Senin, 10 Desember 2012

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEPUTUSAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KOTA CIREBON UNTUK MEMBAYAR ZAKAT PROFESI MELALUI BAZ / LAZ DENGAN CARA PEMOTONGAN GAJIFAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEPUTUSAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KOTA CIREBON UNTUK MEMBAYAR ZAKAT PROFESI MELALUI BAZ / LAZ DENGAN CARA PEMOTONGAN GAJI




Studi Kasus atas Respon PNS
Terhadap UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
dan UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan


by Ipah Jahrotunasipah

Abstrak
Pembayaran zakat profesi oleh para Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintahan Kota Cirebon hingga kini belum mengembangkan metode withholding (pemotongan gaji). Ia belum dilihat sebagai modal social yang potensial dan masih bertumpu pada kerelaan (kesediaan) muzakki. Padahal kontribusi besaran zakat profesi terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan penyelesaian persoalan sosial lainnya sangatlah signifikan. Karena itu, penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang memengaruhi keputusan PNS di Lingkungan Pemerintah Daerah Kota Cirebon untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
Metodologi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi linear sederhana dan regresi linear berganda dengan menempatkan faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi sebagai variabel independen dan kesediaan sebagai faktor dependen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut berpengaruh kuat dan sedang terhadap kesediaan baik secara parsial maupun secara serentak. Seperti ditunjukkan oleh nilai r secara berturut-turut, yaitu 0,755; 0,78; 0,86; dan 0,837 untuk yang parsial. Dengan demikian r untuk semua variabel > dari 0 dan H0 ditolak dan H1 diterima. Begitu juga hasil analisis regresi berganda menunjukkan nilai r = 0, 946 > 0. Artinya, total variabel X (X1+X2+X3+X4) mempunyai pengaruh terhadap variabel kesediaan, dengan persamaan regresi: Y = -2,641 + 0,19X1 + 0,020X2 + 0,062X3 + 0,051X4 . Artinya, hipotesis semakin tinggi pengetahuan, budaya bersedekah, motivasi dan pemahamannya terhadap regulasi zakat dan pajak di Indonesia akan semakin memengaruhi tingkat kesadaran dan kesediaan berzakat para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Cirebon melalui BAZ/LAZ, diterima.
Selain itu, dari penelitian ini juga diperoleh data bahwa 85,7% responden menyatakan bersedia untuk pembayaran zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.


PENDAHULUAN
a.    Latar Belakng Masalah
Berdasarkan UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, lembaga pengelola zakat terdiri atas Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, baik di tingkat nasional maupun provinsi hingga kecamatan. Sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ), adalah institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah, untuk melakukan kegiatan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan agama.[1]
BAZ/LAZ tersebut belum banyak mengembangkan metode pemungutan zakat profesi melalui metode withholding (pemotongan gaji) (withholding tax) oleh Manajemen Perusahaan selaku pemberi kerja. Padahal, meknisme withholding tax ini terbukti telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan pajak di Indonesia, yaitu antara lain berupa pajak penghasilan karyawan (PPh Pasal 21), yakni pajak penghasilan yang dipotong dari gaji karyawan. Faktor keberhasilan metode tersebut adalah karena pengelolaan pajak dilakukan oleh negara yang di dalamnya terdapat unsur sanksi hukum bagi yang tidak melaksanakannya.
Pengaturan tentang zakat profesi ini juga telah dikukuhkan dengan UU Pajak No 17 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa zakat penghasilan adalah komponen pengurang pajak.[2] Meski demikian, sejumlah penelitian zakat di beberapa daerah menunjukkan bahwa pengelolaan dana-dana zakat baik dalam hal pengumpulannya maupun pendistribusiannya masih menunjukkan adanya keterbatasan-keterbatasan yang juga disebabkan oleh kebijakan yang belum berpihak.
Misalnya, penelitian di Sukoharjo[3] dan Kabupaten Gresik[4] yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pemotongan zakat profesi sebagai komponen pengurang pajak belum dapat dilaksanakan secara maksimal dikarenakan (1) masih adanya keraguan dari pemerintah daerah setempat; (2) tidak ada kerjasama yang baik antara pemerintah daerah dan dirjen pajak, antara BAZ/LAZ dengan pemerintah (3) serta kesadaran muzakki untuk berzakat melalui BAZ/LAZ masih rendah. Berbeda dengan pengalaman di Kabupaten Bengkulu. Pemotongan zakat dengan system withholding telah berhasil dilaksanakan dengan baik pada zakat profesi PNS di lingkungan Pemda setempat dengan menggunakan SK Walikota No. 20 Tahun 2008.
Termasuk Kota Cirebon, pemerintahannya hingga kini belum menunjukkan ke arah upaya pelaksanaan kedua UU tersebut. Sebagai studi awal, hasil interview dengan Kepala Bagian Zakat dan Wakaf Kementrian Agama Kota Cirebon menyebutkan pihaknya belum bisa menerapkan secara utuh kedua Undang-undang tersebut (UU No 38 Th 1999 dan UU No 17 Th 2000). Menurutnya, pelaksanaan kedua Undang-undang tersebut masih diasumsikan memberatkan pegawai terkait dengan kondisi banyak hal. “baru tahun ini kami akan bekerja sama dengan Pemda supaya Walikota memberikan himbauan agar seluruh pegawai di lingkungan pemerintahannya berzakat melalui lembaga zakat BAZ/LAZ”, ungkapnya.[5]
Meskipun pengelolaan zakat profesi ini di Indonesia belum dilakukan oleh negara, namun bukan berarti para pegawai tidak dapat membayar zakat profesi melalui BAZ atau LAZ dan menjadikannya sebagai komponen pengurang pajak. Seperti diatur oleh UU Pajak No. 17 Tahun 2000, yakni dengan cara melampirkan lembar ke-1 surat setoran zakat atau fotocopinya yang telah dilegalisir oleh Badan Amil Zakat yang telah disyahkan/dikukuhkan pemerintah penerima setoran zakat, yang bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.[6] Akan tetapi, metode ini hanya mungkin dapat dilakukan jika terdapat faktor kesediaan pegawai untuk dilakukan pemotongan gaji guna membayar zakat profesinya.
Karena itu, sebagai upaya optimalisasi pengelolaan dan pendistribusian dana-dana zakat, diperlukan penelitian untuk melihat lebih jauh faktor-faktor yang memengaruhi pengumpulan zakat profesi, misalnya pada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah Kota Cirebon. Hal ini dilakukan untuk melihat peluang sejauhmana metode withholding dapat diterapkan di Kota Cirebon, dengan cara melihat (menganalisis) respon-respon yang diberikan terhadap kehadiran kedua Undang-undang tersebut, yakni UU no 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU no 17 Tahun 2001 tentang Pajak Penghasilan. Peluang yang baik sejatinya direspon dengan segera, terutama dalam hal ini, oleh pemerintah. Maka, harapan bersama untuk membangun kesejahteraan, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan ekonomi masyarakat dapat mewujud.
b.    Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat tiga pertanyaan yang diajukan, pertama apakah tingkat keputusan PNS untuk membayar zakat profesi melalui pemotongan gaji dipengaruhi oleh variable pengetahuan pegawai mengenai zakat, budaya bersedekah pegawai dan lingkungannya, motivasi pegawai, dan keteraksesan pegawai atas regulasi zakat dan pajak? Kedua, Berapa jumlah PNS secara statistik melalui besaran prosentase, yang menyatakan kesediaan untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji? Dan ketiga, bagaimana tingkat perkembangan penerimaan zakat dalam 2 (dua) tahun terakhir? Apakah menunjukkan perkembangan yang signifikan pasca diundangkannya UU No. 38 Tahun 1999 dan UU Pajak Tahun 2000?
c.    Kerangka Pemikiran
Pertanyaan penelitian tersebut didasarkan pada kerangka pemikiran sebagaimana diilustrasikan oleh bagan kerangka di bawah ini:
Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran










