebagai studi awal, hasil
interview dengan Kepala Bagian Zakat dan Wakaf Kementrian Agama Kota Cirebon
menyebutkan pihaknya belum bisa menerapkan secara utuh kedua Undang-undang
tersebut (UU No 38 Th 1999 dan UU No 17 Th 2000). Menurutnya, pelaksanaan kedua
Undang-undang tersebut masih diasumsikan memberatkan pegawai terkait dengan
kondisi banyak hal. “baru tahun ini kami akan bekerja sama dengan Pemda supaya
Walikota memberikan himbauan agar seluruh pegawai di lingkungan pemerintahannya
berzakat melalui lembaga zakat BAZ/LAZ”, ungkapnya.[5]
Meskipun pengelolaan zakat profesi ini di Indonesia belum dilakukan
oleh negara, namun bukan berarti para pegawai tidak dapat membayar zakat profesi
melalui BAZ atau LAZ dan menjadikannya sebagai komponen pengurang pajak. Seperti diatur oleh UU Pajak No. 17 Tahun 2000, yakni dengan cara melampirkan lembar ke-1 surat setoran zakat atau
fotocopinya yang telah dilegalisir oleh Badan Amil Zakat yang telah
disyahkan/dikukuhkan pemerintah penerima setoran zakat, yang bersangkutan pada
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atas
penghasilan tersebut.[6]
Akan tetapi, metode ini hanya mungkin dapat
dilakukan jika terdapat faktor kesediaan pegawai untuk dilakukan pemotongan
gaji guna membayar zakat profesinya.
Karena itu, sebagai
upaya optimalisasi pengelolaan dan pendistribusian dana-dana zakat, diperlukan
penelitian untuk melihat lebih jauh faktor-faktor yang memengaruhi pengumpulan
zakat profesi, misalnya pada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah
Kota Cirebon. Hal ini dilakukan untuk melihat peluang sejauhmana metode
withholding dapat diterapkan di Kota Cirebon, dengan cara melihat
(menganalisis) respon-respon yang diberikan terhadap kehadiran kedua
Undang-undang tersebut, yakni UU no 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan
UU no 17 Tahun 2001 tentang Pajak Penghasilan. Peluang yang baik sejatinya
direspon dengan segera, terutama dalam hal ini, oleh pemerintah. Maka, harapan bersama
untuk membangun kesejahteraan, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan ekonomi
masyarakat dapat mewujud.
b.
Pertanyaan
Penelitian
Dalam penelitian ini
terdapat tiga pertanyaan yang diajukan, pertama apakah tingkat keputusan PNS untuk membayar zakat profesi melalui
pemotongan gaji dipengaruhi oleh variable pengetahuan pegawai mengenai zakat,
budaya bersedekah pegawai dan lingkungannya, motivasi pegawai, dan keteraksesan
pegawai atas regulasi zakat dan pajak? Kedua, Berapa jumlah PNS secara statistik melalui besaran prosentase, yang menyatakan kesediaan
untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji?
Dan ketiga, bagaimana tingkat perkembangan penerimaan zakat dalam 2
(dua) tahun terakhir? Apakah menunjukkan
perkembangan yang signifikan pasca diundangkannya UU No. 38 Tahun 1999 dan UU
Pajak Tahun 2000?
c.
Kerangka Pemikiran
Pertanyaan
penelitian tersebut didasarkan pada kerangka pemikiran sebagaimana
diilustrasikan oleh bagan kerangka di bawah ini:
Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran
|
||||||
![]() |
||||||
|
||||||
|
||||||
|
||||||
d.
Hipotesis
Berdasarkan
uraian di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a)
Factor-faktor yang
memengaruhi pembayaran
zakat profesi pada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintahan Kota Cirebon
adalah factor pengetahuan, factor
budaya, factor motivasi dan factor regulasi tentang zakat dan pajak;
b)
Semakin tinggi
pengetahuan, budaya bersedekah, motivasi dan ketersediaan regulasi zakat dan
pajak di Indonesia akan semakin memengaruhi tingkat
kesadaran dan kesediaan berzakat para Pegawai Negeri
Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah
Daerah Kota Cirebon melalui BAZ/LAZ;
e.
Metode
penelitian
Penelitian ini menempatkan variable
dependent berupa keputusan (kesadaran
dan kesediaan)
pegawai untuk dilakukan pemotongan zakat profesi atas gaji dan variable
independent berupa pengetahuan pegawai, budaya pegawai dan lingkungannya,
motivasi dan keteraksesan pegawai atas regulasi zakat dan pajak.
Untuk memecahkan masalah
penelitian akan dilakukan metode kuantitatif dengan jenis data yang dipakai
adalah data primer. Data primer diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner
berupa sejumlah pernyataan dan pertanyaan. Untuk melihat pengaruh masing-masing
variabel independen berupa pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi digunakan
kalimat-kalimat pernyataan/pertanyaan yang kemudian diberikan skor dengan
menggunakan skala likert.
Selanjutnya, analisis terhadap
data primer yang diperoleh akan menggunakan analisis regresi, berupa regresi
linear dan regresi berganda. Regresi linear digunakan untuk melihat tingkat
pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
Sedangkan analisis regresi berganda digunakan untuk melihat tingkat pengaruh
semua variabel secara serentak terhadap variabel dependen.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh PNS yang
dianggap telah berpenghasilan melebihi nishab
dan mengandung potensi sebagai muzakki, yaitu PNS yang bergolongan IIIa ke
atas.
LANDASAN TEORI
A.
Konsep
Dasar Zakat Profesi
1.
Pengertian
Zakat Profesi
Zakat
menurut bahasa, merupakan bentukan dari kata zaka – yazku – zakâan, zakâtan, yang berarti berarti namâ = tumbuh (kesuburan), barakah
= keberkatan, thaharah, tathhier = bersih, dan berarti juga tazkiyah
= mensucikan.[7]
Makna
lain dari kata zakat, secara etimologis, adalah (1) bertambah atau berlipat
ganda, (2) tumbuh dan berkembang, (3) suci atau tidak berdosa, (4) menyucikan diri dan (5) pujian
yang baik.[8]
Bahkan juga bermakna as-sholahu, yaitu keberesan.[9]
Dari arti kata tersebut diperoleh sedikitnya
lima pengertian
zakat secara lebih luas. Pertama, zakat adalah sebagian harta yang dikeluarkan kepada orang
miskin dan diharapkan akan mendatangkan kesuburan
pahala.[10] Kedua, zakat
itu merupakan cara memperoleh
jiwa suci dan terhindar
dari sikap kikir dan dosa. Ketiga, zakat berarti membersihkan, yaitu membersihkan harta penghasilan
dengan cara mengembalikan hak orang lain yang terdapat pada harta tersebut. Dan
keempat adalah menumbuhkan, yaitu karena
dengan zakat yang dibayarkan
kepada para mustahik, terjadilan sirkulasi uang dalam
masyarakat yang mengakibatkan bertambah dan berkembangnya fungsi
uang itu dalam masyarakat.[11]
Kelima, zakat itu berarti keberkahan, yaitu cara
seseorang memperoleh hidup yang barokah,
yang mengandung kenikmatan-kenikmatan, terhindar dari kesulitan-kesulitan hidup,
serta memiliki daya atau kekuatan-kekuatan untuk dapat melewati hidup secara
lebih baik lagi.
“Term barokah
adalah sebuah karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia, alam atau benda atau
sebuah keuntungan materi maupun spiritual yang dihasilkan dari keinginan Tuhan.
Dalam arti ini, keberkahan adalah kekuatan yang agung dan suci,
kekuatan yang melimpah dari dunia yang supernatural yang
melimpahkan sebuah kualitas baru pada benda yang mendapat barokah tersebut.”[12]
Kata zakat juga memiliki kesamaan arti secara etimologi dengan kata riba sebagai tumbuh dan berkembang. Tetapi, pengertian secara maknawi (terminology) amatlah berkebalikan secara
simetris. Jika yang pertama bertujuan membersihkan dan menambah pahala, maka
yang kedua adalah mengotori dan menambah dosa. Seperti diperlihatkan dalam Q.S Ar-Rum
ayat 39, Allah mengkaitkan
zakat dengan sistim ekonomi ribawi
yang jelas kontra kemakmuran dan kesejahteraan orang banyak (baca: rakyat;
umat). [13]
“Dan
sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak bertambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan dari zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Kesediaan berzakat, dalam hal ini menuntut adanya
kesadaran. Dengan demikian, kesadaran berzakat
merupakan sebuah keharusan bagi orang Islam yang diwujudkan melalui upaya
memperhatikan hak fakir miskin dan para mustahik (orang yang berhak mendapatkan
zakat) lainnya. Kesadaran berzakat juga dipandang sebagai orang yang berusaha untuk selalu membersihkan, menyuburkan dan mengembangkan hartanya serta mensucikan
jiwanya.[14]
Sedangkan zakat profesi
adalah salah satu jenis
zakat hasil ijtihad ulama kekinian. Ia merupakan
perluasan konsep tentang harta yang dizakatkan. Hal ini sangat penting
dilakukan sebagai langkah maju dalam perekonomian muslim. Selain menciptakan rasa
keadilan dan kebersamaan diantara pembayar zakat, juga akan menjamin dan
memperbesar potensi zakat yang ada dalam masyarakat. Dengan potensi yang besar
inilah pendayagunaan zakat dapat menjadi solusi alternatif dalam menanggulangi kemiskinan.[15]
Menurut
al-Qardhawi, seperti dikutip oleh Didin Hafiduddin, zakat profesi adalah zakat
yang dikenakan kepada penghasilan para pekerja karena profesinya baik itu
dilakukan sendirian maupun bersama dengan pihak/lembaga lain yang mana
mendatangkan penghasilan (honorarium) yang memenuhi nishab.[16]
2.
Tasharruf Zakat Profesi
Dana-dana
zakat dapat diperuntukkan untuk kebutuhan konsumtif dan produktif yaitu:[17]
a. Kebutuhan
konsumtif
Zakat diperuntukkan bagi pemenuhan hajat hidup para
mustahik delapan asnaf, sesuai dengan Undang-undang, mustahik delapan asnaf[18]
ialah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, ibnu
sabil yang didalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak
berdaya secara ekonomi seperti anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang
menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit utang,
pengungsi yang terlantar dan korban bencana alam.
b. Kebutuhan
produktif
Pendayagunaan
zakat juga dapat diperuntukkan bagi usaha produktif yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyaluran / pendistribusian zakat dalam
bentuk ini adalah bersifat bantuan pemberdayaan melalui program atau kegiatan
berkesinambungan, dengan dana bergulir untuk kesempatan penerima dana lebih
banyak lagi.
c.
Membangun
Sarana Umum (Publik)
Merupakan
gagasan yang masih kontroversial apakah dana-dana zakat dapat ditasharrufkan
untuk membangun sarana umum. Sebagian bersikeras bahwa dana zakat hanya boleh
ditasharrufkan kepada delapan ashnaf sesuai dengan bunyi ayat
secara tekstual pada Q.S. At-Taubah ayat 60. Sedangkan dalam
perekonomian modern dimana aspek-aspek kehidupan berkembang luas, maka mereka
berpendapat bahwa dana zakat dapat ditasharrufkan
untuk membangun sarana umum.
Secara
historis, dana-dana zakat baik perolehannya maupun pendistribusiannya tidaklah statis. Ia berkembang secara dinamis sesuai dengan keadaan yang
menyertainya. Meskipun, Adiwarman Karim, untuk kehati-hatiannya menyebut bahwa
dana zakat secara spesifik diperuntukkan untuk 8 ashnaf, dengan
pengertian pada sabilillah dan ibnu sabil “diterjemahkan” sebagai dana untuk
membebaskan budak dan dana untuk melaksanakan aktivitas pekerjaan umum.[19]
Jika
kita hendak berpijak pada upaya kontekstualisasi
ayat-ayat al-Qur’an, maka peluang untuk memberikan tafsir secara lebih luas
pada kelompok 8 sangatlah terbuka. Upaya kontekstualisasi
ayat-ayat al-Qur’an ini dikembangkan antara lain oleh Fazlur Rahman, Abdullah
Ahmed An-Naim dan Abed Al-Jabiri.[20] Hal ini juga ditegaskan oleh Mashdar F.
Mas’udi bahwa prinsip kontekstualitas
dan relativitas dari fiqih adalah sangat jelas.[21]
Kejelasan ini didasarkan pada prinsip maqashidu
syari’at atau tujuan utama syari’at diberlakukan kepada manusia, yakni kemashlahatan
bagi semua orang. Kemashlahatan diartikan sebagai kesejahteraan dan keadilan. [22]
Penekanan
ajaran Islam terhadap cita kemashlahatan berupa nilai keadilan ini
diilustrasikan Karen Amstrong sebagai berikut:
“Islam
berarti kaum muslim memiliki kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang adil
dan setara dimana orang-orang miskin dan lemah diperlakukan secara layak. Pesan
moral Al-Qur’an yang pertama sederhana saja: janganlah menimbun kekayaan dan
mencari keuntungan bagi diri sendiri, tetapi bagilah kemakmuran secara merata
dengan menyedekahkan sebagian harta kepada fakir miskin. Zakat dan shalat
merupakan dua dari lima rukun atau
prinsip ajaran Islam. Seperti halnya Nabi-nabi Ibrani, Muhammad menyiarkan
sebuh etika yang bisa kita sebut sosialis sebagai kosekuensi dari penyembahan
Tuhan kepada satu Tuhan.”[23]
B. Relasi Zakat
dan Pajak
Islam adalah agama yang memberikan kerahmatan bagi seluruh alam.
sebagaimana bunyi ayat 107 dari Q.S
Al-Anbiya. “wa mâ arsalnâka illa rahmatan
lil âlamîn”, artinya, “dan tiadalah Aku utus engkau wahai Muhammad
melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Menurut Husein Muhammad, terma rahmat menunjuk bahwa Islam adalah agama yang terbuka dan responsif atas
problem-problem kemanusiaan. Ia selalu mengusahakan sistem kehidupan yang
memberi rahmat dan kesejahteraan, baik materil maupun non-materil, yang
diorientasikan baik untuk kehidupan sekarang maupun untuk kehiduan akhirat
kelak. Karenanya, terma kerahmatan meniscayakan berlakunya norma-norma
kemanusiaan, yaitu antara lain keadilan, kesetaraan, kepedulian dan
kemashlahatan sosial.[24]
Sedangkan Masdar
F. Mas’udi menjelaskan ayat tersebut secara implisit menghendaki agar umat
Muhammad memiliki komitmen terhadap hal-hal yang menjadi kepentingan semua
pihak – tanpa membedakan warna kulit, bahasa, budaya dan keyakinan
masing-masing. Jelasnya, Islam menuntut penganutnya untuk menjadi pelayan bagi
semua orang, bahkan segenap makhluk semesta. [25]
Karena itu, sebagai
upaya mewujudkan kerahmatan bagi semua orang inilah maka konsep zakat tidak
saja dipahami sebagai ibadah (jalan kesalehan) yang berdimensi personal dan yang ritual (mahdhah), tetapi
sekaligus sejatinya dipandang sebagai ibadah sosial yang dinamis (gair mahdhah).
Dinamis dalam pengertian dapat dikembangkan sesuai dengan konteks kekinian,
sesuai dengan spirit kaidah fiqih “taghoyyuril
ahkam bi taghoyyuril amkinah wal azminah wal ahwal”, berubahnya hukum
sesuai dengan berubahnya tempat, waktu dan keadaan. Dengan demikian, fiqih
atau dalam hal ini zakat akan senantiasa dapat merespon persoalan-persoalan
keummatan sesuai dengan kondisi zaman.
Dengan demikian
konsep zakat tidak saja mengandung muatan yang sakral – transendental, tetapi sekaligus bersifat profan – immanent
(keadilan). Pada konteks yang kedua
inilah maka konsep zakat sejatinya terus dapat dikembangkan baik menyangkut
dasar filosofisnya, epistemologinya, struktur dan kelembagaannya, maupun
manajemen operasionalnya. Secara historis menunjukkan bahwa pengalaman ummat
Islam masih lemah dalam hal tersebut, yang berakibat konsep zakat tidak banyak
berkembang.
Realitas masyarakat saat ini lebih banyak mengenal pajak daripada zakat.
Zakat dan pajak adalah dua hal yang secara teologis-filosofis dianggap sebagai
kata yang berbeda. Zakat secara umum diartikan sebagai harta yang dibayarkan
oleh seorang muzakki yang didasarkan
atas kesadarannya sebagai hamba Allah. Sedangkan pajak lebih diartikan sebagai
harta yang dibayarkan (tanpa memerhatikan kaya atau miskin) kepada negara yang
didasarkan atas kesadaran politiknya sebagai seorang warga negara. Yang pertama
bersifat spiritual- relation,
sedangkan yang kedua bersifat politic-citizenship
relation. Yang pertama bersifat sakral sedang yang kedua bersifat profan.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pajak dan zakat tidak pernah bisa
disatukan, sesuatu yang terpisah dan karenanya model pengelolaannya kemudian
dilakukan secara terpisah.[26]
Berbeda dari pandangan tersebut, Masdar F. Mas’udi melihat bahwa zakat
dan pajak adalah dua kata yang bisa diintegrasikan, atau bahkan secara
substansi mengandung makna yang sama. Hal ini berdasar pada pemaknaan kembali
pada pajak dan zakat itu sendiri. Dijelaskannya bahwa sepanjang
sejarah peradaban,
ada tiga konsep makna yang pernah diberikan kepada pranata pajak. Pertama,
pajak dengan konsep upeti atau persembahan kepada raja. Kedua,
pajak dengan konsep ‘kontra-prestasi’ (dalam Al-Quran disebut jizyah)
antara rakyat pembayar pajak, dan pihak penguasa. Negara dengan pajak
jizyah, mengabdi pada kepentingan elite penguasa. Ketiga,
pajak dengan konsep etik atau ruh zakat, yaitu pajak sebagai sedekah karena
Allah yang diamanatkan kepada negara untuk kemaslahatan segenap rakyat. Maka, pada konsep yang ketiga inilah, tegas Masdar,
pajak dan zakat bisa disatukan.