PENGETAHUAN
 






BUDAYA
 


MOTIVASI
 



REGULASI
 

 













d.     Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a)               Factor-faktor yang memengaruhi pembayaran zakat profesi pada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintahan Kota Cirebon adalah  factor pengetahuan, factor budaya, factor motivasi dan factor regulasi tentang zakat dan pajak;
b)               Semakin tinggi pengetahuan, budaya bersedekah, motivasi dan ketersediaan regulasi zakat dan pajak di Indonesia akan semakin memengaruhi tingkat kesadaran dan kesediaan berzakat para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Cirebon melalui BAZ/LAZ;
e.      Metode penelitian
Penelitian ini menempatkan variable dependent berupa keputusan (kesadaran dan kesediaan) pegawai untuk dilakukan pemotongan zakat profesi atas gaji dan variable independent berupa pengetahuan pegawai, budaya pegawai dan lingkungannya, motivasi dan keteraksesan pegawai atas regulasi zakat dan pajak.
Untuk memecahkan masalah penelitian akan dilakukan metode kuantitatif dengan jenis data yang dipakai adalah data primer. Data primer diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner berupa sejumlah pernyataan dan pertanyaan. Untuk melihat pengaruh masing-masing variabel independen berupa pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi digunakan kalimat-kalimat pernyataan/pertanyaan yang kemudian diberikan skor dengan menggunakan skala likert.
Selanjutnya, analisis terhadap data primer yang diperoleh akan menggunakan analisis regresi, berupa regresi linear dan regresi berganda. Regresi linear digunakan untuk melihat tingkat pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Sedangkan analisis regresi berganda digunakan untuk melihat tingkat pengaruh semua variabel secara serentak terhadap variabel dependen.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh PNS yang dianggap telah berpenghasilan melebihi nishab dan mengandung potensi sebagai muzakki, yaitu PNS yang bergolongan IIIa ke atas.
LANDASAN TEORI
A.   Konsep Dasar Zakat Profesi
1.      Pengertian Zakat Profesi
Zakat menurut bahasa, merupakan bentukan dari kata zakayazkuzakâan, zakâtan, yang berarti berarti namâ = tumbuh (kesuburan), barakah = keberkatan, thaharah, tathhier = bersih, dan berarti juga tazkiyah = mensucikan.[7]
Makna lain dari kata zakat, secara etimologis, adalah (1) bertambah atau berlipat ganda, (2) tumbuh dan berkembang, (3) suci atau tidak berdosa, (4) menyucikan diri dan (5) pujian yang baik.[8] Bahkan juga bermakna as-sholahu, yaitu keberesan.[9]
Dari arti kata tersebut diperoleh sedikitnya lima pengertian zakat secara lebih luas. Pertama, zakat adalah sebagian harta yang dikeluarkan kepada orang miskin dan diharapkan akan mendatangkan kesuburan pahala.[10] Kedua, zakat itu merupakan cara memperoleh jiwa suci dan terhindar dari sikap kikir dan dosa. Ketiga, zakat berarti membersihkan, yaitu membersihkan harta penghasilan dengan cara mengembalikan hak orang lain yang terdapat pada harta tersebut. Dan keempat adalah menumbuhkan, yaitu karena dengan zakat yang dibayarkan kepada para mustahik, terjadilan sirkulasi uang dalam masyarakat yang mengakibatkan bertambah dan berkembangnya fungsi uang itu dalam masyarakat.[11]
Kelima, zakat itu berarti keberkahan, yaitu cara seseorang memperoleh hidup yang barokah, yang mengandung kenikmatan-kenikmatan, terhindar dari kesulitan-kesulitan hidup, serta memiliki daya atau kekuatan-kekuatan untuk dapat melewati hidup secara lebih baik lagi.
“Term barokah adalah sebuah karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia, alam atau benda atau sebuah keuntungan materi maupun spiritual yang dihasilkan dari keinginan Tuhan. Dalam arti ini, keberkahan adalah kekuatan yang agung dan suci, kekuatan yang melimpah dari dunia yang supernatural yang melimpahkan sebuah kualitas baru pada benda yang mendapat barokah tersebut.”[12]
Kata zakat juga memiliki kesamaan arti secara etimologi dengan kata riba sebagai tumbuh dan berkembang. Tetapi, pengertian secara maknawi (terminology) amatlah berkebalikan secara simetris. Jika yang pertama bertujuan membersihkan dan menambah pahala, maka yang kedua adalah mengotori dan menambah dosa. Seperti diperlihatkan dalam Q.S Ar-Rum ayat 39, Allah mengkaitkan zakat dengan sistim ekonomi ribawi yang jelas kontra kemakmuran dan kesejahteraan orang banyak (baca: rakyat; umat). [13]
Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan dari zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Kesediaan berzakat, dalam hal ini menuntut adanya kesadaran. Dengan demikian, kesadaran berzakat merupakan sebuah keharusan bagi orang Islam yang diwujudkan melalui upaya memperhatikan hak fakir miskin dan para mustahik (orang yang berhak mendapatkan zakat) lainnya. Kesadaran berzakat juga dipandang sebagai orang yang berusaha untuk selalu membersihkan, menyuburkan dan mengembangkan hartanya serta mensucikan jiwanya.[14]
Sedangkan zakat profesi adalah salah satu jenis zakat hasil ijtihad ulama kekinian. Ia merupakan perluasan konsep tentang harta yang dizakatkan. Hal ini sangat penting dilakukan sebagai langkah maju dalam perekonomian muslim. Selain menciptakan rasa keadilan dan kebersamaan diantara pembayar zakat, juga akan menjamin dan memperbesar potensi zakat yang ada dalam masyarakat. Dengan potensi yang besar inilah pendayagunaan zakat dapat menjadi solusi alternatif dalam menanggulangi kemiskinan.[15]
Menurut al-Qardhawi, seperti dikutip oleh Didin Hafiduddin, zakat profesi adalah zakat yang dikenakan kepada penghasilan para pekerja karena profesinya baik itu dilakukan sendirian maupun bersama dengan pihak/lembaga lain yang mana mendatangkan penghasilan (honorarium) yang memenuhi nishab.[16]
2.   Tasharruf Zakat Profesi
Dana-dana zakat dapat diperuntukkan untuk kebutuhan konsumtif dan produktif yaitu:[17]
a.   Kebutuhan konsumtif
Zakat diperuntukkan bagi pemenuhan hajat hidup para mustahik delapan asnaf, sesuai dengan Undang-undang, mustahik delapan asnaf[18] ialah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, ibnu sabil yang didalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi seperti anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit utang, pengungsi yang terlantar dan korban bencana alam.
b.   Kebutuhan produktif
Pendayagunaan zakat juga dapat diperuntukkan bagi usaha produktif yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyaluran / pendistribusian zakat dalam bentuk ini adalah bersifat bantuan pemberdayaan melalui program atau kegiatan berkesinambungan, dengan dana bergulir untuk kesempatan penerima dana lebih banyak lagi.
c.    Membangun Sarana Umum (Publik)
Merupakan gagasan yang masih kontroversial apakah dana-dana zakat dapat ditasharrufkan untuk membangun sarana umum. Sebagian bersikeras bahwa dana zakat hanya boleh ditasharrufkan kepada delapan ashnaf sesuai dengan bunyi ayat secara tekstual pada Q.S. At-Taubah ayat 60. Sedangkan dalam perekonomian modern dimana aspek-aspek kehidupan berkembang luas, maka mereka berpendapat bahwa dana zakat dapat ditasharrufkan untuk membangun sarana umum.
Secara historis, dana-dana zakat baik perolehannya maupun pendistribusiannya tidaklah statis. Ia berkembang secara dinamis sesuai dengan keadaan yang menyertainya. Meskipun, Adiwarman Karim, untuk kehati-hatiannya menyebut bahwa dana zakat secara spesifik diperuntukkan untuk 8 ashnaf, dengan pengertian pada sabilillah dan ibnu sabil “diterjemahkan” sebagai dana untuk membebaskan budak dan dana untuk melaksanakan aktivitas pekerjaan umum.[19]
Jika kita hendak berpijak pada upaya kontekstualisasi ayat-ayat al-Qur’an, maka peluang untuk memberikan tafsir secara lebih luas pada kelompok 8 sangatlah terbuka. Upaya kontekstualisasi ayat-ayat al-Qur’an ini dikembangkan antara lain oleh Fazlur Rahman, Abdullah Ahmed An-Naim dan Abed Al-Jabiri.[20]  Hal ini juga ditegaskan oleh Mashdar F. Mas’udi bahwa prinsip kontekstualitas dan relativitas dari fiqih  adalah sangat jelas.[21] Kejelasan ini didasarkan pada prinsip maqashidu syari’at atau tujuan utama syari’at diberlakukan kepada manusia, yakni kemashlahatan bagi semua orang. Kemashlahatan diartikan sebagai kesejahteraan dan keadilan. [22]
Penekanan ajaran Islam terhadap cita kemashlahatan berupa nilai keadilan ini diilustrasikan Karen Amstrong sebagai berikut:
“Islam berarti kaum muslim memiliki kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara dimana orang-orang miskin dan lemah diperlakukan secara layak. Pesan moral Al-Qur’an yang pertama sederhana saja: janganlah menimbun kekayaan dan mencari keuntungan bagi diri sendiri, tetapi bagilah kemakmuran secara merata dengan menyedekahkan sebagian harta kepada fakir miskin. Zakat dan shalat merupakan  dua dari lima rukun atau prinsip ajaran Islam. Seperti halnya Nabi-nabi Ibrani, Muhammad menyiarkan sebuh etika yang bisa kita sebut sosialis sebagai kosekuensi dari penyembahan Tuhan kepada satu Tuhan.”[23]