Tetapi, saya kira pandangan yang progresif
ini masih memerlukan jangka waktu panjang untuk mempraktikannya. Karena, pada
umumnya masyarakat masih melihat keterpisahan antara hukum Tuhan dengan hukum
buatan manusia. Termasuk dalam membayar zakat, pada umumnya dipandang sebagai
memenuhi kewajiban Tuhan semata.[27]
Dan dalam
penulisan penelitian ini, penulis tidak mengambil konsep yang ketiga, tetapi
mengambil konsep yang kedua dengan pertimbangan bahwa realitas empirik
menunjukkan bahwa pengelolaan zakat dan pajak masih dilakukan secara terpisah. Yang zakat dikelola oleh Baznas sedangkan pajak
dikelola oleh Dirjen Pajak, meski keduanya sekarang sama-sama berada di bawah
pengelolaan negara/ pemerintah. Kebijakan yang sangat
moderat ketika UU Pajak No. 17 tahun 2000 berusaha mengakomodasi kepentingan
masyarakat muslim (muzakki) dengan menjadikan zakat sebagai komponen pengurang
pajak. Namun, dalam hal ini banyak dari muslim yang belum menggunakan (mengambil
manfaat) dari kebijakan tersebut.
C. Berzakat
sebagai sebuah Perilaku (Amalan Sholihan)
1.
Perilaku
Berzakat sebagai Tindakan Ekonomi
Perilaku
berzakat, berinfaq dan bershodaqoh juga
sering disebut sebagai “membelanjakan” harta di jalan Allah. Artinya, berzakat
sebagai sebuah tindakan yang dianggap akan mendatangkan keuntungan-keuntungan
secara ekonomi, baik yang bersifat profit maupun benefit. Hal ini, sesuai
dengan pengertian zakat itu sendiri sebagai upaya-upaya menumbuhkan harta,
pahala, mendatangkan keberuntungan, keberkahan, mensucikan, membersihkan dan
memperoleh pujian yang baik.
Dengan
demikian, jika perilaku berzakat dilihat sebagai tindakan ekonomi, maka ia akan
didasarkan pada prinsip-prinsip rasionalitas[28]
berikut ini:[29]
a. Konsumsi
dinyatakan rasional jika pembelanjaan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan; pada ekonomi konvensional, hal ini tidak diperhatikan.
ولا
تجعل يدك مغلولة إلى عنوقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسور ا(Al-
Isra: 29)
Pertanyaannya adalah apakah berzakat
sudah dianggap sebagai kebutuhan bagi seorang muslim atau sebaliknya sebatas
kewajiban dan ia menjadi beban? Sedangkan mengenai kemampuan, tentu saja,
berzakat hanya berlaku bagi seorang mukallaf
yang sudah mencapai nishab.
Adapun teori kebutuhan menurut teori
Maslow meliputi kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan pengakuan
dan kasih sayang, kebutuhan penghargaan, kebutuhan kognitif, kebutuhan estetika
dan kebutuhan mengaktualisasikan diri.[30]
Maka perilaku berzakat merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan tersebut.
Sedangkan menurut Asy-Syatibi, rumusan
kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga tahapan, yaitu dhoruriyat (primer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier).[31]
Yang dhoruriyat meliputi kebutuhan
untuk memiliki aksesibilitas terhadap
agama, kehidupan, pendidikan, keturunan dan harta. Maka perilaku berzakat
merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan terkait menjalankan keyakinan
(agama), melangsungkan kehidupan yang lebih baik, memperkuat pendidikan (tarbiyah
islamiyah), memperkokoh keturunan, dan upaya mengembangkan harta.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
perilaku berzakat adalah rasional jika dilihat dari konsep upaya memenuhi
kebutuhan baik menurut teori Maslaw maupun menurut As-Syatibi.
b. Konsumsi
dinyatakan rasional jika tidak hanya ditujukan untuk dirinya sendiri tetapi
juga untuk keperluan di jalan Allah; (consumtion for self and consumtion for
couse of Allah); pada ekonomi konvensional, konsumsi hanya ditujukan pada
dirinya sendiri;
وءات
ذا القربى حقّه والمسكين وابن السبيل ولا تبذر تبذيرا (Al-Israa: 26)
c. Konsumsi
dinyatakan rasional jika tingkat konsumsinya lebih kecil daripada konsumen
non-muslim dikarenakan hanya diperbolehkan pada produk-produk yang halal dan
thoyib; pada ekonomi konvensional tidak memperhatikan halal-thoyyib;
إنّما
حرّم عليكم الميتة والدّم ولحم الخنزير .... (الأية) (Al-Baqarah: 173)
d. Konsumsi
dinyatakan rasional jika ia dapat menyisihkan uangnya untuk ditabung; hal ini
seperti dikemukakan oleh Nabi dalam haditsnya: “jagalah lima perkara sebelum
dating lima perkara: sehatmu sebelum sakitmu, mudamu sebelum tuamu, ...”;
termasuk dalam pengertian hadits di atas adalah jagalah uang kita sebelum
datang waktu dimana kita tidak memperoleh pendapatan. Pada ekonomi konvensional,
terdapat perhatian pada hal menabung ini, tetapi tujuannya yang berbeda. Jika
dalam Islam tujuan menabung ini adalah untuk berjaga-jaga (precausanary) sedangkan dalam konvensional adalah untuk memperoleh
pendapatan (dari bunga tinggi) sekaligus upaya para kapitalis untuk memperoleh
dana public secara cuma-cuma.
e. Konsumsi
dinyatakan rasional jika ia dapat menggunakan sebagian uang tabungannya untuk
kepentingan investasi dan kerjasama.
Islam sangat menganjurkan untuk dapat memaksimasi manfaat dari setiap
fasilitas atau barang; Islam sangat mengecam kesia-siaan. Karena itu Islam
tidak menghendaki adanya “idle”.
Maka, untuk setiap fasilitas, barang dan atau uang yang disimpan, akan menjadi
rasional jika diinvestasikan untuk mengambil manfaat yang lebih baik, lebih
banyak, dan dapat berbagi dengan orang lain (couse of Allah). Spiritnya adalah firman Allah berikut:
تعاونوا
على البرّ والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان .... (الأية)
Investasi ini sekaligus
sebagai upaya membangun kekuatan ekonomi dalam jangka panjang, tidak saja untuk
kepentingan individu, tapi juga secara sosial. Hal ini penting untuk
diperhatikan sebagai upaya menjawab pernyataan Allah SWT dalam Q.S. An-Nisaa
ayat 9:
وليخش
الذين لو تركوا من خلفهم ذرّية ضعافا خافوا عليهم .. (الأية)
f. Konsumsi
dinyatakan rasional jika ia tidak bersikap boros dan berlebihan. Boros dan
berlebihan merupakan tindakan syaithanic;
ini berkebalikan dengan ekonomi konvensional yang lebih memperhatikan maksimasi
kekayaan.
إنّ
الله لا يحبّ المسرفين .. (الأية)
Dari uraian tersebut,
maka disimpulkan bahwa perilaku berzakat merupakan tindakan yang rasional dalam
perspektif ekonomi Islam, karena ia merupakan salah satu upaya memenuhi
kebutuhan, ditujukan untuk keperluan di jalan Allah, memerhatikan halal dan
thoyyib, sebagai tabungan (materiil dan immaterial), sebagai bentuk investasi
dan kerjasama serta sebagai kendali untuk tidak boros dan berlebihan
2.
Perilaku Berzakat
sebagai Tindakan Sosial
Perilaku
berzakat tidak hanya didasarkan atas kesadaran akan kewajiban sebagai seorang
muslim yang bersifat personal, tetapi sejatinya didasarkan pula atas kesadaran
akan pentingnya membangun kerahmatan
(keadilan dan kemaslahatan) bagi semua orang.
Tindakan
sosial dalam teori Fungsionalisme seperti yang diusung oleh Talcot Person memberikan
kerangka bahwa aktivitas berzakat merupakan manifestasi spesifik dari ajaran
Islam yang menginginkan adanya pengorbanan individu terhadap tujuan untuk
menciptakan tatanan masyarakat yang seimbang. Tatanan masyarakat yang seimbang
dianggap akan sanggup mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Jadi
menurut Teori Fungsionalisme, zakat
hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan. Zakat bukanlah tujuan itu sendiri.[32]
Dengan
begitu, perilaku berzakat tidak berhenti pada sekedar pemenuhan akan kewajiban
yang berdampak pada sangat rigid-nya
mekanisme atau aturan-aturan tekhnis, batasan-batasan nishab yang amat sakral,
pentasharuffan yang demikian
tekstual, dan lainnya. Akibatnya, ketercapaian akan tujuan tidak lagi menjadi
bahan pertimbangan. Perilaku berzakat sejatinya dilihat sebagai sebuah upaya
yang terus-menerus untuk menciptakan struktur masyarakat yang tidak timpang,
baik secara ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Demikian
juga menurut analisis tindakan sosial Marx Weber, perilaku berzakat akan dilihat
sebagai tindakan rasional berorientasi nilai ketika didasarkan oleh rasa
kewajiban yang diajarkan oleh agama. Tetapi hal ini akan berkembang menjadi
tindakan rasional instrument atau bertujuan apabila ditunaikan tidak
semata-mata atas dasar perintah wajib, tetapi dipahami sebagai sebuah
instrument atau alat untuk terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan.[33]
3.
Dinamika Perilaku Berzakat
Berdasar
penjelasan konsep-konsep/teori, perilaku manusia senantiasa dibangun oleh kesadaran-kesadaran, baik sebagai
the self, pribadi, atau individu,
maupun sebagai bagian dari orang lain.[34]
Kesadaran-kesadaran tersebut senantiasa berubah dari waktu-ke waktu, dari
keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Namun, sebagiannya akan menunjukkan
konsistensi, tetap atau sama. Kondisi-kondisi tersebut sangat
dipengaruhi – juga
mempengaruhi, antara lain oleh faktor budaya,
pengetahuan, motivasi dan regulasi.
Engel, Blackwell dan Miniard, seperti dikutip oleh
Karsino menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap
keputusan konsumen adalah sebagai berikut:[35]
a. Perbedaan Individu
Terdiri dari
beberapa kategori, yaitu:
1) Sumberdaya konsumen;
2) Pengetahuan;
3) Sikap;
4) Motivasi;
5) Kepribadian, nilai yang dianut dan gaya hidup;
b. Pengaruh Lingkungan
Meliputi:
1) Budaya;
2) Kelas Sosial;
3) Pengaruh Pribadi;
4) Pengaruh Keluarga;
5) Situasi;
c. Proses Psikologi
Terdiri dari:
1) Pengolahan Informasi;
2) Pembelajaran;
3) Perubahan Sikap dan prilaku;
Karena itu, dalam penelitian ini, penulis hanya fokus
pada empat faktor berupa faktor budaya,
pengetahuan, motivasi dan regulasi. Keempat faktor tersebut berpengaruh
kepada individu untuk memberikan keputusan untuk bersedia membayarkan zakat profesi kepada Baznas atau LAZ yang berada di bawah pengawasan pemerintah.
D. Pelaksanaan Tekhnis Pembayaran Zakat dikaitkan dengan
UU Pajak
UU no. 38 Tahun 1999[36]
tentang Pengelolaan Zakat, yakni pada Bab IV Pasal 14 ayat 3 berbunyi bahwa: “Bahwa
zakat yang telah dibayarkan pada Badan Amil Zakat atau Lembaga amil Zakat dapat
dikurangkan dari laba/ pendapatan sisa kena pajak dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Dan UU no 17 Tahun 2000[37]
tentang Pajak Penghasilan yakni Pasal 9 ayat (1) berbunyi bahwa: “untuk
menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan
warisan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat 3 huruf a dan huruf b, kecuali zakat
atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama Islam atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah.
Adapun Pasal 4 ayat 3 huruf a bagian 1 mengemukakan
bahwa zakat bukan objek pajak, karena penerimaan zakat dianggap bukan merupakan
penerimaan pendapatan atau tambahan penghasilan sehingga tidak dikenai pajak.
Sedangkan pembayaran zakat oleh wajib pajak (muzakki) dianggap sebagai
pengeluaran biaya sehingga dapat mengurangi pembayaran pajak.[38]
Sebagai petunjuk tekhnis dari UU No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat dkeluarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat, serta Surat Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001 yang
dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2001 tentang didirikannya Badan Amil Zakat
Nasional. Melalui dua surat keputusan tersebut, seorang wajib zakat yang telah
membayar zakatnya ke BAZNAS, BAZDA, maupun LAZ yang diakui dan disahkan
pemerintah maka dia akan memperoleh Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) dan Bukti
Setor Zakat (BSZ) sebagai bukti untuk pengurangan penghasilan kena wajib pajak
(PKP).
Selanjutnya Direktur Jendral Pajak mengeluarkan
Surat Keputusan No.1643/PJ/2003 yang ditetapkan pada tanggal 10 Juni 2003
Tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Perhitungan Penghasilan Kena
Pajak Penghasilan. Keputusan ini terdiri dari 5 Pasal, diantaranya Pasal 4
berbunyi:
(1)
Wajib pajak
yang melakukan pengurangan zakat atas penghasilan, wajib melampirkan lembar
ke-1 Surat Setoran Zakat atau fotocopy-nya yang telah dilegalisir oleh Badan
Amil Zakat yang bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.
(2)
Surat Setoran
Zakat yang dapat diakui sebagai bukti sekurang-kurangnya harus memuat:
-
Lengkap Wajib
Pajak
-
Alamat jelas
Wajib Pajak
-
Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP)
-
Jenis
Penghasilan yang dibayar zakatnya
-
Sumber/jenis
penghasilan dan bulan/tahun perolehannya
-
Besarnya
penghasilan
-
Besarnya zakat
atas penghasilan[39]
E.
Penelitian Sebelumnya
Sebuah penelitian yang hampir sama telah dilakukan
oleh Karsino, dalam tesisnya berjudul: “
Peluang Kesediaan Karyawan untuk Dipungut Zakat Profesi dengan Metode Withholding dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya (Penelitian Terhadap Karyawan Swasta Di Jakarta)”. [40]
Penelitian ini membahas mengenai peluang kesediaan
karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode withholding
(pemotongan gaji) dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Kesediaan karyawan
untuk dipungut zakat profresi dengan metode withholding diduga dipengaruhi oleh
empat variable, yaitu: pengetahuan karyawan mengenai zakat, budaya bersedekah
pada diri karyawan dan lingkungannya, promosi Badan Amil Zakat (BAZ)/Lembaga
Amil Zakat (LAZ) yang didapatkan karyawan dan pemahaman karyawan mengenai
regulasi zakat dan pajak. Penelitian ini dilakukan terhadap 299 responden yang
merupakan karyawan perusahaan swasta di Jakarta yang diambil secara acak.
Analisis data yang digunakan adalah regresi model binary logit. Hasil penelitian Karsino
menyimpulkan bahwa peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi
dengan metode withholding adalah 63,20%. Apabila keempat variable pengaruh di
atas bernilai rendah, peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi
dengan metode withholding adalah 21,26%. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa
pengetahuan karyawan mengenai zakat, budaya bersedekah pada diri karyawan dan
lingkungannya, promosi dari BAZ/LAZ yang didapatkan karyawan dan pemahaman
karyawan mengenai regulasi zakat dan pajak berpengaruh positif terhadap peluang
kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode pemotongan
atas gaji.
Berbeda dari
penelitian Karsino tersebut adalah pertama, bahwa penelitian ini
menggunakan variabel motivasi tanpa melibatkan promosi. Hal ini didasarkan atas
asumsi bahwa faktor internal individu khususnya motivasi keagamaan lebih
memiliki daya dorong untuk seseorang menentukan dan mengubah perilakunya.
Kedua, yang
berbeda adalah jenis responden penelitian. Jika pada penelitian Karsino
menggunakan responden karyawan swasta yang muslim dan berlokasi di Jakarta,
maka pada penelitian ini yang menjadi responden adalah Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang berlokasi di daerah yaitu Kota Cirebon. Hal ini didasarkan atas
asumsi bahwa PNS sejatinya memiliki kesadaran dan tanggungjawab yang lebih baik
untuk patuh dan tunduk pada peraturan yang berlaku, untuk memberikan inisiatif
dan tauladan yang lebih baik, serta memberikan dukungan yang lebih besar pada
kemajuan dan keberhasilan kehidupan bangsa.
Ketiga, yang membedakan
penelitian dengan Karsino adalah metodologi yang digunakan. Jika pada Karsino
menggunakan analisis regresi model binary
logit, pada penelitian ini menggunakan analisis regresi linear sederhana
dan linear berganda.
Keempat, bahwa pada penelitian ini
diilustrasikan bagaimana perkembangan zakat profesi dalam 2 (dua) tahun
terakhir dan signifikansinya terhadap upaya mengurangi kemiskinan di Kota
Cirebon.
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Objek
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan unit analisis individu, yaitu Pegawai Negeri Sipil yang
beragama Islam di wilayah Kota Cirebon. Dengan demikian, populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh PNS muslim Pemerintahan Daerah di wilayah Kota
Cirebon. Sedangkan sampel yang akan dijadikan responden adalah PNS muslim dari
beberapa institusi di lingkungan Pemda yang diambil secara acak. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data cross
section yaitu data yang dikumpulkan dalam satu waktu tertentu. Pengambilan
data dalam penelitian ini dilakukan selama satu bulan yaitu bulan Januari 2012.
B.
Populasi
dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini
ialah PNS yang beragama Islam dari beberapa
Institusi Pemda yang berkedudukan di wilayah Kota Cirebon. Adapun target
responden yang akan diambil dalam penelitian ini adalah PNS muslim dengan
pendapatan bruto per bulan yang nilainya telah melebihi nishab kewajiban zakat profesi
dan atau berpotensi menjadi muzakki. Dengan mengacu
pada nishab hasil pertanian, yakni 524
kg dan dengan asumsi bahwa harga beras per kilogram adalah Rp 7.000,-, maka
dalam penelitian ini ditetapkan bahwa penghasilan bruto PNS adalah sebesar Rp 3.668.000,00 (= 524 kg x Rp 7.000,00/kg), atau diambil angka mudah sekurangnya Rp. 3.600.000,-.