B.   Relasi Zakat dan Pajak
Islam adalah agama yang memberikan kerahmatan bagi seluruh alam. sebagaimana  bunyi ayat 107 dari Q.S Al-Anbiya. “wa mâ arsalnâka illa rahmatan lil âlamîn”, artinya, “dan tiadalah Aku utus engkau wahai Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”.  Menurut Husein Muhammad, terma rahmat menunjuk bahwa Islam adalah agama yang terbuka dan responsif atas problem-problem kemanusiaan. Ia selalu mengusahakan sistem kehidupan yang memberi rahmat dan kesejahteraan, baik materil maupun non-materil, yang diorientasikan baik untuk kehidupan sekarang maupun untuk kehiduan akhirat kelak. Karenanya, terma kerahmatan meniscayakan berlakunya norma-norma kemanusiaan, yaitu antara lain keadilan, kesetaraan, kepedulian dan kemashlahatan sosial.[24]
Sedangkan Masdar F. Mas’udi menjelaskan ayat tersebut secara implisit menghendaki agar umat Muhammad memiliki komitmen terhadap hal-hal yang menjadi kepentingan semua pihak – tanpa membedakan warna kulit, bahasa, budaya dan keyakinan masing-masing. Jelasnya, Islam menuntut penganutnya untuk menjadi pelayan bagi semua orang, bahkan segenap makhluk semesta. [25]
Karena itu, sebagai upaya mewujudkan kerahmatan bagi semua orang inilah maka konsep zakat tidak saja dipahami sebagai ibadah (jalan kesalehan) yang berdimensi personal dan yang ritual (mahdhah), tetapi sekaligus sejatinya dipandang sebagai ibadah sosial yang dinamis (gair mahdhah). Dinamis dalam pengertian dapat dikembangkan sesuai dengan konteks kekinian, sesuai dengan spirit kaidah fiqihtaghoyyuril ahkam bi taghoyyuril amkinah wal azminah wal ahwal”, berubahnya hukum sesuai dengan berubahnya tempat, waktu dan keadaan. Dengan demikian, fiqih atau dalam hal ini zakat akan senantiasa dapat merespon persoalan-persoalan keummatan sesuai dengan kondisi zaman.
Dengan demikian konsep zakat tidak saja mengandung muatan yang sakral – transendental, tetapi sekaligus bersifat profanimmanent (keadilan).  Pada konteks yang kedua inilah maka konsep zakat sejatinya terus dapat dikembangkan baik menyangkut dasar filosofisnya, epistemologinya, struktur dan kelembagaannya, maupun manajemen operasionalnya. Secara historis menunjukkan bahwa pengalaman ummat Islam masih lemah dalam hal tersebut, yang berakibat konsep zakat tidak banyak berkembang.
Realitas masyarakat saat ini lebih banyak mengenal pajak daripada zakat. Zakat dan pajak adalah dua hal yang secara teologis-filosofis dianggap sebagai kata yang berbeda. Zakat secara umum diartikan sebagai harta yang dibayarkan oleh seorang muzakki yang didasarkan atas kesadarannya sebagai hamba Allah. Sedangkan pajak lebih diartikan sebagai harta yang dibayarkan (tanpa memerhatikan kaya atau miskin) kepada negara yang didasarkan atas kesadaran politiknya sebagai seorang warga negara. Yang pertama bersifat spiritual- relation, sedangkan yang kedua bersifat politic-citizenship relation. Yang pertama bersifat sakral sedang yang kedua bersifat profan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pajak dan zakat tidak pernah bisa disatukan, sesuatu yang terpisah dan karenanya model pengelolaannya kemudian dilakukan secara terpisah.[26]
Berbeda dari pandangan tersebut, Masdar F. Mas’udi melihat bahwa zakat dan pajak adalah dua kata yang bisa diintegrasikan, atau bahkan secara substansi mengandung makna yang sama. Hal ini berdasar pada pemaknaan kembali pada pajak dan zakat itu sendiri. Dijelaskannya bahwa sepanjang sejarah peradaban, ada tiga konsep makna yang pernah diberikan kepada pranata pajak.  Pertama, pajak dengan konsep upeti atau persembahan kepada raja.  Kedua, pajak dengan konsep ‘kontra-prestasi’ (dalam Al-Quran disebut jizyah) antara rakyat pembayar pajak, dan pihak penguasa.  Negara dengan pajak jizyah, mengabdi pada kepentingan elite penguasa.  Ketiga, pajak dengan konsep etik atau ruh zakat, yaitu pajak sebagai sedekah karena Allah yang diamanatkan kepada negara untuk kemaslahatan segenap rakyat. Maka, pada konsep yang ketiga inilah, tegas Masdar, pajak dan zakat bisa disatukan.
Tetapi, saya kira pandangan yang progresif ini masih memerlukan jangka waktu panjang untuk mempraktikannya. Karena, pada umumnya masyarakat masih melihat keterpisahan antara hukum Tuhan dengan hukum buatan manusia. Termasuk dalam membayar zakat, pada umumnya dipandang sebagai memenuhi kewajiban Tuhan semata.[27]
Dan dalam penulisan penelitian ini, penulis tidak mengambil konsep yang ketiga, tetapi mengambil konsep yang kedua dengan pertimbangan bahwa realitas empirik menunjukkan bahwa pengelolaan zakat dan pajak masih dilakukan secara terpisah. Yang zakat dikelola oleh Baznas sedangkan pajak dikelola oleh Dirjen Pajak, meski keduanya sekarang sama-sama berada di bawah pengelolaan negara/ pemerintah. Kebijakan yang sangat moderat ketika UU Pajak No. 17 tahun 2000 berusaha mengakomodasi kepentingan masyarakat muslim (muzakki) dengan menjadikan zakat sebagai komponen pengurang pajak. Namun, dalam hal ini banyak dari muslim yang belum menggunakan (mengambil manfaat) dari kebijakan tersebut.
C.    Berzakat sebagai sebuah Perilaku (Amalan Sholihan)
1.      Perilaku Berzakat sebagai Tindakan Ekonomi
Perilaku berzakat, berinfaq  dan bershodaqoh juga sering disebut sebagai “membelanjakan” harta di jalan Allah. Artinya, berzakat sebagai sebuah tindakan yang dianggap akan mendatangkan keuntungan-keuntungan secara ekonomi, baik yang bersifat profit maupun benefit. Hal ini, sesuai dengan pengertian zakat itu sendiri sebagai upaya-upaya menumbuhkan harta, pahala, mendatangkan keberuntungan, keberkahan, mensucikan, membersihkan dan memperoleh pujian yang baik.
Dengan demikian, jika perilaku berzakat dilihat sebagai tindakan ekonomi, maka ia akan didasarkan pada prinsip-prinsip rasionalitas[28] berikut ini:[29]
a.       Konsumsi dinyatakan rasional jika pembelanjaan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan; pada ekonomi konvensional, hal ini tidak diperhatikan.
ولا تجعل يدك مغلولة إلى عنوقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسور ا(Al- Isra: 29)
Pertanyaannya adalah apakah berzakat sudah dianggap sebagai kebutuhan bagi seorang muslim atau sebaliknya sebatas kewajiban dan ia menjadi beban? Sedangkan mengenai kemampuan, tentu saja, berzakat hanya berlaku bagi seorang mukallaf yang sudah mencapai nishab.
Adapun teori kebutuhan menurut teori Maslow meliputi kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan pengakuan dan kasih sayang, kebutuhan penghargaan, kebutuhan kognitif, kebutuhan estetika dan kebutuhan mengaktualisasikan diri.[30] Maka perilaku berzakat merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan tersebut.
Sedangkan menurut Asy-Syatibi, rumusan kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga tahapan, yaitu dhoruriyat (primer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier).[31] Yang dhoruriyat meliputi kebutuhan untuk memiliki aksesibilitas terhadap agama, kehidupan, pendidikan, keturunan dan harta. Maka perilaku berzakat merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan terkait menjalankan keyakinan (agama), melangsungkan kehidupan yang lebih baik, memperkuat pendidikan (tarbiyah islamiyah), memperkokoh keturunan, dan upaya mengembangkan harta.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku berzakat adalah rasional jika dilihat dari konsep upaya memenuhi kebutuhan baik menurut teori Maslaw maupun menurut As-Syatibi.
b.      Konsumsi dinyatakan rasional jika tidak hanya ditujukan untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk keperluan di jalan Allah; (consumtion for self and consumtion for couse of Allah); pada ekonomi konvensional, konsumsi hanya ditujukan pada dirinya sendiri;
وءات ذا القربى حقّه والمسكين وابن السبيل ولا تبذر تبذيرا   (Al-Israa: 26)
c.       Konsumsi dinyatakan rasional jika tingkat konsumsinya lebih kecil daripada konsumen non-muslim dikarenakan hanya diperbolehkan pada produk-produk yang halal dan thoyib; pada ekonomi konvensional tidak memperhatikan halal-thoyyib;
إنّما حرّم عليكم الميتة والدّم ولحم الخنزير .... (الأية)   (Al-Baqarah: 173)
d.      Konsumsi dinyatakan rasional jika ia dapat menyisihkan uangnya untuk ditabung; hal ini seperti dikemukakan oleh Nabi dalam haditsnya: “jagalah lima perkara sebelum dating lima perkara: sehatmu sebelum sakitmu, mudamu sebelum tuamu, ...”; termasuk dalam pengertian hadits di atas adalah jagalah uang kita sebelum datang waktu dimana kita tidak memperoleh pendapatan. Pada ekonomi konvensional, terdapat perhatian pada hal menabung ini, tetapi tujuannya yang berbeda. Jika dalam Islam tujuan menabung ini adalah untuk berjaga-jaga (precausanary) sedangkan dalam konvensional adalah untuk memperoleh pendapatan (dari bunga tinggi) sekaligus upaya para kapitalis untuk memperoleh dana public secara cuma-cuma.
e.       Konsumsi dinyatakan rasional jika ia dapat menggunakan sebagian uang tabungannya untuk kepentingan investasi dan kerjasama.  Islam sangat menganjurkan untuk dapat memaksimasi manfaat dari setiap fasilitas atau barang; Islam sangat mengecam kesia-siaan. Karena itu Islam tidak menghendaki adanya “idle”. Maka, untuk setiap fasilitas, barang dan atau uang yang disimpan, akan menjadi rasional jika diinvestasikan untuk mengambil manfaat yang lebih baik, lebih banyak, dan dapat berbagi dengan orang lain (couse of Allah). Spiritnya adalah firman Allah berikut:
تعاونوا على البرّ والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان .... (الأية) 
Investasi ini sekaligus sebagai upaya membangun kekuatan ekonomi dalam jangka panjang, tidak saja untuk kepentingan individu, tapi juga secara sosial. Hal ini penting untuk diperhatikan sebagai upaya menjawab pernyataan Allah SWT dalam Q.S. An-Nisaa ayat 9:
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرّية ضعافا خافوا عليهم .. (الأية)
f.    Konsumsi dinyatakan rasional jika ia tidak bersikap boros dan berlebihan. Boros dan berlebihan merupakan tindakan syaithanic; ini berkebalikan dengan ekonomi konvensional yang lebih memperhatikan maksimasi kekayaan.
إنّ الله لا يحبّ المسرفين .. (الأية)