Angka penghasilan sebesar ini dianggap setidaknya diperoleh oleh pegawai mulai
golongan IIIc ke atas. Golongan III a dan IIIb dianggap sebagai golongan yang
berpotensi menjadi muzakki. Dengan demikian populasi pada penelitian ini adalah
PNS mulai golongan IIIa ke atas berjumlah 5173.
Teknik
pengumpulan sampel dilakukan dengan metode non
probability sampling. Artinya,
jumlah sampel ditetapkan sesuai dengan jumlah quota yang diinginkan dalam penelitian atau biasa disebut convenience sampling dan purposive random sampling. Dengan demikian sampel dalam penelitian ini adalah n = N/(N.d2+1) = 5173/(5173.(0.1)2 + 1) = 98
PNS atau responden.[41]
C.
Tekhnik
Pengumpulan Data
Dalam
penelitian digunakan teknik
pengumpulan data primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner kepada responden sejumlah
98 PNS yang tersebar di beberapa instansi.
Dalam
proses pengambilan data, desain kuesioner[42]
dibuat dalam bentuk sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada responden.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibuat
berdasarkan masing-masing atribut dari seluruh variabel penelitian. Masing-masing
pertanyaan diberikan skor dengan menggunakan skala likert[43]
sebagai berikut:
5 : Sangat (sangat setuju, sangat baik, sangat mendukung, sangat
tersedia, sangat tahu, sangat mendukung, sangat ingin, sangat perlu, sangat
ada (lengkap), dll)
4 : Sedang
(setuju, baik, mendukung, tersedia, tahu, ada,
dll)
3 : Kurang
(kurang setuju, kurang baik, kurang tersedia, kurang tahu, kurang
ada (ada tapi tidak memadai), dll)
2 : Tidak (tidak setuju, tidak baik, tidak tersedia, tidak tahu, tidak ingin, tidak
ada, dll
1 : Sangat Tidak (sangat tidak setuju, sangat tidak mendukung, sangat
tidak tersedia, sangat tidak tahu, sangat tidak ingin, samasekali
tidak ada, dll)
Sebelum
dilakukan penelitian lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan uji validitas instrumen dengan pertama-pertama meminta
pandangan ahli (judgment experts).[44]
Setelah itu dilakukan coba pendahuluan dengan
menyebarkan kuesioner sebanyak 30 (n).[45]
Hal ini bertujuan agar penelitian yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah terutama terkait dengan validitas pertanyaan yang diajukan.[46]
Setelah dilakukan studi pendahuluan sebanyak 30 (n), selanjutnya dilakukan uji
validitas dan reliabilitas terhadap semua pertanyaan yang diajukan dari
masing-masing variabel.
D.
Deskripsi
Variabel
E.
Tahapan
Analisis Data
Tahapan
Analisis Data
1.
Uji
Validitas
2.
Uji
Reliabilitas
3.
Uji
Regresi Model Linear
dan Berganda
4.
Uji
Prasyarat Analisis, meliputi : Uji Normalitas, Uji
Homogenitas, Uji Linieritas.
5.
Untuk menguji model regresi yang
diperoleh benar-benar merupakan penduga parameter yang akurat, efesien dan
tidak bias atau dikenal dengan istilah asumsi BLUE (Best Linear Unbiased
Estimator) dilakukan pengujian
model persamaan regresi dengan uji asumsi klasik yang persyaratannya mencakup uji
multikolinearitas (VIF), uji heteroskedastisitas (Scatter Plot) dan uji
autokorelasi (Durbin-Watson).[47]
6.
Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan dengan analisis statistik
inferensial digunakan untuk menguji ketiga hipotesis penelitian. Analisis
inferensial yang digunakan adalah analisis regresi linier sederhana dan
analisis regresi linier berganda. Analisis regresi linier sederhana untuk
menguji hipotesis pengaruh secara parsial sedangkan analisis regresi linier
berganda untuk menguji hipotesis pengaruh secara gradual.
Hipotesis pengaruh secara parsial dengan menggunakan regresi linear sederhana
dengan model persamaan regresi :
Y = a + bX1 dan
Y = a + bX2.
Adapun hipotesis pengaruh secara gradual diuji
dengan regresi linear berganda dengan model
persamaan regresi :
Y = a + bX1 + cX2 + dX3 + eX4
Dimana Y (variabel kesedian zakat dengan potong gaji), a (intercept atau
konstanta), b,c,d dan e (koefesien), X1
(variabel pengetahuan), X2 (Variabel budaya), X3
(variabel motivasi), dan X4 (variabel regulasi). Hipotesis
statistiknya adalah sebagai berikut :
a. Hipotesis pertama
b. Hipotesis
kedua
c. Hipotesis
ketiga
d. Hipotesis
keempat
e. Hipotesis
kelima
Analisis
regresi dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Mencari persamaan model regresi Y atas X1,
Y atas X2, Y atas X3, Y atas
X4 dan Y atas X1+X2+X3+X4. Langkah ini dilakukan dengan menganalisis
tabel Coefesient hasil analisis SPSS.
b. Menguji signifikansi regresi Y atas X1, Y
atas X1, Y atas X2, Y atas X3, Y atas X4 dan Y atas X1+X2+X3+X4.
Langkah ini dilakukan dengan menganalisis nilai F hitung pada tabel Anova
hasil analisis SPSS terhadap nilai F tabel.
c. Uji signifikansi koefesien regresi X1
terhadap Y, Y atas X1, Y atas
X2, Y atas X3, Y atas X4 dan Y
atas X1+X2+X3+X4. Langkah ini
dilakukan dengan menganalisis nilai R (ry1, ry2, ry3, ry4 dan ry1-4) pada tabel Model Summary hasil analisis SPSS serta menganalisis
nilai t hitung pada tabel Coefesient hasil analisis SPSS terhadap nilai t tabel
untuk hipotesis pengaruh secara parsial dan analisis nilai F pada Anova
terhadap F tabel untuk analisis hipotesis pengaruh secara gradual.
Dari nilai koefesien dan persamaan regresi dapat
diketahui : ada tidaknya pengaruh, arah pengaruhnya positif atau negative,
kekuatan pengaruhnya, tingkat signifikansi pengaruh, kontribusi pengaruhnya
terhadap variabel Y dan prediksi nilai Y jika terjadi perubahan variasi X.
ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A.
Factor-faktor
yang Memengaruhi
Keputusan PNS
Membayar Zakat Profesi.
Hasil analisis regresi sebagaimana diuraikan pada
pembahasan di atas dapat dijelaskan hal-hal berikut ini:
a.
Semua variabel independen (pengetahuan,
budaya, motivasi dan regulasi) memiliki pengaruh yang besar seperti ditunjukkan
oleh nilai r secara berturut-turut, yaitu 0,755; 0,78; 0,86; dan 0,837 untuk
yang linear. Dengan demikian r untuk semua variabel > dari 0, maka:
1) Hipotesis pertama
Persamaan regresi yang
diperoleh untuk variabel pengetahuan adalah:
Y
= -1,515 + 0.119X
2)
Hipotesis
kedua
Persamaan regresi yang diperoleh untuk variabel
budaya adalah:
Y
= -1,515 + 0,101X
3)
Hipotesis
ketiga
Persamaan regresi yang
diperoleh untuk variabel motivasi adalah:
Y
= -1,515 + 0,121X
4)
Hipotesis
keempat
Persamaan regresi yang
diperoleh untuk variabel regulasi adalah
Y
= -1,515 + 0,120X
Sedangkan dari penjelasan
tabel 4.23, diperoleh nilai r = 0, 946 > 0. Artinya, total variabel X (X1+X2+X3+X4) mempunyai pengaruh terhadap
variabel kesediaan. Dengan demikian,
5)
Hipotesis kelima
Persamaan regresi yang diperoleh untuk keseluruhan variable secara serentak adalah:
Y = -2,641 + 0,019X1 + 0,020X2
+ 0,062X3 + 0,051X4
b.
Data nilai r tersebut pada point 1, juga
menujukkan arah yang kuat dan positif. Artinya, jika semua variabel independen
nilainya bertambah naik, maka tingkat kesediaan mereka juga akan naik, dan
sebaliknya. Dengan demikian, hipotesis semakin tinggi pengetahuan, budaya
bersedekah, motivasi dan pemahamannya terhadap regulasi zakat dan pajak akan
semakin memengaruhi keputusan PNS (kesadaran dan kesediaan) untuk membayar
zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
c.
Dari hasil analisis di atas juga diperoleh
keterangan besaran prosentase pengaruh semua variabel independen secara parsial
terhadap variabel kesediaan, yaitu masing-masing sebesar 57%, 61%, 74%, dan
70%. Hal ini dilihat dari nilai R.Square pada masing variabel (lihat Tabel
summary). Sedangkan besaran prosentase pengaruh semua variabel secara serentak
dipeoleh nilai R. Square 0.894 atau 89,4%. Artinya, variabel kesediaan
ditentukan oleh keempat variabel tersebut secara serentak sebesar 89,4%.
Selebihnya, sebagiannya, yaitu 10,6% ditentukan oleh faktor lain yang tidak
dianalisis dalam penelitian ini, misalnya, faktor kepercayaan atau
ketidakpuasan, faktor pemahaman yang berbeda, atau mungkin juga faktor
keengganan.
d.
Besaran kekuatan pengaruh yang ditunjukkan
oleh angka R2 (R Square) tersebut berdasar Tabel menunjukkan tingkat
hubungan yang sedang untuk variabel pengetahuan dan tingkat hubungan kuat untuk
variabel budaya, motivasi dan regulasi.[48]
e.
Hasil uji kelayakan untuk semua variabel
independen menunjukkan angka Signifikansi = 0,000 atau < 0,005. Ini
menunjukkan bahwa analisis regresi dengan empat prediktor (empat variabel)
masing-masing berupa pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi layak digunakan
dalam memprediksi kesediaan.
f.
Persamaan regresi yang diperoleh dari hasil
analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesediaan PNS dapat diprediksi oleh
tingkat pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi, dengan persamaan regresi
yang diperoleh berikut: Y = -2,641 + 0,019X1 + 0,020X2 +
0,062X3 + 0,051X4;
Dengan
demikian, jika pemerintah bermaksud untuk mengeluarkan kebijakan terkait
pembayaran zakat profesi atas gaji oleh PNS di lingkungan Pemerintah Kota
Cirebon, hendaknya ia menjaga sedikitnya empat komponen tersebut.
B.
Analisis
Lanjutan
Dari
persamaan regresi yang diperoleh secara serentak dari keseluruhan variable
diketahui bahwa koefisien regresi tertinggi adalah variable motivasi sebesar
0,62 dan koefisien regresi terendah terdapat pada variable pengetahuan sebesar
0,19. Dari data ini disimpulkan bahwa variable motivasi menjadi factor yang
menentukan dalam memberikan pengaruh terhadap keputusan pegawai untuk
memberikan kesediaan membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara
pemotongan gaji.
Sedangkan
factor pengetahuan bukanlah faktor yang menentukan. Tingginya tingkat
pengetahuan tidak menjamin seseorang bersedia membayar zakat profesi melalui
BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji ketika faktor motivasi yang dimiliki
pegawai adalah rendah. Karena itu, memberikan sejumlah motivasi kepada pegawai
menjadi sangat penting bagi pemerintah dalam mendorong dilahirkannya kebijakan
pentingnya membayar zakat profesi tersebut.
Pertanyaannya
adalah motivasi-motivasi apa saja yang dapat menjadi bahan pertimbangan
pemerintah dalam hal ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan analisis
lanjutan terhadap 10 pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner, berupa analisis
regresi untuk masing-masing pertanyaan terhadap variable kesediaan.
Hasil
analisis pengaruh masing-masing indikator terhadap variable kesediaan
menunjukkan bahwa pengakuan keberimanan seseorang menjadi faktor yang paling
berpengaruh. Seseorang merasa nyaman jika keberimanannya mendapat pengakuan
dari orang lain. Sebaliknya ia menjadi sangat khawatir dan takut jika
dikategorikan ke dalam orang-orang yang mendustakan agama atau tidak beriman.
Keberimanan ini kemudian diejawantahkan dalam point-point kedua, ketiga dan
keempat yang bersifat imanen (keadilan). Artinya hal-hal transenden lebih utama
dibanding hal-hal yang imanen.
Kekhawatiran
ini akan terasa semakin longgar pada orang yang berpengetahuan tinggi.
Sebaliknya, terasa semakin ketat pada orang yang berpengetahuan rendah.
Pengetahuan yang dimaksud baik mencakup pengetahuan tentang konsep dasar zakat
profesi itu sendiri maupun dalam hal keteraksesannya terhadap
informasi-informasi menyangkut manajemen tata kelola LAZ/BAZ dan perkembangan
masyarakat, serta keteraksesannya
terhadap Undang-undang dan peraturan lainnya.
Sedangkan
pengaruh terendah terdapat pada indikator ke-10 yang berbunyi “dengan berzakat melalui Badan/Lembaga Amil Zakat,
pengelolaan dana-dana zakat akan lebih baik, transparan dan berdayaguna”. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga BAZ/LAZ tentang pengelolaan dana-dana
zakat perlu diperbaiki.
Perbaikan
tentang hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memperbaiki manajemen
pelaporan, kinerja dan perencanaan dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance, suatu prinsip yang
menekankan akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik.
C.
Tingkat
Respon Masyarakat terhadap Realisasi UU Zakat dan Pajak
Untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang kedua tentang tingkat respon masyarakat dalam hal
ini PNS terhadap kehadiran UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan
UU no 17 Tahun 2000. Tingkat respon ini akan terlihat pada besaran prosentase
jumlah PNS yang menyatakan bersedia membayar
zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
Pertanyaan yang relevan yang
diajukan kepada responden adalah:
- Apakah Anda merasa perlu untuk segera merealisasikan UU No 38 Tahun 1999 bahwa pembayaran zakat akan lebih terkoordinasi dengan baik bila disalurkan melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat?
- Apakah Anda merasa perlu untuk segera merealisasikan UU No 17 Tahun 2000 dan SK Direjen Pajak No. 163/PJ/2003 bahwa pembayaran zakat yang Anda bayarkan melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat dapat dijadikan sebagai komponen pengurang pajak?
- Apakah Anda merasa perlu untuk mendorong pimpinan di tempat anda bekerja untuk memfasilitasi anda dalam hal pembyaran zakat melalui Badan /Lembaga Amil Zakat?
Hasil penelitian
menjelaskan bahwa dari 98
responden, 14 orang atau 14,3% menyatakan tidak bersedia untuk membayar zakat
profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Sedangkan 84 responden
atau 85,7% menyatakan bersedia.
Besaran
prosentase yang menyatakan bersedia tersebut di atas dapat menjadi dasar argumentasi
bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan bahwa masing-masing instansi
sebaiknya segera menyediakan layanan bagi PNS untuk dapat membayar zakat
profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Sekaligus menjadi kewajiban bagi pemerintah
daerah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Dalam hal ini terdapat beberapa alasan mengapa pembayaran zakat profesi
oleh PNS itu penting dilakukan melalui BAZ dan LAZ dengan cara pemotongan gaji
adalah sebagai berikut:
1.
Penghasilan PNS jelas dan tetap;
2.
Dengan cara pemotongan gaji lebih memudahkan dan meringankan PNS membayar
zakat;
3.
Dibayarkan melalui BAZ dan LAZ memudahkan dalam hal pengumpulan dan
pendistribusiaan dana-dana zakat;
4.
Pengumpulan dan pendistribusiaan dana-dana zakat oleh BAZ/LAZ akan
memberikan nilai keadilan bagi mustahik:
a.
Tidak menjadi beban emosional secara personal bagi mustahik kepada muzakki;
b.
Terdapat distribusi secara merata kepada setiap mustahik;
c.
Terprogram secara baik dalam hal pentasharuffan antara dana-dana
untuk konsumtif dan untuk produktif, bahkan jika memungkinkan untuk kepentingan
layanan-layanan publik.
5.
Pengumpulan dan pendistribusiaan dana-dana zakat oleh BAZ/LAZ akan
mempercepat proses upaya mengurangi kemiskinan khususnya di Kota Cirebon. Jika
5000 PNS dari 5173 total PNS yang memiliki potensi untuk membayar zakat ini
dapat membayar zakat profesinya secara berkelanjutan, misalnya dengan nilai
nominal rata-rata Rp.100.000,- maka dana
yang terhimpun setiap tahunnya adalah Rp.500.000.000,-; angka yang cukup
signifikan untuk dijadikan sebagai dana-dana bantuan usaha, beasiswa,
pengobatan gratis, menyediakan sarana-sarana kesehatan untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat tidak mampu, dan lain-lain.
D.
Penerimaan
Zakat Profesi di Kota Cirebon
Hingga saat ini, berdasar data yang diperoleh dari Badan
Amil Zakat Kota Cirebon menunjukkan bahwa baru sejak tahun 2010 dana dari zakat
profesi mulai masuk dalam Daftar Hasil Perolehan Zakat, Infak dan shodaqoh. Pada
Tahun 2010, dana zakat profesi yang masuk berjumlah Rp. 20.356.850,-. Pada
Tahun 2011 mengalami kenaikan, yaitu
sebesar Rp. 38.200.400,-. Sedangkan tahun sebelumnya yakni Tahun 2009, dana
zakat profesi menunjukan angka perolehan di posisi nol. Menurut Ketua Bazda
Kota Cirebon, Drs. H. Moh.
Farid Marzuki, dana zakat profesi yang terkumpul diperoleh dari UPZ (Unit
Pengelola Zakat) yang terdapat
di beberapa instansi pemerintah Kota Cirebon.
Jelasnya, perkembangan besaran jumlah dana dari zakat profesi ini sangat
bergantung dari komitmen para pimpinan instansi setempat. Pihaknya telah
mengajukan usul ke Pemerintah Kota Cirebon, dalam hal ini Walikota, untuk dapat
mengeluarkan kebijakan yang mendorong setiap pegawai untuk membayar zakat
profesi melalui BAZ/LAZ. Sayangnya, hingga saat ini, usulannya belum mendapat
respon yang baik.[49]
E.
Kesimpulan
dan Saran
A.
KESIMPULAN
Hasil analisis regresi
sebagaimana diuraikan di atas menyimpulkan hal-hal berikut ini:
- Semua variabel independen (pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi) memiliki pengaruh yang besar terhadap variabel kesediaan, baik secara parsial maupun secara serentak.