Dari uraian tersebut, maka disimpulkan bahwa perilaku berzakat merupakan tindakan yang rasional dalam perspektif ekonomi Islam, karena ia merupakan salah satu upaya memenuhi kebutuhan, ditujukan untuk keperluan di jalan Allah, memerhatikan halal dan thoyyib, sebagai tabungan (materiil dan immaterial), sebagai bentuk investasi dan kerjasama serta sebagai kendali untuk tidak boros dan berlebihan

2.      Perilaku Berzakat sebagai Tindakan Sosial
Perilaku berzakat tidak hanya didasarkan atas kesadaran akan kewajiban sebagai seorang muslim yang bersifat personal, tetapi sejatinya didasarkan pula atas kesadaran akan pentingnya membangun kerahmatan (keadilan dan kemaslahatan) bagi semua orang.
Tindakan sosial dalam teori Fungsionalisme seperti yang diusung oleh Talcot Person memberikan kerangka bahwa aktivitas berzakat merupakan manifestasi spesifik dari ajaran Islam yang menginginkan adanya pengorbanan individu terhadap tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang seimbang. Tatanan masyarakat yang seimbang dianggap akan sanggup mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Jadi menurut  Teori Fungsionalisme, zakat hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan. Zakat bukanlah tujuan itu sendiri.[32]
Dengan begitu, perilaku berzakat tidak berhenti pada sekedar pemenuhan akan kewajiban yang berdampak pada sangat rigid-nya mekanisme atau aturan-aturan tekhnis, batasan-batasan nishab yang amat sakral, pentasharuffan yang demikian tekstual, dan lainnya. Akibatnya, ketercapaian akan tujuan tidak lagi menjadi bahan pertimbangan. Perilaku berzakat sejatinya dilihat sebagai sebuah upaya yang terus-menerus untuk menciptakan struktur masyarakat yang tidak timpang, baik secara ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Demikian juga menurut analisis tindakan sosial Marx Weber, perilaku berzakat akan dilihat sebagai tindakan rasional berorientasi nilai ketika didasarkan oleh rasa kewajiban yang diajarkan oleh agama. Tetapi hal ini akan berkembang menjadi tindakan rasional instrument atau bertujuan apabila ditunaikan tidak semata-mata atas dasar perintah wajib, tetapi dipahami sebagai sebuah instrument atau alat untuk terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan.[33]