- Nilai pengaruh menujukkan arah yang kuat dan positif. Artinya, jika komponen pengetahuan, budaya, motivasi dan pemahaman PNS atas regulasi diperkuat, maka tingkat kesediaan mereka juga akan naik, dan sebaliknya. Ini artinya, menjadi kewajiban pemerintah untuk memperkuat PNS pada komponen tersebut baik yang bersifat penguatan wawasan, pengkondisian (behavior), maupun yang bersifat penguatan spiritual
- Kekuatan pengaruh budaya, motivasi dan regulasi lebih kuat dari pengetahuan atas zakat. Artinya, pertama, tingkat pengetahuan atas zakat tidak seluruhnya berhubungan lurus dengan keputusan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Kedua, pemerintah daerah memiliki peluang besar untuk menerapkan regulasi zakat dan pajak ini secara otoritatif. Artinya kesediaan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji juga besar dipengaruhi oleh kekuatan memaksa dari pemimpin. Mengandalkan kerelaan dari PNS saja tidak cukup.
- Faktor-faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi, dapat menjadi prediktor untuk melihat tingkat kesediaan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Dengan demikian, jika pemerintah bermaksud untuk mengeluarkan kebijakan terkait pembayaran zakat profesi atas gaji oleh PNS di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon, hendaknya pemerintah menjaga sedikitnya empat faktor tersebut.
- Dari penelitian ini juga disimpulkan bahwa sebagian besar PNS atau 85,7% bersedia untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Hal ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan bahwa masing-masing instansi sebaiknya segera menyediakan layanan bagi PNS untuk dapat membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Sekaligus menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Juga sangat terbuka untuk dikeluarkan perintah semacam intruksi atau dalam bentuk Surat Keputusan (SK).
- Variable motivasi menempati urutan pengaruh terkuat dibanding tiga variable lainnya, sedangkan variable pengetahuan menempati urutan pengaruh terendah. Motivasi yang dimaksud baik yang bersifat transenden-spiritual maupun yang bersifat imanen berupa nilai-nilai keadilan, kebersamaan, kepedulian,kasih sayang pada sesama, dan lain-lain. Karena itu menjadi penting bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja dalam hal meningkatkan kualitas layanan, meningkatkan kepercayaan publik, melibatkan partisipasi masyarakat, dan lainnya. Salah satunya adalah dengan cara memperbaiki manajemen tata kelola terutama dalam hal pengumpulan, pendistribusian, pertanggungjawaban. pelaporan serta promosi dan publikasi oleh LAZ/BAZ.
Dengan demikian,
maka terdapat beberapa saran yang dapat dirumuskan, sebagai
berikut:
- Pemerintah atau para pemimpin di setiap lembaga, institusi, organisasi atau kelompok sosial hendaknya memperhatikan empat faktor penting yang memengaruhi keputusan seseorang untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ, yaitu faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi.
- Upaya memperkuat faktor faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi ini dapat dilakukan dengan cara penguatan-penguatan baik bersifat argumentasi/ wawasan, pembiasaan, serta memberikan dorongan-dorongan baik yang bersifat material maupun spiritual.
- Pembayaran zakat profesi melalui pemotongan gaji ini tidak bisa hanya mengandalkan kerelaan. Dengan demikian disarankan kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan yang bersifat memaksa agar setidaknya semua PNS dapat membayarkan zakat profesinya. Kebijakan tersebut dapat berupa Peraturan Daerah, Surat Keputusan (SK), atau Surat Edaran (SE).
- Supaya PNS dapat membayarkan zakat profesinya melalui pemotongan gaji ini maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk segera menyediakan sarana dan pra sarana yang diperlukan, baik untuk memudahkan pelaksanaan maupun pengawasan.
- Disarankan kepada peneliti lain untuk menganalisis pendistribusian dana-dana zakat yang ada di Kota Cirebon sehingga daya efek zakat untuk mengurangi kemiskinan dapat dibuktikan secara empiris. Hal ini dapat memberikan pengaruh balik pada meningkatnya motivasi muzakki untuk berzakat.
- Sosialisasi dan publikasi keberadaan UU tentang Pengelolaan Zakat No 38 Tahun 1999 dan atau UU No. 23 Tahun 2011 serta UU No 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan terkait antara pajak dan zakat menjadi penting dilakukan oleh pemerintah. Sebab hal ini dapat menjadi motivasi berpengaruh terhadap direalisasikannya kedua UU tersebut.
Saran-saran tersebut, tentu saja memerlukan semangat
dan kerjakeras untuk mengaplikasikannya ke dalam realitas empiris, baik yang
personal maupun yang sosial – institusional.
[2]
Gustian Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan,
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006) , Cet. ke-1;
[3] Abu Aeman. Tesis.
2009. Zakat Profesi di Kabupaten
Sukoharjo
[4] Hasan Basri, Implementasi UU Zakat di Kabupaten Gresik,
Jurnal Logos, Vol 6 No.2 th 2009. Hl 173 – 191;
[6] Gustian
Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang
Pajak Penghasilan, (Jakarta, PT. Rajawali Grafindo Persada, 2006), Cet. ke-1,
hal. 161 – 241;
[7]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman
Zakat (Semarang : PT. Pustaka Rizky Putra, 1999), 3
[8] Q.S. Al-Kahfi ayat 74 dan Q.S. Fathir ayat 18. Seperti dikutip Asmuni MTh, Al-Arabi
mengemukakan dua makna zakat, yaitu pencucian jiwa yang merupakan makna
spiritual dan pencucian serta pengembangan harta yang memiliki makna ekonomis dalam rangka
membangun solidaritas sosial, dalam makalah berjudul: Zakat
Profesi dan upaya menuju kesejahteraan sosial, Jurnal Ekonomi
Islam La_Riba, Vol. I, No. 1, Juli 2007, didownload di
journal.uii.ac.id/index.php/JEI/article/view/1046/971, pada Oktober 2010; Lihat
juga pengertian zakat yang dikupas oleh Mu’inan Rafi dalam Potensi Zakat
(dari Konsumtif Karitatif – ke Produktif – Berdayaguna), menurut Perspektif
Hukum Islam, (Yogyakarta, Citra Pustaka, Februari 2011), cet. Ke-1, hal 23;
[9] Kata
Zakat bermakna keberesan dinukil oleh Didin Hafidhuddin dari Majma Lughoh
al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, juz I hal 396. Lihat Zakat dalam Perekonomian Moderen, (Jakarta, Gema Insani Pers, 2002)
hal. 7;
[10]
Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status Dan Filsafat
Zakat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits (Jakarta : Litera AntarNusa, 1987), 34
[11] Subekti,
Sugeng Agus, Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, Penelitian
terhadap Kecenderungan Pembayar Zakat di Kelurahan Tebet Barat Barat Kecamatan
Tebet Jakarta Selatan, (Jakarta, UI, 2003), hal. 18;
[12] Julien Ries,
Blessing, Terjemahan dari Bahasa Perancis oleh Jefferey C. Haight dan Annie S.
Mahler, dalam The Encyclopedia of Religion, Vol 2, Mircea Eliade ed. (New York,
Mcmillan Publishing Company, 1987), hal. 247, seperti dikutip Tim Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Pembangunan Ekonomi
Umat, (Jakarta, Kemenag RI, Agustus 2009), hal. 170;
[13] Luthfi,
Attabiq, Peran Zakat untuk Kemakmuran Rakyat, www.dakwatuna.com/Tafsir
ayat/26/8/2009/ 05 Ramadhan 1430 H, didownload
pada sekitar April 2010.
[14]Q.S. At-Taubah
ayat 60 dan 103 dan Q.S Ar-Ruum ayat 39.
[15] Firmansyah,
dkk., Potensi dan Peran Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan, (Jakarta,
LIPI, 2007), 107 – 121;
[16]
Hafiduddin, Didin. Panduan Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, (Jakarta :
Gema Insani Press 1998), 103. Islam tidak mewajibkan zakat kepada seluruh harta
benda, sedikit atau banyak, tetapi mewajibkan atas harta benda yang sampai pada
hitungan nishab, bersih dari utang
serta lebih dari kebutuhan pokok pemilikinya. Hal ini untuk menetapkan siapa
yang tergolong orang kaya yang wajib zakat karena zakat hanya dipungut dari
orang-orang kaya (yang mencapai kemampuan). Nishab
menurut Adiwarman Karim dalam Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, (The International Institute of Islamic Thought,
Pustaka Pelajar, Januari 2002), cet. Ke-2, hal. 34, adalah batas terendah dari
kuantitas atau nilai dari suatu komoditi dan jumlah tetap dari tiap jenis
binatang ternak. Nishab dan zakat dari berbagai jenis barang berbeda satu sama
lain.
[17]
Departemen Agama, Pola Pembinaan badan/Lembaga Amil Zakat (Jakarta :
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam & Penyelenggaraan Haji
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004), 24.
[18] Q.S At-Taubah ayat 60.
[19] Ibid, hal 108
[20] Jahrotunasipah,
Ipah., Kontekstualisasi Teks: Upaya
Membongkar Sistem Patriarkhi, dalam Jurnal EQUALITA Vol.
9. No. 21 Desember 2011, (Cirebon, IAIN Syekhnurdjati, 2011), hal. 101 – 102;
[21] F. Mas’udi, Masdar, Agama
Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta, P3M, Maret 1993),
cet. Ke-3, hal 108. Meskipun dia menggunakan istilah syari’at, tapi yang
dimaksud (sesuai konteks pembicaraan dalam halaman tersebut) adalah fiqih. Tentu saja, secara filosofis kedua kata
tersebut adalah hal yang berbeda, dimana yang syari’at memiliki makna yang
lebih luas dari kata fiqih.
[22] Ibid, hal. 110;
[23] Karen Amstrong, Sejarah
Tuhan, (Bandung, Mizan, Tahun, September 2001), cet. Ke-3, hal. 1999;
[24] Husein Muhammad, Tafsir Al-Qur’an dalam Perspektif Perempuan,
(Dawroh Fiqh Perempuan), (Cirebon,
Fahmina-Institute, Mei 2006), cet. Ke-1 hal 75-76
[25] Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta, P3M, Maret 1993), Cet.
Ke-3, hal 9 – 10;
[26] Pandangan secara
tekstualis atas ayat-ayat zakat ini diperlihatkan antara lain oleh Gazi Inayah
dalam judul asli al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-Daribah (Dirosah
Muqaranah), diterjemahkan oleh Zainudin Adnan dan Nailul Falah, Teori
Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, (yogjakarta, Tiara Wacana, 2003),
cet. Ke-1.
[27] Subekti,
Sugeng Agus, Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, Tesis, Penelitian
terhadap Kecenderungan Pembayar Zakat di Kelurahan Tebet Barat, Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan, (Jakarta, UI, 2003). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
aktivitas berzakat mengalami reduksi dari pesan keadilan social menjadi sebatas
pesan keagamaan yang bersifat personal. Ia hanya memenuhi unsur subjektif individu
berupa kewajiban personal dari ajaran agama yang dianutnya (Islam).
[28] Rasionalitas adalah
landasan dari tindakan sosial yang berangkat dari aspek-aspek perilaku
subjektif yang dapat dinilai secara objektif. Suatu tindakan dikatakan rasional
yaitu jika tindakan tersebut hasil dari pertimbangan secara sadar dan
berorientasi pada pencapaian tujuan
tertentu (rasionalitas instrument). Lihat Doyle Paul Johnson, Teori
Sosiologi Klasik dan Modern, judul asli Sosiology Theory Clasical Founders and
Contemporary Perspektif, alih bahasa Robert M.Z. Lawang, (Jakarta,
Gramedia, 1986), hal. 216; sebagaimana dirujuk oleh Sugeng Agus Subekti dalam
penelitiannya berjudul Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat,
(Jakarta, UI, 2003), hal. 26;
[29] Amalia, Euis, dkk., Teori
Mikroekonomi Islam, (Jakarta, UIN, 2009), cet. Ke-1, hal. 43;
[30] Yusuf, Syamsu dan A.
Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian, (Bandung, Remaja Rosdakarya, Juni
2008), cet. Ke-2, hal. 156 – 163;
[31] Muflih, Muhammad, Perilaku
Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, (Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2006) cet. Ke-1, hal. 66 – 67;
[32] Subekti,
Sugeng Agus dalam penelitiannya berjudul Aktivitas Berzakat dan Model
Pengelolaan Zakat, (Jakarta, UI, 2003), hal. 24 - 26;
[33] Ibid, hal. 28 – 29;
[34] Jadi, kesadaran dalam konteks ini adalah pemahaman
atau pengetahuan seseorang tentang dirinya dan keberadaan dirinya. Pengertian
ini dikemukakan oleh Searle (1997: 196), sebagaimana dikutip oleh Septi
Gumiandari dalam Psikologi Kognitif, Membedah Potensi Berfikir Manusia dalam
Perspektif Islam (Cirebon, Nurjati Press, November 2011), cet. Ke-1, hal.
118;
[35] Karsino,
Peluang Kesediaan Karyawan
untuk Dipungut Zakat Profesi dengan Metode Withholding dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya (Penelitian Terhadap Karyawan Swasta Di Jakarta), Tesis pada Universitas Indonesia,
Program Pascasarjana, Program Studi Timur Tengah dan Islam, Kkhususan Ekonomi
dan Keuangan Syari’ah, (Jakarta, UI, 2009).
[36] UU ini, kini telah
diamandemen menjadi UU no 23 Tahun 2011
[37] Sekarang, UU ini telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Tetapi, deskripsi tentang zakat masih sama, tidak mengalami
perubahan secara substantif.
[38]
Prihartini, Farida, dkk., Hukum Islam
Zakat & Wakaf, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Jakarta, UI, 2005), cet. Ke-1, hal. 89; Lihat juga UU Pajak No. 17 Tahun 2009 hasil download dari http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2
[39]
http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=10
[41] Menurut
Sugiyono, sebagaimana dikutip oleh Riduwan, dalam Metode dan Teknik Menyusun
Tesis, (Bandung, Alfabeta, 2004), cet. Ke-1, hal. 56 – 65, sampel adalah
bagian dari populasi atau wakil populasi yang diteliti. Jadi sampel penelitian
adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat
mewakili seluruh populasi. Tekhnik pengambilan sampel ada dua, yaitu probability sampling dan non probability
sampling. Salah satu cara tekhnik pengambilan sampel adalah menggunakan rumus
Taro Yamane yaitu: n = N/N.d2 +1. (n= jumlah sampel; N = jumlah populasi; d =
presisi yang ditetapkan).
[42] Kuesioner atau angket adalah daftar pertanyaan yang
diberikan kepada orang lain bersedia memberikan respon (responden) sesuai
dengan permintaan pengguna. Tujuan penyebaran angket adalah mencari informasi
yang lengkap mengenai suatu masalah dari responden tanpa merasa khawatir bila responden
memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar
pertanyaan. Ibid, hal. 99.
[43] Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan
persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dengan
menggunakan skala likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi dimensi,
dimensi dijabarkan menjadi sub variabel, sub variabel dijabarkan menjadi
indikator-indikator yang dapat diukur. Indikator-idikator yang terukur inilah
yang dijadikan guide-line dalam
membuat item instrumen berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab.
Ibid, hal. 86.
[44] Pendapat ahli dalam penelitian ini diwakili oleh Prof.
Abdus Salam Dz, MM, dalam konseling sepanjang bimbingan.
[45] Uji coba pendahuluan ini dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner di lingkungan tempat kerja penulis, yaitu teman-teman PNS di MAN2
Cirebon.
[49] Interview
langsung dengan Drs. H. Moh. Farid Marzuki, di Kantor Bazda Kota Cirebon, di
Jl. Kanggraksan, pada Sabtu, 21 Januari 2012.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMENGARUHI
KEPUTUSAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)
DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KOTA CIREBON UNTUK MEMBAYAR ZAKAT
PROFESI MELALUI BAZ / LAZ DENGAN CARA PEMOTONGAN GAJI
Studi Kasus atas Respon PNS
Terhadap UU No. 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat
dan
UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan
by Ipah Jahrotunasipah
Abstrak
Pembayaran zakat profesi oleh para
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintahan Kota Cirebon hingga kini belum
mengembangkan metode withholding (pemotongan
gaji). Ia belum dilihat sebagai modal social yang potensial dan
masih bertumpu
pada kerelaan (kesediaan) muzakki. Padahal
kontribusi besaran zakat profesi terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan
penyelesaian persoalan sosial lainnya sangatlah signifikan. Karena itu, penulis
memandang perlu untuk melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang
memengaruhi keputusan PNS di Lingkungan Pemerintah Daerah Kota Cirebon untuk
membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
Metodologi dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi linear sederhana dan
regresi linear berganda dengan menempatkan faktor pengetahuan, budaya, motivasi
dan regulasi sebagai variabel independen dan kesediaan sebagai faktor dependen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor-faktor tersebut berpengaruh kuat dan sedang terhadap kesediaan baik
secara parsial maupun secara serentak. Seperti ditunjukkan oleh nilai r secara
berturut-turut, yaitu 0,755; 0,78; 0,86; dan 0,837 untuk yang parsial. Dengan
demikian r untuk semua variabel > dari 0 dan H0 ditolak dan H1
diterima. Begitu juga hasil analisis regresi berganda menunjukkan nilai r = 0, 946 > 0. Artinya, total variabel X
(X1+X2+X3+X4) mempunyai pengaruh
terhadap variabel kesediaan, dengan persamaan regresi: Y = -2,641 +
0,19X1 + 0,020X2 + 0,062X3 + 0,051X4 . Artinya, hipotesis semakin tinggi
pengetahuan, budaya bersedekah, motivasi dan pemahamannya terhadap regulasi
zakat dan pajak di Indonesia akan semakin memengaruhi tingkat kesadaran dan
kesediaan berzakat para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah
Daerah Kota Cirebon melalui BAZ/LAZ, diterima.
Selain itu, dari penelitian ini juga
diperoleh data bahwa 85,7% responden
menyatakan bersedia untuk pembayaran zakat profesi melalui BAZ/LAZ
dengan cara pemotongan gaji.
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakng
Masalah
Berdasarkan UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, lembaga
pengelola zakat terdiri atas Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Badan
Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah,
baik di tingkat nasional maupun provinsi hingga kecamatan. Sedangkan Lembaga
Amil Zakat (LAZ), adalah institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh
masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah, untuk melakukan kegiatan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan
agama.[1]
BAZ/LAZ tersebut belum banyak mengembangkan metode pemungutan zakat
profesi melalui metode withholding
(pemotongan gaji) (withholding tax)
oleh Manajemen Perusahaan selaku pemberi kerja. Padahal, meknisme withholding tax ini terbukti telah
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan pajak di Indonesia,
yaitu antara lain berupa pajak penghasilan karyawan (PPh Pasal 21), yakni pajak
penghasilan yang dipotong dari gaji karyawan. Faktor keberhasilan metode
tersebut adalah karena pengelolaan pajak dilakukan oleh negara yang di dalamnya
terdapat unsur sanksi hukum bagi yang tidak melaksanakannya.
Pengaturan tentang zakat profesi ini juga telah dikukuhkan dengan UU
Pajak No 17 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa zakat penghasilan adalah komponen
pengurang pajak.[2]
Meski demikian, sejumlah penelitian zakat di beberapa daerah menunjukkan bahwa
pengelolaan dana-dana zakat baik dalam hal pengumpulannya maupun pendistribusiannya
masih menunjukkan adanya keterbatasan-keterbatasan yang juga disebabkan oleh
kebijakan yang belum berpihak.
Misalnya, penelitian di Sukoharjo[3]
dan Kabupaten Gresik[4]
yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pemotongan zakat profesi sebagai komponen
pengurang pajak belum dapat dilaksanakan secara maksimal dikarenakan (1) masih
adanya keraguan dari pemerintah daerah setempat; (2) tidak ada kerjasama yang
baik antara pemerintah daerah dan dirjen pajak, antara BAZ/LAZ dengan
pemerintah (3) serta kesadaran muzakki untuk berzakat melalui BAZ/LAZ masih
rendah. Berbeda dengan pengalaman di Kabupaten Bengkulu. Pemotongan zakat
dengan system withholding telah
berhasil dilaksanakan dengan baik pada zakat profesi PNS di lingkungan Pemda
setempat dengan menggunakan SK Walikota No. 20 Tahun 2008.
Termasuk Kota Cirebon, pemerintahannya hingga kini belum menunjukkan
ke arah upaya pelaksanaan kedua UU tersebut. Sebagai studi awal, hasil
interview dengan Kepala Bagian Zakat dan Wakaf Kementrian Agama Kota Cirebon
menyebutkan pihaknya belum bisa menerapkan secara utuh kedua Undang-undang
tersebut (UU No 38 Th 1999 dan UU No 17 Th 2000). Menurutnya, pelaksanaan kedua
Undang-undang tersebut masih diasumsikan memberatkan pegawai terkait dengan
kondisi banyak hal. “baru tahun ini kami akan bekerja sama dengan Pemda supaya
Walikota memberikan himbauan agar seluruh pegawai di lingkungan pemerintahannya
berzakat melalui lembaga zakat BAZ/LAZ”, ungkapnya.[5]
Meskipun pengelolaan zakat profesi ini di Indonesia belum dilakukan
oleh negara, namun bukan berarti para pegawai tidak dapat membayar zakat profesi
melalui BAZ atau LAZ dan menjadikannya sebagai komponen pengurang pajak. Seperti diatur oleh UU Pajak No. 17 Tahun 2000, yakni dengan cara melampirkan lembar ke-1 surat setoran zakat atau
fotocopinya yang telah dilegalisir oleh Badan Amil Zakat yang telah
disyahkan/dikukuhkan pemerintah penerima setoran zakat, yang bersangkutan pada
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atas
penghasilan tersebut.[6]
Akan tetapi, metode ini hanya mungkin dapat
dilakukan jika terdapat faktor kesediaan pegawai untuk dilakukan pemotongan
gaji guna membayar zakat profesinya.
Karena itu, sebagai
upaya optimalisasi pengelolaan dan pendistribusian dana-dana zakat, diperlukan
penelitian untuk melihat lebih jauh faktor-faktor yang memengaruhi pengumpulan
zakat profesi, misalnya pada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah
Kota Cirebon. Hal ini dilakukan untuk melihat peluang sejauhmana metode
withholding dapat diterapkan di Kota Cirebon, dengan cara melihat
(menganalisis) respon-respon yang diberikan terhadap kehadiran kedua
Undang-undang tersebut, yakni UU no 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan
UU no 17 Tahun 2001 tentang Pajak Penghasilan. Peluang yang baik sejatinya
direspon dengan segera, terutama dalam hal ini, oleh pemerintah. Maka, harapan bersama
untuk membangun kesejahteraan, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan ekonomi
masyarakat dapat mewujud.
b.
Pertanyaan
Penelitian
Dalam penelitian ini
terdapat tiga pertanyaan yang diajukan, pertama apakah tingkat keputusan PNS untuk membayar zakat profesi melalui
pemotongan gaji dipengaruhi oleh variable pengetahuan pegawai mengenai zakat,
budaya bersedekah pegawai dan lingkungannya, motivasi pegawai, dan keteraksesan
pegawai atas regulasi zakat dan pajak? Kedua, Berapa jumlah PNS secara statistik melalui besaran prosentase, yang menyatakan kesediaan
untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji?
Dan ketiga, bagaimana tingkat perkembangan penerimaan zakat dalam 2
(dua) tahun terakhir? Apakah menunjukkan
perkembangan yang signifikan pasca diundangkannya UU No. 38 Tahun 1999 dan UU
Pajak Tahun 2000?
c.
Kerangka Pemikiran
Pertanyaan
penelitian tersebut didasarkan pada kerangka pemikiran sebagaimana
diilustrasikan oleh bagan kerangka di bawah ini:
Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran
|
||||||
![]() |
||||||
|
||||||
|
||||||
|
||||||
d.
Hipotesis
Berdasarkan
uraian di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a)
Factor-faktor yang
memengaruhi pembayaran
zakat profesi pada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintahan Kota Cirebon
adalah factor pengetahuan, factor
budaya, factor motivasi dan factor regulasi tentang zakat dan pajak;
b)
Semakin tinggi
pengetahuan, budaya bersedekah, motivasi dan ketersediaan regulasi zakat dan
pajak di Indonesia akan semakin memengaruhi tingkat
kesadaran dan kesediaan berzakat para Pegawai Negeri
Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah
Daerah Kota Cirebon melalui BAZ/LAZ;
e.
Metode
penelitian
Penelitian ini menempatkan variable
dependent berupa keputusan (kesadaran
dan kesediaan)
pegawai untuk dilakukan pemotongan zakat profesi atas gaji dan variable
independent berupa pengetahuan pegawai, budaya pegawai dan lingkungannya,
motivasi dan keteraksesan pegawai atas regulasi zakat dan pajak.
Untuk memecahkan masalah
penelitian akan dilakukan metode kuantitatif dengan jenis data yang dipakai
adalah data primer. Data primer diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner
berupa sejumlah pernyataan dan pertanyaan. Untuk melihat pengaruh masing-masing
variabel independen berupa pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi digunakan
kalimat-kalimat pernyataan/pertanyaan yang kemudian diberikan skor dengan
menggunakan skala likert.
Selanjutnya, analisis terhadap
data primer yang diperoleh akan menggunakan analisis regresi, berupa regresi
linear dan regresi berganda. Regresi linear digunakan untuk melihat tingkat
pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
Sedangkan analisis regresi berganda digunakan untuk melihat tingkat pengaruh
semua variabel secara serentak terhadap variabel dependen.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh PNS yang
dianggap telah berpenghasilan melebihi nishab
dan mengandung potensi sebagai muzakki, yaitu PNS yang bergolongan IIIa ke
atas.
LANDASAN TEORI
A.
Konsep
Dasar Zakat Profesi
1.
Pengertian
Zakat Profesi
Zakat
menurut bahasa, merupakan bentukan dari kata zaka – yazku – zakâan, zakâtan, yang berarti berarti namâ = tumbuh (kesuburan), barakah
= keberkatan, thaharah, tathhier = bersih, dan berarti juga tazkiyah
= mensucikan.[7]
Makna
lain dari kata zakat, secara etimologis, adalah (1) bertambah atau berlipat
ganda, (2) tumbuh dan berkembang, (3) suci atau tidak berdosa, (4) menyucikan diri dan (5) pujian
yang baik.[8]
Bahkan juga bermakna as-sholahu, yaitu keberesan.[9]
Dari arti kata tersebut diperoleh sedikitnya
lima pengertian
zakat secara lebih luas. Pertama, zakat adalah sebagian harta yang dikeluarkan kepada orang
miskin dan diharapkan akan mendatangkan kesuburan
pahala.[10] Kedua, zakat
itu merupakan cara memperoleh
jiwa suci dan terhindar
dari sikap kikir dan dosa. Ketiga, zakat berarti membersihkan, yaitu membersihkan harta penghasilan
dengan cara mengembalikan hak orang lain yang terdapat pada harta tersebut. Dan
keempat adalah menumbuhkan, yaitu karena
dengan zakat yang dibayarkan
kepada para mustahik, terjadilan sirkulasi uang dalam
masyarakat yang mengakibatkan bertambah dan berkembangnya fungsi
uang itu dalam masyarakat.[11]
Kelima, zakat itu berarti keberkahan, yaitu cara
seseorang memperoleh hidup yang barokah,
yang mengandung kenikmatan-kenikmatan, terhindar dari kesulitan-kesulitan hidup,
serta memiliki daya atau kekuatan-kekuatan untuk dapat melewati hidup secara
lebih baik lagi.
“Term barokah
adalah sebuah karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia, alam atau benda atau
sebuah keuntungan materi maupun spiritual yang dihasilkan dari keinginan Tuhan.
Dalam arti ini, keberkahan adalah kekuatan yang agung dan suci,
kekuatan yang melimpah dari dunia yang supernatural yang
melimpahkan sebuah kualitas baru pada benda yang mendapat barokah tersebut.”[12]
Kata zakat juga memiliki kesamaan arti secara etimologi dengan kata riba sebagai tumbuh dan berkembang. Tetapi, pengertian secara maknawi (terminology) amatlah berkebalikan secara
simetris. Jika yang pertama bertujuan membersihkan dan menambah pahala, maka
yang kedua adalah mengotori dan menambah dosa. Seperti diperlihatkan dalam Q.S Ar-Rum
ayat 39, Allah mengkaitkan
zakat dengan sistim ekonomi ribawi
yang jelas kontra kemakmuran dan kesejahteraan orang banyak (baca: rakyat;
umat). [13]
“Dan
sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak bertambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan dari zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Kesediaan berzakat, dalam hal ini menuntut adanya
kesadaran. Dengan demikian, kesadaran berzakat
merupakan sebuah keharusan bagi orang Islam yang diwujudkan melalui upaya
memperhatikan hak fakir miskin dan para mustahik (orang yang berhak mendapatkan
zakat) lainnya. Kesadaran berzakat juga dipandang sebagai orang yang berusaha untuk selalu membersihkan, menyuburkan dan mengembangkan hartanya serta mensucikan
jiwanya.[14]
Sedangkan zakat profesi
adalah salah satu jenis
zakat hasil ijtihad ulama kekinian. Ia merupakan
perluasan konsep tentang harta yang dizakatkan. Hal ini sangat penting
dilakukan sebagai langkah maju dalam perekonomian muslim. Selain menciptakan rasa
keadilan dan kebersamaan diantara pembayar zakat, juga akan menjamin dan
memperbesar potensi zakat yang ada dalam masyarakat. Dengan potensi yang besar
inilah pendayagunaan zakat dapat menjadi solusi alternatif dalam menanggulangi kemiskinan.[15]
Menurut
al-Qardhawi, seperti dikutip oleh Didin Hafiduddin, zakat profesi adalah zakat
yang dikenakan kepada penghasilan para pekerja karena profesinya baik itu
dilakukan sendirian maupun bersama dengan pihak/lembaga lain yang mana
mendatangkan penghasilan (honorarium) yang memenuhi nishab.[16]
2.
Tasharruf Zakat Profesi
Dana-dana
zakat dapat diperuntukkan untuk kebutuhan konsumtif dan produktif yaitu:[17]
a. Kebutuhan
konsumtif
Zakat diperuntukkan bagi pemenuhan hajat hidup para
mustahik delapan asnaf, sesuai dengan Undang-undang, mustahik delapan asnaf[18]
ialah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, ibnu
sabil yang didalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak
berdaya secara ekonomi seperti anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang
menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit utang,
pengungsi yang terlantar dan korban bencana alam.
b. Kebutuhan
produktif
Pendayagunaan
zakat juga dapat diperuntukkan bagi usaha produktif yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyaluran / pendistribusian zakat dalam
bentuk ini adalah bersifat bantuan pemberdayaan melalui program atau kegiatan
berkesinambungan, dengan dana bergulir untuk kesempatan penerima dana lebih
banyak lagi.
c.
Membangun
Sarana Umum (Publik)
Merupakan
gagasan yang masih kontroversial apakah dana-dana zakat dapat ditasharrufkan
untuk membangun sarana umum. Sebagian bersikeras bahwa dana zakat hanya boleh
ditasharrufkan kepada delapan ashnaf sesuai dengan bunyi ayat
secara tekstual pada Q.S. At-Taubah ayat 60. Sedangkan dalam
perekonomian modern dimana aspek-aspek kehidupan berkembang luas, maka mereka
berpendapat bahwa dana zakat dapat ditasharrufkan
untuk membangun sarana umum.
Secara
historis, dana-dana zakat baik perolehannya maupun pendistribusiannya tidaklah statis. Ia berkembang secara dinamis sesuai dengan keadaan yang
menyertainya. Meskipun, Adiwarman Karim, untuk kehati-hatiannya menyebut bahwa
dana zakat secara spesifik diperuntukkan untuk 8 ashnaf, dengan
pengertian pada sabilillah dan ibnu sabil “diterjemahkan” sebagai dana untuk
membebaskan budak dan dana untuk melaksanakan aktivitas pekerjaan umum.[19]
Jika
kita hendak berpijak pada upaya kontekstualisasi
ayat-ayat al-Qur’an, maka peluang untuk memberikan tafsir secara lebih luas
pada kelompok 8 sangatlah terbuka. Upaya kontekstualisasi
ayat-ayat al-Qur’an ini dikembangkan antara lain oleh Fazlur Rahman, Abdullah
Ahmed An-Naim dan Abed Al-Jabiri.[20] Hal ini juga ditegaskan oleh Mashdar F.
Mas’udi bahwa prinsip kontekstualitas
dan relativitas dari fiqih adalah sangat jelas.[21]
Kejelasan ini didasarkan pada prinsip maqashidu
syari’at atau tujuan utama syari’at diberlakukan kepada manusia, yakni kemashlahatan
bagi semua orang. Kemashlahatan diartikan sebagai kesejahteraan dan keadilan. [22]
Penekanan
ajaran Islam terhadap cita kemashlahatan berupa nilai keadilan ini
diilustrasikan Karen Amstrong sebagai berikut:
“Islam
berarti kaum muslim memiliki kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang adil
dan setara dimana orang-orang miskin dan lemah diperlakukan secara layak. Pesan
moral Al-Qur’an yang pertama sederhana saja: janganlah menimbun kekayaan dan
mencari keuntungan bagi diri sendiri, tetapi bagilah kemakmuran secara merata
dengan menyedekahkan sebagian harta kepada fakir miskin. Zakat dan shalat
merupakan dua dari lima rukun atau
prinsip ajaran Islam. Seperti halnya Nabi-nabi Ibrani, Muhammad menyiarkan
sebuh etika yang bisa kita sebut sosialis sebagai kosekuensi dari penyembahan
Tuhan kepada satu Tuhan.”[23]
B. Relasi Zakat
dan Pajak
Islam adalah agama yang memberikan kerahmatan bagi seluruh alam.
sebagaimana bunyi ayat 107 dari Q.S
Al-Anbiya. “wa mâ arsalnâka illa rahmatan
lil âlamîn”, artinya, “dan tiadalah Aku utus engkau wahai Muhammad
melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Menurut Husein Muhammad, terma rahmat menunjuk bahwa Islam adalah agama yang terbuka dan responsif atas
problem-problem kemanusiaan. Ia selalu mengusahakan sistem kehidupan yang
memberi rahmat dan kesejahteraan, baik materil maupun non-materil, yang
diorientasikan baik untuk kehidupan sekarang maupun untuk kehiduan akhirat
kelak. Karenanya, terma kerahmatan meniscayakan berlakunya norma-norma
kemanusiaan, yaitu antara lain keadilan, kesetaraan, kepedulian dan
kemashlahatan sosial.[24]
Sedangkan Masdar
F. Mas’udi menjelaskan ayat tersebut secara implisit menghendaki agar umat
Muhammad memiliki komitmen terhadap hal-hal yang menjadi kepentingan semua
pihak – tanpa membedakan warna kulit, bahasa, budaya dan keyakinan
masing-masing. Jelasnya, Islam menuntut penganutnya untuk menjadi pelayan bagi
semua orang, bahkan segenap makhluk semesta. [25]
Karena itu, sebagai
upaya mewujudkan kerahmatan bagi semua orang inilah maka konsep zakat tidak
saja dipahami sebagai ibadah (jalan kesalehan) yang berdimensi personal dan yang ritual (mahdhah), tetapi
sekaligus sejatinya dipandang sebagai ibadah sosial yang dinamis (gair mahdhah).
Dinamis dalam pengertian dapat dikembangkan sesuai dengan konteks kekinian,
sesuai dengan spirit kaidah fiqih “taghoyyuril
ahkam bi taghoyyuril amkinah wal azminah wal ahwal”, berubahnya hukum
sesuai dengan berubahnya tempat, waktu dan keadaan. Dengan demikian, fiqih
atau dalam hal ini zakat akan senantiasa dapat merespon persoalan-persoalan
keummatan sesuai dengan kondisi zaman.