3.      Dinamika Perilaku Berzakat
Berdasar penjelasan konsep-konsep/teori, perilaku manusia senantiasa dibangun oleh kesadaran-kesadaran, baik sebagai the self, pribadi, atau individu, maupun sebagai bagian dari orang lain.[34] Kesadaran-kesadaran tersebut senantiasa berubah dari waktu-ke waktu, dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Namun, sebagiannya akan menunjukkan konsistensi, tetap atau sama. Kondisi-kondisi tersebut sangat dipengaruhi – juga mempengaruhi, antara lain oleh faktor budaya, pengetahuan, motivasi dan regulasi.
Engel, Blackwell dan Miniard, seperti dikutip oleh Karsino menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap keputusan konsumen adalah sebagai berikut:[35]
a.       Perbedaan Individu
Terdiri dari beberapa kategori, yaitu:
1)      Sumberdaya konsumen;
2)      Pengetahuan;
3)      Sikap;
4)      Motivasi;
5)      Kepribadian, nilai yang dianut dan gaya hidup;
b.      Pengaruh Lingkungan
Meliputi:
1)      Budaya;
2)      Kelas Sosial;
3)      Pengaruh Pribadi;
4)      Pengaruh Keluarga;
5)      Situasi;
c.       Proses Psikologi
Terdiri dari:
1)      Pengolahan Informasi;
2)      Pembelajaran;
3)      Perubahan Sikap dan prilaku;
Karena itu, dalam penelitian ini, penulis hanya fokus pada empat faktor berupa faktor budaya, pengetahuan, motivasi dan regulasi. Keempat faktor tersebut berpengaruh kepada individu untuk memberikan keputusan untuk bersedia membayarkan zakat profesi kepada Baznas atau LAZ yang berada di bawah pengawasan pemerintah.

D.       Pelaksanaan Tekhnis Pembayaran Zakat dikaitkan dengan UU Pajak
UU no. 38 Tahun 1999[36] tentang Pengelolaan Zakat, yakni pada Bab IV Pasal 14 ayat 3 berbunyi bahwa: “Bahwa zakat yang telah dibayarkan pada Badan Amil Zakat atau Lembaga amil Zakat dapat dikurangkan dari laba/ pendapatan sisa kena pajak dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dan UU no 17 Tahun 2000[37] tentang Pajak Penghasilan yakni Pasal 9 ayat (1) berbunyi bahwa: “untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat 3 huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Adapun Pasal 4 ayat 3 huruf a bagian 1 mengemukakan bahwa zakat bukan objek pajak, karena penerimaan zakat dianggap bukan merupakan penerimaan pendapatan atau tambahan penghasilan sehingga tidak dikenai pajak. Sedangkan pembayaran zakat oleh wajib pajak (muzakki) dianggap sebagai pengeluaran biaya sehingga dapat mengurangi pembayaran pajak.[38]
Sebagai petunjuk tekhnis dari UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dkeluarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat, serta Surat Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2001 tentang didirikannya Badan Amil Zakat Nasional. Melalui dua surat keputusan tersebut, seorang wajib zakat yang telah membayar zakatnya ke BAZNAS, BAZDA, maupun LAZ yang diakui dan disahkan pemerintah maka dia akan memperoleh Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) dan Bukti Setor Zakat (BSZ) sebagai bukti untuk pengurangan penghasilan kena wajib pajak (PKP).
Selanjutnya Direktur Jendral Pajak mengeluarkan Surat Keputusan No.1643/PJ/2003 yang ditetapkan pada tanggal 10 Juni 2003 Tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Perhitungan Penghasilan Kena Pajak Penghasilan. Keputusan ini terdiri dari 5 Pasal, diantaranya Pasal 4 berbunyi:
(1)   Wajib pajak yang melakukan pengurangan zakat atas penghasilan, wajib melampirkan lembar ke-1 Surat Setoran Zakat atau fotocopy-nya yang telah dilegalisir oleh Badan Amil Zakat yang bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.
(2)   Surat Setoran Zakat yang dapat diakui sebagai bukti sekurang-kurangnya harus memuat:
-          Lengkap Wajib Pajak
-          Alamat jelas Wajib Pajak
-          Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
-          Jenis Penghasilan yang dibayar zakatnya
-          Sumber/jenis penghasilan dan bulan/tahun perolehannya
-          Besarnya penghasilan
-       Besarnya zakat atas penghasilan[39]