Dengan demikian
konsep zakat tidak saja mengandung muatan yang sakral – transendental, tetapi sekaligus bersifat profan – immanent
(keadilan). Pada konteks yang kedua
inilah maka konsep zakat sejatinya terus dapat dikembangkan baik menyangkut
dasar filosofisnya, epistemologinya, struktur dan kelembagaannya, maupun
manajemen operasionalnya. Secara historis menunjukkan bahwa pengalaman ummat
Islam masih lemah dalam hal tersebut, yang berakibat konsep zakat tidak banyak
berkembang.
Realitas masyarakat saat ini lebih banyak mengenal pajak daripada zakat.
Zakat dan pajak adalah dua hal yang secara teologis-filosofis dianggap sebagai
kata yang berbeda. Zakat secara umum diartikan sebagai harta yang dibayarkan
oleh seorang muzakki yang didasarkan
atas kesadarannya sebagai hamba Allah. Sedangkan pajak lebih diartikan sebagai
harta yang dibayarkan (tanpa memerhatikan kaya atau miskin) kepada negara yang
didasarkan atas kesadaran politiknya sebagai seorang warga negara. Yang pertama
bersifat spiritual- relation,
sedangkan yang kedua bersifat politic-citizenship
relation. Yang pertama bersifat sakral sedang yang kedua bersifat profan.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pajak dan zakat tidak pernah bisa
disatukan, sesuatu yang terpisah dan karenanya model pengelolaannya kemudian
dilakukan secara terpisah.[26]
Berbeda dari pandangan tersebut, Masdar F. Mas’udi melihat bahwa zakat
dan pajak adalah dua kata yang bisa diintegrasikan, atau bahkan secara
substansi mengandung makna yang sama. Hal ini berdasar pada pemaknaan kembali
pada pajak dan zakat itu sendiri. Dijelaskannya bahwa sepanjang
sejarah peradaban,
ada tiga konsep makna yang pernah diberikan kepada pranata pajak. Pertama,
pajak dengan konsep upeti atau persembahan kepada raja. Kedua,
pajak dengan konsep ‘kontra-prestasi’ (dalam Al-Quran disebut jizyah)
antara rakyat pembayar pajak, dan pihak penguasa. Negara dengan pajak
jizyah, mengabdi pada kepentingan elite penguasa. Ketiga,
pajak dengan konsep etik atau ruh zakat, yaitu pajak sebagai sedekah karena
Allah yang diamanatkan kepada negara untuk kemaslahatan segenap rakyat. Maka, pada konsep yang ketiga inilah, tegas Masdar,
pajak dan zakat bisa disatukan.
Tetapi, saya kira pandangan yang progresif
ini masih memerlukan jangka waktu panjang untuk mempraktikannya. Karena, pada
umumnya masyarakat masih melihat keterpisahan antara hukum Tuhan dengan hukum
buatan manusia. Termasuk dalam membayar zakat, pada umumnya dipandang sebagai
memenuhi kewajiban Tuhan semata.[27]
Dan dalam
penulisan penelitian ini, penulis tidak mengambil konsep yang ketiga, tetapi
mengambil konsep yang kedua dengan pertimbangan bahwa realitas empirik
menunjukkan bahwa pengelolaan zakat dan pajak masih dilakukan secara terpisah. Yang zakat dikelola oleh Baznas sedangkan pajak
dikelola oleh Dirjen Pajak, meski keduanya sekarang sama-sama berada di bawah
pengelolaan negara/ pemerintah. Kebijakan yang sangat
moderat ketika UU Pajak No. 17 tahun 2000 berusaha mengakomodasi kepentingan
masyarakat muslim (muzakki) dengan menjadikan zakat sebagai komponen pengurang
pajak. Namun, dalam hal ini banyak dari muslim yang belum menggunakan (mengambil
manfaat) dari kebijakan tersebut.
C. Berzakat
sebagai sebuah Perilaku (Amalan Sholihan)
1.
Perilaku
Berzakat sebagai Tindakan Ekonomi
Perilaku
berzakat, berinfaq dan bershodaqoh juga
sering disebut sebagai “membelanjakan” harta di jalan Allah. Artinya, berzakat
sebagai sebuah tindakan yang dianggap akan mendatangkan keuntungan-keuntungan
secara ekonomi, baik yang bersifat profit maupun benefit. Hal ini, sesuai
dengan pengertian zakat itu sendiri sebagai upaya-upaya menumbuhkan harta,
pahala, mendatangkan keberuntungan, keberkahan, mensucikan, membersihkan dan
memperoleh pujian yang baik.
Dengan
demikian, jika perilaku berzakat dilihat sebagai tindakan ekonomi, maka ia akan
didasarkan pada prinsip-prinsip rasionalitas[28]
berikut ini:[29]
a. Konsumsi
dinyatakan rasional jika pembelanjaan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan; pada ekonomi konvensional, hal ini tidak diperhatikan.
ولا
تجعل يدك مغلولة إلى عنوقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسور ا(Al-
Isra: 29)
Pertanyaannya adalah apakah berzakat
sudah dianggap sebagai kebutuhan bagi seorang muslim atau sebaliknya sebatas
kewajiban dan ia menjadi beban? Sedangkan mengenai kemampuan, tentu saja,
berzakat hanya berlaku bagi seorang mukallaf
yang sudah mencapai nishab.
Adapun teori kebutuhan menurut teori
Maslow meliputi kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan pengakuan
dan kasih sayang, kebutuhan penghargaan, kebutuhan kognitif, kebutuhan estetika
dan kebutuhan mengaktualisasikan diri.[30]
Maka perilaku berzakat merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan tersebut.
Sedangkan menurut Asy-Syatibi, rumusan
kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga tahapan, yaitu dhoruriyat (primer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier).[31]
Yang dhoruriyat meliputi kebutuhan
untuk memiliki aksesibilitas terhadap
agama, kehidupan, pendidikan, keturunan dan harta. Maka perilaku berzakat
merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan terkait menjalankan keyakinan
(agama), melangsungkan kehidupan yang lebih baik, memperkuat pendidikan (tarbiyah
islamiyah), memperkokoh keturunan, dan upaya mengembangkan harta.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
perilaku berzakat adalah rasional jika dilihat dari konsep upaya memenuhi
kebutuhan baik menurut teori Maslaw maupun menurut As-Syatibi.
b. Konsumsi
dinyatakan rasional jika tidak hanya ditujukan untuk dirinya sendiri tetapi
juga untuk keperluan di jalan Allah; (consumtion for self and consumtion for
couse of Allah); pada ekonomi konvensional, konsumsi hanya ditujukan pada
dirinya sendiri;
وءات
ذا القربى حقّه والمسكين وابن السبيل ولا تبذر تبذيرا (Al-Israa: 26)
c. Konsumsi
dinyatakan rasional jika tingkat konsumsinya lebih kecil daripada konsumen
non-muslim dikarenakan hanya diperbolehkan pada produk-produk yang halal dan
thoyib; pada ekonomi konvensional tidak memperhatikan halal-thoyyib;
إنّما
حرّم عليكم الميتة والدّم ولحم الخنزير .... (الأية) (Al-Baqarah: 173)
d. Konsumsi
dinyatakan rasional jika ia dapat menyisihkan uangnya untuk ditabung; hal ini
seperti dikemukakan oleh Nabi dalam haditsnya: “jagalah lima perkara sebelum
dating lima perkara: sehatmu sebelum sakitmu, mudamu sebelum tuamu, ...”;
termasuk dalam pengertian hadits di atas adalah jagalah uang kita sebelum
datang waktu dimana kita tidak memperoleh pendapatan. Pada ekonomi konvensional,
terdapat perhatian pada hal menabung ini, tetapi tujuannya yang berbeda. Jika
dalam Islam tujuan menabung ini adalah untuk berjaga-jaga (precausanary) sedangkan dalam konvensional adalah untuk memperoleh
pendapatan (dari bunga tinggi) sekaligus upaya para kapitalis untuk memperoleh
dana public secara cuma-cuma.
e. Konsumsi
dinyatakan rasional jika ia dapat menggunakan sebagian uang tabungannya untuk
kepentingan investasi dan kerjasama.
Islam sangat menganjurkan untuk dapat memaksimasi manfaat dari setiap
fasilitas atau barang; Islam sangat mengecam kesia-siaan. Karena itu Islam
tidak menghendaki adanya “idle”.
Maka, untuk setiap fasilitas, barang dan atau uang yang disimpan, akan menjadi
rasional jika diinvestasikan untuk mengambil manfaat yang lebih baik, lebih
banyak, dan dapat berbagi dengan orang lain (couse of Allah). Spiritnya adalah firman Allah berikut:
تعاونوا
على البرّ والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان .... (الأية)
Investasi ini sekaligus
sebagai upaya membangun kekuatan ekonomi dalam jangka panjang, tidak saja untuk
kepentingan individu, tapi juga secara sosial. Hal ini penting untuk
diperhatikan sebagai upaya menjawab pernyataan Allah SWT dalam Q.S. An-Nisaa
ayat 9:
وليخش
الذين لو تركوا من خلفهم ذرّية ضعافا خافوا عليهم .. (الأية)
f. Konsumsi
dinyatakan rasional jika ia tidak bersikap boros dan berlebihan. Boros dan
berlebihan merupakan tindakan syaithanic;
ini berkebalikan dengan ekonomi konvensional yang lebih memperhatikan maksimasi
kekayaan.
إنّ
الله لا يحبّ المسرفين .. (الأية)
Dari uraian tersebut,
maka disimpulkan bahwa perilaku berzakat merupakan tindakan yang rasional dalam
perspektif ekonomi Islam, karena ia merupakan salah satu upaya memenuhi
kebutuhan, ditujukan untuk keperluan di jalan Allah, memerhatikan halal dan
thoyyib, sebagai tabungan (materiil dan immaterial), sebagai bentuk investasi
dan kerjasama serta sebagai kendali untuk tidak boros dan berlebihan
2.
Perilaku Berzakat
sebagai Tindakan Sosial
Perilaku
berzakat tidak hanya didasarkan atas kesadaran akan kewajiban sebagai seorang
muslim yang bersifat personal, tetapi sejatinya didasarkan pula atas kesadaran
akan pentingnya membangun kerahmatan
(keadilan dan kemaslahatan) bagi semua orang.
Tindakan
sosial dalam teori Fungsionalisme seperti yang diusung oleh Talcot Person memberikan
kerangka bahwa aktivitas berzakat merupakan manifestasi spesifik dari ajaran
Islam yang menginginkan adanya pengorbanan individu terhadap tujuan untuk
menciptakan tatanan masyarakat yang seimbang. Tatanan masyarakat yang seimbang
dianggap akan sanggup mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Jadi
menurut Teori Fungsionalisme, zakat
hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan. Zakat bukanlah tujuan itu sendiri.[32]
Dengan
begitu, perilaku berzakat tidak berhenti pada sekedar pemenuhan akan kewajiban
yang berdampak pada sangat rigid-nya
mekanisme atau aturan-aturan tekhnis, batasan-batasan nishab yang amat sakral,
pentasharuffan yang demikian
tekstual, dan lainnya. Akibatnya, ketercapaian akan tujuan tidak lagi menjadi
bahan pertimbangan. Perilaku berzakat sejatinya dilihat sebagai sebuah upaya
yang terus-menerus untuk menciptakan struktur masyarakat yang tidak timpang,
baik secara ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Demikian
juga menurut analisis tindakan sosial Marx Weber, perilaku berzakat akan dilihat
sebagai tindakan rasional berorientasi nilai ketika didasarkan oleh rasa
kewajiban yang diajarkan oleh agama. Tetapi hal ini akan berkembang menjadi
tindakan rasional instrument atau bertujuan apabila ditunaikan tidak
semata-mata atas dasar perintah wajib, tetapi dipahami sebagai sebuah
instrument atau alat untuk terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan.[33]
3.
Dinamika Perilaku Berzakat
Berdasar
penjelasan konsep-konsep/teori, perilaku manusia senantiasa dibangun oleh kesadaran-kesadaran, baik sebagai
the self, pribadi, atau individu,
maupun sebagai bagian dari orang lain.[34]
Kesadaran-kesadaran tersebut senantiasa berubah dari waktu-ke waktu, dari
keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Namun, sebagiannya akan menunjukkan
konsistensi, tetap atau sama. Kondisi-kondisi tersebut sangat
dipengaruhi – juga
mempengaruhi, antara lain oleh faktor budaya,
pengetahuan, motivasi dan regulasi.
Engel, Blackwell dan Miniard, seperti dikutip oleh
Karsino menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap
keputusan konsumen adalah sebagai berikut:[35]
a. Perbedaan Individu
Terdiri dari
beberapa kategori, yaitu:
1) Sumberdaya konsumen;
2) Pengetahuan;
3) Sikap;
4) Motivasi;
5) Kepribadian, nilai yang dianut dan gaya hidup;
b. Pengaruh Lingkungan
Meliputi:
1) Budaya;
2) Kelas Sosial;
3) Pengaruh Pribadi;
4) Pengaruh Keluarga;
5) Situasi;
c. Proses Psikologi
Terdiri dari:
1) Pengolahan Informasi;
2) Pembelajaran;
3) Perubahan Sikap dan prilaku;
Karena itu, dalam penelitian ini, penulis hanya fokus
pada empat faktor berupa faktor budaya,
pengetahuan, motivasi dan regulasi. Keempat faktor tersebut berpengaruh
kepada individu untuk memberikan keputusan untuk bersedia membayarkan zakat profesi kepada Baznas atau LAZ yang berada di bawah pengawasan pemerintah.
D. Pelaksanaan Tekhnis Pembayaran Zakat dikaitkan dengan
UU Pajak
UU no. 38 Tahun 1999[36]
tentang Pengelolaan Zakat, yakni pada Bab IV Pasal 14 ayat 3 berbunyi bahwa: “Bahwa
zakat yang telah dibayarkan pada Badan Amil Zakat atau Lembaga amil Zakat dapat
dikurangkan dari laba/ pendapatan sisa kena pajak dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Dan UU no 17 Tahun 2000[37]
tentang Pajak Penghasilan yakni Pasal 9 ayat (1) berbunyi bahwa: “untuk
menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan
warisan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat 3 huruf a dan huruf b, kecuali zakat
atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama Islam atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah.
Adapun Pasal 4 ayat 3 huruf a bagian 1 mengemukakan
bahwa zakat bukan objek pajak, karena penerimaan zakat dianggap bukan merupakan
penerimaan pendapatan atau tambahan penghasilan sehingga tidak dikenai pajak.
Sedangkan pembayaran zakat oleh wajib pajak (muzakki) dianggap sebagai
pengeluaran biaya sehingga dapat mengurangi pembayaran pajak.[38]
Sebagai petunjuk tekhnis dari UU No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat dkeluarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat, serta Surat Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001 yang
dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2001 tentang didirikannya Badan Amil Zakat
Nasional. Melalui dua surat keputusan tersebut, seorang wajib zakat yang telah
membayar zakatnya ke BAZNAS, BAZDA, maupun LAZ yang diakui dan disahkan
pemerintah maka dia akan memperoleh Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) dan Bukti
Setor Zakat (BSZ) sebagai bukti untuk pengurangan penghasilan kena wajib pajak
(PKP).
Selanjutnya Direktur Jendral Pajak mengeluarkan
Surat Keputusan No.1643/PJ/2003 yang ditetapkan pada tanggal 10 Juni 2003
Tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Perhitungan Penghasilan Kena
Pajak Penghasilan. Keputusan ini terdiri dari 5 Pasal, diantaranya Pasal 4
berbunyi:
(1)
Wajib pajak
yang melakukan pengurangan zakat atas penghasilan, wajib melampirkan lembar
ke-1 Surat Setoran Zakat atau fotocopy-nya yang telah dilegalisir oleh Badan
Amil Zakat yang bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.
(2)
Surat Setoran
Zakat yang dapat diakui sebagai bukti sekurang-kurangnya harus memuat:
-
Lengkap Wajib
Pajak
-
Alamat jelas
Wajib Pajak
-
Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP)
-
Jenis
Penghasilan yang dibayar zakatnya
-
Sumber/jenis
penghasilan dan bulan/tahun perolehannya
-
Besarnya
penghasilan
-
Besarnya zakat
atas penghasilan[39]
E.
Penelitian Sebelumnya
Sebuah penelitian yang hampir sama telah dilakukan
oleh Karsino, dalam tesisnya berjudul: “
Peluang Kesediaan Karyawan untuk Dipungut Zakat Profesi dengan Metode Withholding dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya (Penelitian Terhadap Karyawan Swasta Di Jakarta)”. [40]
Penelitian ini membahas mengenai peluang kesediaan
karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode withholding
(pemotongan gaji) dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Kesediaan karyawan
untuk dipungut zakat profresi dengan metode withholding diduga dipengaruhi oleh
empat variable, yaitu: pengetahuan karyawan mengenai zakat, budaya bersedekah
pada diri karyawan dan lingkungannya, promosi Badan Amil Zakat (BAZ)/Lembaga
Amil Zakat (LAZ) yang didapatkan karyawan dan pemahaman karyawan mengenai
regulasi zakat dan pajak. Penelitian ini dilakukan terhadap 299 responden yang
merupakan karyawan perusahaan swasta di Jakarta yang diambil secara acak.
Analisis data yang digunakan adalah regresi model binary logit. Hasil penelitian Karsino
menyimpulkan bahwa peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi
dengan metode withholding adalah 63,20%. Apabila keempat variable pengaruh di
atas bernilai rendah, peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi
dengan metode withholding adalah 21,26%. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa
pengetahuan karyawan mengenai zakat, budaya bersedekah pada diri karyawan dan
lingkungannya, promosi dari BAZ/LAZ yang didapatkan karyawan dan pemahaman
karyawan mengenai regulasi zakat dan pajak berpengaruh positif terhadap peluang
kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode pemotongan
atas gaji.
Berbeda dari
penelitian Karsino tersebut adalah pertama, bahwa penelitian ini
menggunakan variabel motivasi tanpa melibatkan promosi. Hal ini didasarkan atas
asumsi bahwa faktor internal individu khususnya motivasi keagamaan lebih
memiliki daya dorong untuk seseorang menentukan dan mengubah perilakunya.
Kedua, yang
berbeda adalah jenis responden penelitian. Jika pada penelitian Karsino
menggunakan responden karyawan swasta yang muslim dan berlokasi di Jakarta,
maka pada penelitian ini yang menjadi responden adalah Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang berlokasi di daerah yaitu Kota Cirebon. Hal ini didasarkan atas
asumsi bahwa PNS sejatinya memiliki kesadaran dan tanggungjawab yang lebih baik
untuk patuh dan tunduk pada peraturan yang berlaku, untuk memberikan inisiatif
dan tauladan yang lebih baik, serta memberikan dukungan yang lebih besar pada
kemajuan dan keberhasilan kehidupan bangsa.
Ketiga, yang membedakan
penelitian dengan Karsino adalah metodologi yang digunakan. Jika pada Karsino
menggunakan analisis regresi model binary
logit, pada penelitian ini menggunakan analisis regresi linear sederhana
dan linear berganda.
Keempat, bahwa pada penelitian ini
diilustrasikan bagaimana perkembangan zakat profesi dalam 2 (dua) tahun
terakhir dan signifikansinya terhadap upaya mengurangi kemiskinan di Kota
Cirebon.
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Objek
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan unit analisis individu, yaitu Pegawai Negeri Sipil yang
beragama Islam di wilayah Kota Cirebon. Dengan demikian, populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh PNS muslim Pemerintahan Daerah di wilayah Kota
Cirebon. Sedangkan sampel yang akan dijadikan responden adalah PNS muslim dari
beberapa institusi di lingkungan Pemda yang diambil secara acak. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data cross
section yaitu data yang dikumpulkan dalam satu waktu tertentu. Pengambilan
data dalam penelitian ini dilakukan selama satu bulan yaitu bulan Januari 2012.
B.
Populasi
dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini
ialah PNS yang beragama Islam dari beberapa
Institusi Pemda yang berkedudukan di wilayah Kota Cirebon. Adapun target
responden yang akan diambil dalam penelitian ini adalah PNS muslim dengan
pendapatan bruto per bulan yang nilainya telah melebihi nishab kewajiban zakat profesi
dan atau berpotensi menjadi muzakki. Dengan mengacu
pada nishab hasil pertanian, yakni 524
kg dan dengan asumsi bahwa harga beras per kilogram adalah Rp 7.000,-, maka
dalam penelitian ini ditetapkan bahwa penghasilan bruto PNS adalah sebesar Rp 3.668.000,00 (= 524 kg x Rp 7.000,00/kg), atau diambil angka mudah sekurangnya Rp. 3.600.000,-.
Angka penghasilan sebesar ini dianggap setidaknya diperoleh oleh pegawai mulai
golongan IIIc ke atas. Golongan III a dan IIIb dianggap sebagai golongan yang
berpotensi menjadi muzakki. Dengan demikian populasi pada penelitian ini adalah
PNS mulai golongan IIIa ke atas berjumlah 5173.
Teknik
pengumpulan sampel dilakukan dengan metode non
probability sampling. Artinya,
jumlah sampel ditetapkan sesuai dengan jumlah quota yang diinginkan dalam penelitian atau biasa disebut convenience sampling dan purposive random sampling. Dengan demikian sampel dalam penelitian ini adalah n = N/(N.d2+1) = 5173/(5173.(0.1)2 + 1) = 98
PNS atau responden.[41]
C.
Tekhnik
Pengumpulan Data
Dalam
penelitian digunakan teknik
pengumpulan data primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner kepada responden sejumlah
98 PNS yang tersebar di beberapa instansi.
Dalam
proses pengambilan data, desain kuesioner[42]
dibuat dalam bentuk sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada responden.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibuat
berdasarkan masing-masing atribut dari seluruh variabel penelitian. Masing-masing
pertanyaan diberikan skor dengan menggunakan skala likert[43]
sebagai berikut:
5 : Sangat (sangat setuju, sangat baik, sangat mendukung, sangat
tersedia, sangat tahu, sangat mendukung, sangat ingin, sangat perlu, sangat
ada (lengkap), dll)
4 : Sedang
(setuju, baik, mendukung, tersedia, tahu, ada,
dll)
3 : Kurang
(kurang setuju, kurang baik, kurang tersedia, kurang tahu, kurang
ada (ada tapi tidak memadai), dll)
2 : Tidak (tidak setuju, tidak baik, tidak tersedia, tidak tahu, tidak ingin, tidak
ada, dll
1 : Sangat Tidak (sangat tidak setuju, sangat tidak mendukung, sangat
tidak tersedia, sangat tidak tahu, sangat tidak ingin, samasekali
tidak ada, dll)
Sebelum
dilakukan penelitian lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan uji validitas instrumen dengan pertama-pertama meminta
pandangan ahli (judgment experts).[44]
Setelah itu dilakukan coba pendahuluan dengan
menyebarkan kuesioner sebanyak 30 (n).[45]
Hal ini bertujuan agar penelitian yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah terutama terkait dengan validitas pertanyaan yang diajukan.[46]
Setelah dilakukan studi pendahuluan sebanyak 30 (n), selanjutnya dilakukan uji
validitas dan reliabilitas terhadap semua pertanyaan yang diajukan dari
masing-masing variabel.
D.
Deskripsi
Variabel
E.
Tahapan
Analisis Data
Tahapan
Analisis Data
1.
Uji
Validitas
2.
Uji
Reliabilitas
3.
Uji
Regresi Model Linear
dan Berganda
4.
Uji
Prasyarat Analisis, meliputi : Uji Normalitas, Uji
Homogenitas, Uji Linieritas.
5.
Untuk menguji model regresi yang
diperoleh benar-benar merupakan penduga parameter yang akurat, efesien dan
tidak bias atau dikenal dengan istilah asumsi BLUE (Best Linear Unbiased
Estimator) dilakukan pengujian
model persamaan regresi dengan uji asumsi klasik yang persyaratannya mencakup uji
multikolinearitas (VIF), uji heteroskedastisitas (Scatter Plot) dan uji
autokorelasi (Durbin-Watson).[47]
6.
Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan dengan analisis statistik
inferensial digunakan untuk menguji ketiga hipotesis penelitian. Analisis
inferensial yang digunakan adalah analisis regresi linier sederhana dan
analisis regresi linier berganda. Analisis regresi linier sederhana untuk
menguji hipotesis pengaruh secara parsial sedangkan analisis regresi linier
berganda untuk menguji hipotesis pengaruh secara gradual.
Hipotesis pengaruh secara parsial dengan menggunakan regresi linear sederhana
dengan model persamaan regresi :
Y = a + bX1 dan
Y = a + bX2.
Adapun hipotesis pengaruh secara gradual diuji
dengan regresi linear berganda dengan model
persamaan regresi :
Y = a + bX1 + cX2 + dX3 + eX4
Dimana Y (variabel kesedian zakat dengan potong gaji), a (intercept atau
konstanta), b,c,d dan e (koefesien), X1
(variabel pengetahuan), X2 (Variabel budaya), X3
(variabel motivasi), dan X4 (variabel regulasi). Hipotesis
statistiknya adalah sebagai berikut :
a. Hipotesis pertama
b. Hipotesis
kedua
c. Hipotesis
ketiga
d. Hipotesis
keempat
e. Hipotesis
kelima
Analisis
regresi dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Mencari persamaan model regresi Y atas X1,
Y atas X2, Y atas X3, Y atas
X4 dan Y atas X1+X2+X3+X4. Langkah ini dilakukan dengan menganalisis
tabel Coefesient hasil analisis SPSS.
b. Menguji signifikansi regresi Y atas X1, Y
atas X1, Y atas X2, Y atas X3, Y atas X4 dan Y atas X1+X2+X3+X4.
Langkah ini dilakukan dengan menganalisis nilai F hitung pada tabel Anova
hasil analisis SPSS terhadap nilai F tabel.
c. Uji signifikansi koefesien regresi X1
terhadap Y, Y atas X1, Y atas
X2, Y atas X3, Y atas X4 dan Y
atas X1+X2+X3+X4. Langkah ini
dilakukan dengan menganalisis nilai R (ry1, ry2, ry3, ry4 dan ry1-4) pada tabel Model Summary hasil analisis SPSS serta menganalisis
nilai t hitung pada tabel Coefesient hasil analisis SPSS terhadap nilai t tabel
untuk hipotesis pengaruh secara parsial dan analisis nilai F pada Anova
terhadap F tabel untuk analisis hipotesis pengaruh secara gradual.
Dari nilai koefesien dan persamaan regresi dapat
diketahui : ada tidaknya pengaruh, arah pengaruhnya positif atau negative,
kekuatan pengaruhnya, tingkat signifikansi pengaruh, kontribusi pengaruhnya
terhadap variabel Y dan prediksi nilai Y jika terjadi perubahan variasi X.
ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A.
Factor-faktor
yang Memengaruhi
Keputusan PNS
Membayar Zakat Profesi.
Hasil analisis regresi sebagaimana diuraikan pada
pembahasan di atas dapat dijelaskan hal-hal berikut ini:
a.
Semua variabel independen (pengetahuan,
budaya, motivasi dan regulasi) memiliki pengaruh yang besar seperti ditunjukkan
oleh nilai r secara berturut-turut, yaitu 0,755; 0,78; 0,86; dan 0,837 untuk
yang linear. Dengan demikian r untuk semua variabel > dari 0, maka:
1) Hipotesis pertama
Persamaan regresi yang
diperoleh untuk variabel pengetahuan adalah:
Y
= -1,515 + 0.119X
2)
Hipotesis
kedua
Persamaan regresi yang diperoleh untuk variabel
budaya adalah:
Y
= -1,515 + 0,101X
3)
Hipotesis
ketiga
Persamaan regresi yang
diperoleh untuk variabel motivasi adalah:
Y
= -1,515 + 0,121X
4)
Hipotesis
keempat
Persamaan regresi yang
diperoleh untuk variabel regulasi adalah
Y
= -1,515 + 0,120X
Sedangkan dari penjelasan
tabel 4.23, diperoleh nilai r = 0, 946 > 0. Artinya, total variabel X (X1+X2+X3+X4) mempunyai pengaruh terhadap
variabel kesediaan. Dengan demikian,
5)
Hipotesis kelima
Persamaan regresi yang diperoleh untuk keseluruhan variable secara serentak adalah:
Y = -2,641 + 0,019X1 + 0,020X2
+ 0,062X3 + 0,051X4
b.
Data nilai r tersebut pada point 1, juga
menujukkan arah yang kuat dan positif. Artinya, jika semua variabel independen
nilainya bertambah naik, maka tingkat kesediaan mereka juga akan naik, dan
sebaliknya. Dengan demikian, hipotesis semakin tinggi pengetahuan, budaya
bersedekah, motivasi dan pemahamannya terhadap regulasi zakat dan pajak akan
semakin memengaruhi keputusan PNS (kesadaran dan kesediaan) untuk membayar
zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
c.
Dari hasil analisis di atas juga diperoleh
keterangan besaran prosentase pengaruh semua variabel independen secara parsial
terhadap variabel kesediaan, yaitu masing-masing sebesar 57%, 61%, 74%, dan
70%. Hal ini dilihat dari nilai R.Square pada masing variabel (lihat Tabel
summary). Sedangkan besaran prosentase pengaruh semua variabel secara serentak
dipeoleh nilai R. Square 0.894 atau 89,4%. Artinya, variabel kesediaan
ditentukan oleh keempat variabel tersebut secara serentak sebesar 89,4%.
Selebihnya, sebagiannya, yaitu 10,6% ditentukan oleh faktor lain yang tidak
dianalisis dalam penelitian ini, misalnya, faktor kepercayaan atau
ketidakpuasan, faktor pemahaman yang berbeda, atau mungkin juga faktor
keengganan.
d.
Besaran kekuatan pengaruh yang ditunjukkan
oleh angka R2 (R Square) tersebut berdasar Tabel menunjukkan tingkat
hubungan yang sedang untuk variabel pengetahuan dan tingkat hubungan kuat untuk
variabel budaya, motivasi dan regulasi.[48]
e.
Hasil uji kelayakan untuk semua variabel
independen menunjukkan angka Signifikansi = 0,000 atau < 0,005. Ini
menunjukkan bahwa analisis regresi dengan empat prediktor (empat variabel)
masing-masing berupa pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi layak digunakan
dalam memprediksi kesediaan.
f.
Persamaan regresi yang diperoleh dari hasil
analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesediaan PNS dapat diprediksi oleh
tingkat pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi, dengan persamaan regresi
yang diperoleh berikut: Y = -2,641 + 0,019X1 + 0,020X2 +
0,062X3 + 0,051X4;
Dengan
demikian, jika pemerintah bermaksud untuk mengeluarkan kebijakan terkait
pembayaran zakat profesi atas gaji oleh PNS di lingkungan Pemerintah Kota
Cirebon, hendaknya ia menjaga sedikitnya empat komponen tersebut.
B.
Analisis
Lanjutan
Dari
persamaan regresi yang diperoleh secara serentak dari keseluruhan variable
diketahui bahwa koefisien regresi tertinggi adalah variable motivasi sebesar
0,62 dan koefisien regresi terendah terdapat pada variable pengetahuan sebesar
0,19. Dari data ini disimpulkan bahwa variable motivasi menjadi factor yang
menentukan dalam memberikan pengaruh terhadap keputusan pegawai untuk
memberikan kesediaan membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara
pemotongan gaji.
Sedangkan
factor pengetahuan bukanlah faktor yang menentukan. Tingginya tingkat
pengetahuan tidak menjamin seseorang bersedia membayar zakat profesi melalui
BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji ketika faktor motivasi yang dimiliki
pegawai adalah rendah. Karena itu, memberikan sejumlah motivasi kepada pegawai
menjadi sangat penting bagi pemerintah dalam mendorong dilahirkannya kebijakan
pentingnya membayar zakat profesi tersebut.
Pertanyaannya
adalah motivasi-motivasi apa saja yang dapat menjadi bahan pertimbangan
pemerintah dalam hal ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan analisis
lanjutan terhadap 10 pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner, berupa analisis
regresi untuk masing-masing pertanyaan terhadap variable kesediaan.
Hasil
analisis pengaruh masing-masing indikator terhadap variable kesediaan
menunjukkan bahwa pengakuan keberimanan seseorang menjadi faktor yang paling
berpengaruh. Seseorang merasa nyaman jika keberimanannya mendapat pengakuan
dari orang lain. Sebaliknya ia menjadi sangat khawatir dan takut jika
dikategorikan ke dalam orang-orang yang mendustakan agama atau tidak beriman.
Keberimanan ini kemudian diejawantahkan dalam point-point kedua, ketiga dan
keempat yang bersifat imanen (keadilan). Artinya hal-hal transenden lebih utama
dibanding hal-hal yang imanen.
Kekhawatiran
ini akan terasa semakin longgar pada orang yang berpengetahuan tinggi.
Sebaliknya, terasa semakin ketat pada orang yang berpengetahuan rendah.
Pengetahuan yang dimaksud baik mencakup pengetahuan tentang konsep dasar zakat
profesi itu sendiri maupun dalam hal keteraksesannya terhadap
informasi-informasi menyangkut manajemen tata kelola LAZ/BAZ dan perkembangan
masyarakat, serta keteraksesannya
terhadap Undang-undang dan peraturan lainnya.
Sedangkan
pengaruh terendah terdapat pada indikator ke-10 yang berbunyi “dengan berzakat melalui Badan/Lembaga Amil Zakat,
pengelolaan dana-dana zakat akan lebih baik, transparan dan berdayaguna”. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga BAZ/LAZ tentang pengelolaan dana-dana
zakat perlu diperbaiki.
Perbaikan
tentang hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memperbaiki manajemen
pelaporan, kinerja dan perencanaan dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance, suatu prinsip yang
menekankan akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik.
C.
Tingkat
Respon Masyarakat terhadap Realisasi UU Zakat dan Pajak
Untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang kedua tentang tingkat respon masyarakat dalam hal
ini PNS terhadap kehadiran UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan
UU no 17 Tahun 2000. Tingkat respon ini akan terlihat pada besaran prosentase
jumlah PNS yang menyatakan bersedia membayar
zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
Pertanyaan yang relevan yang
diajukan kepada responden adalah:
- Apakah Anda merasa perlu untuk segera merealisasikan UU No 38 Tahun 1999 bahwa pembayaran zakat akan lebih terkoordinasi dengan baik bila disalurkan melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat?
- Apakah Anda merasa perlu untuk segera merealisasikan UU No 17 Tahun 2000 dan SK Direjen Pajak No. 163/PJ/2003 bahwa pembayaran zakat yang Anda bayarkan melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat dapat dijadikan sebagai komponen pengurang pajak?
- Apakah Anda merasa perlu untuk mendorong pimpinan di tempat anda bekerja untuk memfasilitasi anda dalam hal pembyaran zakat melalui Badan /Lembaga Amil Zakat?
Hasil penelitian
menjelaskan bahwa dari 98
responden, 14 orang atau 14,3% menyatakan tidak bersedia untuk membayar zakat
profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Sedangkan 84 responden
atau 85,7% menyatakan bersedia.
Besaran
prosentase yang menyatakan bersedia tersebut di atas dapat menjadi dasar argumentasi
bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan bahwa masing-masing instansi
sebaiknya segera menyediakan layanan bagi PNS untuk dapat membayar zakat
profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Sekaligus menjadi kewajiban bagi pemerintah
daerah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Dalam hal ini terdapat beberapa alasan mengapa pembayaran zakat profesi
oleh PNS itu penting dilakukan melalui BAZ dan LAZ dengan cara pemotongan gaji
adalah sebagai berikut:
1.
Penghasilan PNS jelas dan tetap;
2.
Dengan cara pemotongan gaji lebih memudahkan dan meringankan PNS membayar
zakat;
3.
Dibayarkan melalui BAZ dan LAZ memudahkan dalam hal pengumpulan dan
pendistribusiaan dana-dana zakat;
4.
Pengumpulan dan pendistribusiaan dana-dana zakat oleh BAZ/LAZ akan
memberikan nilai keadilan bagi mustahik:
a.
Tidak menjadi beban emosional secara personal bagi mustahik kepada muzakki;
b.
Terdapat distribusi secara merata kepada setiap mustahik;
c.
Terprogram secara baik dalam hal pentasharuffan antara dana-dana
untuk konsumtif dan untuk produktif, bahkan jika memungkinkan untuk kepentingan
layanan-layanan publik.