E.        Penelitian Sebelumnya
Sebuah penelitian yang hampir sama telah dilakukan oleh  Karsino, dalam tesisnya berjudul: “ Peluang Kesediaan Karyawan untuk Dipungut Zakat Profesi dengan Metode Withholding dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Penelitian Terhadap Karyawan Swasta Di Jakarta)”. [40]
Penelitian ini membahas mengenai peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode withholding (pemotongan gaji) dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profresi dengan metode withholding diduga dipengaruhi oleh empat variable, yaitu: pengetahuan karyawan mengenai zakat, budaya bersedekah pada diri karyawan dan lingkungannya, promosi Badan Amil Zakat (BAZ)/Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didapatkan karyawan dan pemahaman karyawan mengenai regulasi zakat dan pajak. Penelitian ini dilakukan terhadap 299 responden yang merupakan karyawan perusahaan swasta di Jakarta yang diambil secara acak.
Analisis data yang digunakan adalah regresi model binary logit. Hasil penelitian Karsino menyimpulkan bahwa peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode withholding adalah 63,20%. Apabila keempat variable pengaruh di atas bernilai rendah, peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode withholding adalah 21,26%. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pengetahuan karyawan mengenai zakat, budaya bersedekah pada diri karyawan dan lingkungannya, promosi dari BAZ/LAZ yang didapatkan karyawan dan pemahaman karyawan mengenai regulasi zakat dan pajak berpengaruh positif terhadap peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode pemotongan atas gaji.
Berbeda dari penelitian Karsino tersebut adalah pertama, bahwa penelitian ini menggunakan variabel motivasi tanpa melibatkan promosi. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa faktor internal individu khususnya motivasi keagamaan lebih memiliki daya dorong untuk seseorang menentukan dan mengubah perilakunya.
Kedua, yang berbeda adalah jenis responden penelitian. Jika pada penelitian Karsino menggunakan responden karyawan swasta yang muslim dan berlokasi di Jakarta, maka pada penelitian ini yang menjadi responden adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berlokasi di daerah yaitu Kota Cirebon. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa PNS sejatinya memiliki kesadaran dan tanggungjawab yang lebih baik untuk patuh dan tunduk pada peraturan yang berlaku, untuk memberikan inisiatif dan tauladan yang lebih baik, serta memberikan dukungan yang lebih besar pada kemajuan dan keberhasilan kehidupan bangsa.
Ketiga, yang membedakan penelitian dengan Karsino adalah metodologi yang digunakan. Jika pada Karsino menggunakan analisis regresi model binary logit, pada penelitian ini menggunakan analisis regresi linear sederhana dan linear berganda.
Keempat, bahwa pada penelitian ini diilustrasikan bagaimana perkembangan zakat profesi dalam 2 (dua) tahun terakhir dan signifikansinya terhadap upaya mengurangi kemiskinan di Kota Cirebon.

METODOLOGI PENELITIAN
A.   Objek Penelitian
Penelitian ini menggunakan unit analisis individu, yaitu Pegawai Negeri Sipil yang beragama Islam di wilayah Kota Cirebon. Dengan demikian, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PNS muslim Pemerintahan Daerah di wilayah Kota Cirebon. Sedangkan sampel yang akan dijadikan responden adalah PNS muslim dari beberapa institusi di lingkungan Pemda yang diambil secara acak. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section yaitu data yang dikumpulkan dalam satu waktu tertentu. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan selama satu bulan yaitu bulan Januari 2012.

B.   Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini ialah PNS yang beragama Islam dari beberapa Institusi Pemda yang berkedudukan di wilayah Kota Cirebon. Adapun target responden yang akan diambil dalam penelitian ini adalah PNS muslim dengan pendapatan bruto per bulan yang nilainya telah melebihi nishab kewajiban zakat profesi dan atau berpotensi menjadi muzakki. Dengan mengacu pada nishab hasil pertanian, yakni 524 kg dan dengan asumsi bahwa harga beras per kilogram adalah Rp 7.000,-, maka dalam penelitian ini ditetapkan bahwa penghasilan bruto PNS adalah sebesar Rp 3.668.000,00 (= 524 kg x Rp 7.000,00/kg), atau diambil angka mudah sekurangnya Rp. 3.600.000,-. Angka penghasilan sebesar ini dianggap setidaknya diperoleh oleh pegawai mulai golongan IIIc ke atas. Golongan III a dan IIIb dianggap sebagai golongan yang berpotensi menjadi muzakki. Dengan demikian populasi pada penelitian ini adalah PNS mulai golongan IIIa ke atas berjumlah 5173.
Teknik pengumpulan sampel dilakukan dengan metode non probability sampling. Artinya, jumlah sampel ditetapkan sesuai dengan jumlah quota yang diinginkan dalam penelitian atau biasa disebut convenience sampling dan purposive random sampling. Dengan demikian sampel dalam penelitian ini adalah n = N/(N.d2+1)   =  5173/(5173.(0.1)2 + 1)    =  98 PNS atau responden.[41]
C.   Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian digunakan teknik pengumpulan data primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada responden sejumlah 98 PNS yang tersebar di beberapa instansi.
Dalam proses pengambilan data, desain kuesioner[42] dibuat dalam bentuk sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada responden. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibuat berdasarkan masing-masing atribut dari seluruh variabel penelitian. Masing-masing pertanyaan diberikan skor dengan menggunakan skala likert[43] sebagai berikut:
5 : Sangat (sangat setuju, sangat baik, sangat mendukung, sangat tersedia, sangat tahu, sangat mendukung, sangat ingin, sangat perlu, sangat ada (lengkap), dll)
4 : Sedang (setuju, baik, mendukung, tersedia, tahu, ada, dll)
3 : Kurang (kurang setuju, kurang baik, kurang tersedia, kurang tahu, kurang ada (ada tapi tidak memadai), dll)
2 : Tidak (tidak setuju, tidak baik, tidak tersedia, tidak tahu, tidak ingin, tidak ada, dll
1 : Sangat Tidak (sangat tidak setuju, sangat tidak mendukung, sangat tidak tersedia, sangat tidak tahu, sangat tidak ingin, samasekali tidak ada, dll)
Sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan uji validitas instrumen dengan pertama-pertama meminta pandangan ahli (judgment experts).[44] Setelah itu dilakukan coba pendahuluan