5.
Pengumpulan dan pendistribusiaan dana-dana zakat oleh BAZ/LAZ akan
mempercepat proses upaya mengurangi kemiskinan khususnya di Kota Cirebon. Jika
5000 PNS dari 5173 total PNS yang memiliki potensi untuk membayar zakat ini
dapat membayar zakat profesinya secara berkelanjutan, misalnya dengan nilai
nominal rata-rata Rp.100.000,- maka dana
yang terhimpun setiap tahunnya adalah Rp.500.000.000,-; angka yang cukup
signifikan untuk dijadikan sebagai dana-dana bantuan usaha, beasiswa,
pengobatan gratis, menyediakan sarana-sarana kesehatan untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat tidak mampu, dan lain-lain.
D.
Penerimaan
Zakat Profesi di Kota Cirebon
Hingga saat ini, berdasar data yang diperoleh dari Badan
Amil Zakat Kota Cirebon menunjukkan bahwa baru sejak tahun 2010 dana dari zakat
profesi mulai masuk dalam Daftar Hasil Perolehan Zakat, Infak dan shodaqoh. Pada
Tahun 2010, dana zakat profesi yang masuk berjumlah Rp. 20.356.850,-. Pada
Tahun 2011 mengalami kenaikan, yaitu
sebesar Rp. 38.200.400,-. Sedangkan tahun sebelumnya yakni Tahun 2009, dana
zakat profesi menunjukan angka perolehan di posisi nol. Menurut Ketua Bazda
Kota Cirebon, Drs. H. Moh.
Farid Marzuki, dana zakat profesi yang terkumpul diperoleh dari UPZ (Unit
Pengelola Zakat) yang terdapat
di beberapa instansi pemerintah Kota Cirebon.
Jelasnya, perkembangan besaran jumlah dana dari zakat profesi ini sangat
bergantung dari komitmen para pimpinan instansi setempat. Pihaknya telah
mengajukan usul ke Pemerintah Kota Cirebon, dalam hal ini Walikota, untuk dapat
mengeluarkan kebijakan yang mendorong setiap pegawai untuk membayar zakat
profesi melalui BAZ/LAZ. Sayangnya, hingga saat ini, usulannya belum mendapat
respon yang baik.[49]
E.
Kesimpulan
dan Saran
A.
KESIMPULAN
Hasil analisis regresi
sebagaimana diuraikan di atas menyimpulkan hal-hal berikut ini:
- Semua variabel independen (pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi) memiliki pengaruh yang besar terhadap variabel kesediaan, baik secara parsial maupun secara serentak.
- Nilai pengaruh menujukkan arah yang kuat dan positif. Artinya, jika komponen pengetahuan, budaya, motivasi dan pemahaman PNS atas regulasi diperkuat, maka tingkat kesediaan mereka juga akan naik, dan sebaliknya. Ini artinya, menjadi kewajiban pemerintah untuk memperkuat PNS pada komponen tersebut baik yang bersifat penguatan wawasan, pengkondisian (behavior), maupun yang bersifat penguatan spiritual
- Kekuatan pengaruh budaya, motivasi dan regulasi lebih kuat dari pengetahuan atas zakat. Artinya, pertama, tingkat pengetahuan atas zakat tidak seluruhnya berhubungan lurus dengan keputusan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Kedua, pemerintah daerah memiliki peluang besar untuk menerapkan regulasi zakat dan pajak ini secara otoritatif. Artinya kesediaan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji juga besar dipengaruhi oleh kekuatan memaksa dari pemimpin. Mengandalkan kerelaan dari PNS saja tidak cukup.
- Faktor-faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi, dapat menjadi prediktor untuk melihat tingkat kesediaan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Dengan demikian, jika pemerintah bermaksud untuk mengeluarkan kebijakan terkait pembayaran zakat profesi atas gaji oleh PNS di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon, hendaknya pemerintah menjaga sedikitnya empat faktor tersebut.
- Dari penelitian ini juga disimpulkan bahwa sebagian besar PNS atau 85,7% bersedia untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Hal ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan bahwa masing-masing instansi sebaiknya segera menyediakan layanan bagi PNS untuk dapat membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Sekaligus menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Juga sangat terbuka untuk dikeluarkan perintah semacam intruksi atau dalam bentuk Surat Keputusan (SK).
- Variable motivasi menempati urutan pengaruh terkuat dibanding tiga variable lainnya, sedangkan variable pengetahuan menempati urutan pengaruh terendah. Motivasi yang dimaksud baik yang bersifat transenden-spiritual maupun yang bersifat imanen berupa nilai-nilai keadilan, kebersamaan, kepedulian,kasih sayang pada sesama, dan lain-lain. Karena itu menjadi penting bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja dalam hal meningkatkan kualitas layanan, meningkatkan kepercayaan publik, melibatkan partisipasi masyarakat, dan lainnya. Salah satunya adalah dengan cara memperbaiki manajemen tata kelola terutama dalam hal pengumpulan, pendistribusian, pertanggungjawaban. pelaporan serta promosi dan publikasi oleh LAZ/BAZ.
Dengan demikian,
maka terdapat beberapa saran yang dapat dirumuskan, sebagai
berikut:
- Pemerintah atau para pemimpin di setiap lembaga, institusi, organisasi atau kelompok sosial hendaknya memperhatikan empat faktor penting yang memengaruhi keputusan seseorang untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ, yaitu faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi.
- Upaya memperkuat faktor faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi ini dapat dilakukan dengan cara penguatan-penguatan baik bersifat argumentasi/ wawasan, pembiasaan, serta memberikan dorongan-dorongan baik yang bersifat material maupun spiritual.
- Pembayaran zakat profesi melalui pemotongan gaji ini tidak bisa hanya mengandalkan kerelaan. Dengan demikian disarankan kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan yang bersifat memaksa agar setidaknya semua PNS dapat membayarkan zakat profesinya. Kebijakan tersebut dapat berupa Peraturan Daerah, Surat Keputusan (SK), atau Surat Edaran (SE).
- Supaya PNS dapat membayarkan zakat profesinya melalui pemotongan gaji ini maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk segera menyediakan sarana dan pra sarana yang diperlukan, baik untuk memudahkan pelaksanaan maupun pengawasan.
- Disarankan kepada peneliti lain untuk menganalisis pendistribusian dana-dana zakat yang ada di Kota Cirebon sehingga daya efek zakat untuk mengurangi kemiskinan dapat dibuktikan secara empiris. Hal ini dapat memberikan pengaruh balik pada meningkatnya motivasi muzakki untuk berzakat.
- Sosialisasi dan publikasi keberadaan UU tentang Pengelolaan Zakat No 38 Tahun 1999 dan atau UU No. 23 Tahun 2011 serta UU No 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan terkait antara pajak dan zakat menjadi penting dilakukan oleh pemerintah. Sebab hal ini dapat menjadi motivasi berpengaruh terhadap direalisasikannya kedua UU tersebut.
Saran-saran tersebut, tentu saja memerlukan semangat
dan kerjakeras untuk mengaplikasikannya ke dalam realitas empiris, baik yang
personal maupun yang sosial – institusional.
[2]
Gustian Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan,
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006) , Cet. ke-1;
[3] Abu Aeman. Tesis.
2009. Zakat Profesi di Kabupaten
Sukoharjo
[4] Hasan Basri, Implementasi UU Zakat di Kabupaten Gresik,
Jurnal Logos, Vol 6 No.2 th 2009. Hl 173 – 191;
[6] Gustian
Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang
Pajak Penghasilan, (Jakarta, PT. Rajawali Grafindo Persada, 2006), Cet. ke-1,
hal. 161 – 241;
[7]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman
Zakat (Semarang : PT. Pustaka Rizky Putra, 1999), 3
[8] Q.S. Al-Kahfi ayat 74 dan Q.S. Fathir ayat 18. Seperti dikutip Asmuni MTh, Al-Arabi
mengemukakan dua makna zakat, yaitu pencucian jiwa yang merupakan makna
spiritual dan pencucian serta pengembangan harta yang memiliki makna ekonomis dalam rangka
membangun solidaritas sosial, dalam makalah berjudul: Zakat
Profesi dan upaya menuju kesejahteraan sosial, Jurnal Ekonomi
Islam La_Riba, Vol. I, No. 1, Juli 2007, didownload di
journal.uii.ac.id/index.php/JEI/article/view/1046/971, pada Oktober 2010; Lihat
juga pengertian zakat yang dikupas oleh Mu’inan Rafi dalam Potensi Zakat
(dari Konsumtif Karitatif – ke Produktif – Berdayaguna), menurut Perspektif
Hukum Islam, (Yogyakarta, Citra Pustaka, Februari 2011), cet. Ke-1, hal 23;
[9] Kata
Zakat bermakna keberesan dinukil oleh Didin Hafidhuddin dari Majma Lughoh
al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, juz I hal 396. Lihat Zakat dalam Perekonomian Moderen, (Jakarta, Gema Insani Pers, 2002)
hal. 7;
[10]
Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status Dan Filsafat
Zakat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits (Jakarta : Litera AntarNusa, 1987), 34
[11] Subekti,
Sugeng Agus, Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, Penelitian
terhadap Kecenderungan Pembayar Zakat di Kelurahan Tebet Barat Barat Kecamatan
Tebet Jakarta Selatan, (Jakarta, UI, 2003), hal. 18;
[12] Julien Ries,
Blessing, Terjemahan dari Bahasa Perancis oleh Jefferey C. Haight dan Annie S.
Mahler, dalam The Encyclopedia of Religion, Vol 2, Mircea Eliade ed. (New York,
Mcmillan Publishing Company, 1987), hal. 247, seperti dikutip Tim Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Pembangunan Ekonomi
Umat, (Jakarta, Kemenag RI, Agustus 2009), hal. 170;
[13] Luthfi,
Attabiq, Peran Zakat untuk Kemakmuran Rakyat, www.dakwatuna.com/Tafsir
ayat/26/8/2009/ 05 Ramadhan 1430 H, didownload
pada sekitar April 2010.
[14]Q.S. At-Taubah
ayat 60 dan 103 dan Q.S Ar-Ruum ayat 39.
[15] Firmansyah,
dkk., Potensi dan Peran Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan, (Jakarta,
LIPI, 2007), 107 – 121;
[16]
Hafiduddin, Didin. Panduan Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, (Jakarta :
Gema Insani Press 1998), 103. Islam tidak mewajibkan zakat kepada seluruh harta
benda, sedikit atau banyak, tetapi mewajibkan atas harta benda yang sampai pada
hitungan nishab, bersih dari utang
serta lebih dari kebutuhan pokok pemilikinya. Hal ini untuk menetapkan siapa
yang tergolong orang kaya yang wajib zakat karena zakat hanya dipungut dari
orang-orang kaya (yang mencapai kemampuan). Nishab
menurut Adiwarman Karim dalam Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, (The International Institute of Islamic Thought,
Pustaka Pelajar, Januari 2002), cet. Ke-2, hal. 34, adalah batas terendah dari
kuantitas atau nilai dari suatu komoditi dan jumlah tetap dari tiap jenis
binatang ternak. Nishab dan zakat dari berbagai jenis barang berbeda satu sama
lain.
[17]
Departemen Agama, Pola Pembinaan badan/Lembaga Amil Zakat (Jakarta :
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam & Penyelenggaraan Haji
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004), 24.
[18] Q.S At-Taubah ayat 60.
[19] Ibid, hal 108
[20] Jahrotunasipah,
Ipah., Kontekstualisasi Teks: Upaya
Membongkar Sistem Patriarkhi, dalam Jurnal EQUALITA Vol.
9. No. 21 Desember 2011, (Cirebon, IAIN Syekhnurdjati, 2011), hal. 101 – 102;
[21] F. Mas’udi, Masdar, Agama
Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta, P3M, Maret 1993),
cet. Ke-3, hal 108. Meskipun dia menggunakan istilah syari’at, tapi yang
dimaksud (sesuai konteks pembicaraan dalam halaman tersebut) adalah fiqih. Tentu saja, secara filosofis kedua kata
tersebut adalah hal yang berbeda, dimana yang syari’at memiliki makna yang
lebih luas dari kata fiqih.
[22] Ibid, hal. 110;
[23] Karen Amstrong, Sejarah
Tuhan, (Bandung, Mizan, Tahun, September 2001), cet. Ke-3, hal. 1999;
[24] Husein Muhammad, Tafsir Al-Qur’an dalam Perspektif Perempuan,
(Dawroh Fiqh Perempuan), (Cirebon,
Fahmina-Institute, Mei 2006), cet. Ke-1 hal 75-76
[25] Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta, P3M, Maret 1993), Cet.
Ke-3, hal 9 – 10;
[26] Pandangan secara
tekstualis atas ayat-ayat zakat ini diperlihatkan antara lain oleh Gazi Inayah
dalam judul asli al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-Daribah (Dirosah
Muqaranah), diterjemahkan oleh Zainudin Adnan dan Nailul Falah, Teori
Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, (yogjakarta, Tiara Wacana, 2003),
cet. Ke-1.
[27] Subekti,
Sugeng Agus, Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, Tesis, Penelitian
terhadap Kecenderungan Pembayar Zakat di Kelurahan Tebet Barat, Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan, (Jakarta, UI, 2003). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
aktivitas berzakat mengalami reduksi dari pesan keadilan social menjadi sebatas
pesan keagamaan yang bersifat personal. Ia hanya memenuhi unsur subjektif individu
berupa kewajiban personal dari ajaran agama yang dianutnya (Islam).
[28] Rasionalitas adalah
landasan dari tindakan sosial yang berangkat dari aspek-aspek perilaku
subjektif yang dapat dinilai secara objektif. Suatu tindakan dikatakan rasional
yaitu jika tindakan tersebut hasil dari pertimbangan secara sadar dan
berorientasi pada pencapaian tujuan
tertentu (rasionalitas instrument). Lihat Doyle Paul Johnson, Teori
Sosiologi Klasik dan Modern, judul asli Sosiology Theory Clasical Founders and
Contemporary Perspektif, alih bahasa Robert M.Z. Lawang, (Jakarta,
Gramedia, 1986), hal. 216; sebagaimana dirujuk oleh Sugeng Agus Subekti dalam
penelitiannya berjudul Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat,
(Jakarta, UI, 2003), hal. 26;
[29] Amalia, Euis, dkk., Teori
Mikroekonomi Islam, (Jakarta, UIN, 2009), cet. Ke-1, hal. 43;
[30] Yusuf, Syamsu dan A.
Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian, (Bandung, Remaja Rosdakarya, Juni
2008), cet. Ke-2, hal. 156 – 163;
[31] Muflih, Muhammad, Perilaku
Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, (Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2006) cet. Ke-1, hal. 66 – 67;
[32] Subekti,
Sugeng Agus dalam penelitiannya berjudul Aktivitas Berzakat dan Model
Pengelolaan Zakat, (Jakarta, UI, 2003), hal. 24 - 26;
[33] Ibid, hal. 28 – 29;
[34] Jadi, kesadaran dalam konteks ini adalah pemahaman
atau pengetahuan seseorang tentang dirinya dan keberadaan dirinya. Pengertian
ini dikemukakan oleh Searle (1997: 196), sebagaimana dikutip oleh Septi
Gumiandari dalam Psikologi Kognitif, Membedah Potensi Berfikir Manusia dalam
Perspektif Islam (Cirebon, Nurjati Press, November 2011), cet. Ke-1, hal.
118;
[35] Karsino,
Peluang Kesediaan Karyawan
untuk Dipungut Zakat Profesi dengan Metode Withholding dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya (Penelitian Terhadap Karyawan Swasta Di Jakarta), Tesis pada Universitas Indonesia,
Program Pascasarjana, Program Studi Timur Tengah dan Islam, Kkhususan Ekonomi
dan Keuangan Syari’ah, (Jakarta, UI, 2009).
[36] UU ini, kini telah
diamandemen menjadi UU no 23 Tahun 2011
[37] Sekarang, UU ini telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Tetapi, deskripsi tentang zakat masih sama, tidak mengalami
perubahan secara substantif.
[38]
Prihartini, Farida, dkk., Hukum Islam
Zakat & Wakaf, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Jakarta, UI, 2005), cet. Ke-1, hal. 89; Lihat juga UU Pajak No. 17 Tahun 2009 hasil download dari http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2
[39]
http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=10
[41] Menurut
Sugiyono, sebagaimana dikutip oleh Riduwan, dalam Metode dan Teknik Menyusun
Tesis, (Bandung, Alfabeta, 2004), cet. Ke-1, hal. 56 – 65, sampel adalah
bagian dari populasi atau wakil populasi yang diteliti. Jadi sampel penelitian
adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat
mewakili seluruh populasi. Tekhnik pengambilan sampel ada dua, yaitu probability sampling dan non probability
sampling. Salah satu cara tekhnik pengambilan sampel adalah menggunakan rumus
Taro Yamane yaitu: n = N/N.d2 +1. (n= jumlah sampel; N = jumlah populasi; d =
presisi yang ditetapkan).
[42] Kuesioner atau angket adalah daftar pertanyaan yang
diberikan kepada orang lain bersedia memberikan respon (responden) sesuai
dengan permintaan pengguna. Tujuan penyebaran angket adalah mencari informasi
yang lengkap mengenai suatu masalah dari responden tanpa merasa khawatir bila responden
memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar
pertanyaan. Ibid, hal. 99.
[43] Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan
persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dengan
menggunakan skala likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi dimensi,
dimensi dijabarkan menjadi sub variabel, sub variabel dijabarkan menjadi
indikator-indikator yang dapat diukur. Indikator-idikator yang terukur inilah
yang dijadikan guide-line dalam
membuat item instrumen berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab.
Ibid, hal. 86.
[44] Pendapat ahli dalam penelitian ini diwakili oleh Prof.
Abdus Salam Dz, MM, dalam konseling sepanjang bimbingan.
[45] Uji coba pendahuluan ini dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner di lingkungan tempat kerja penulis, yaitu teman-teman PNS di MAN2
Cirebon.
[49] Interview
langsung dengan Drs. H. Moh. Farid Marzuki, di Kantor Bazda Kota Cirebon, di
Jl. Kanggraksan, pada Sabtu, 21 Januari 2012.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar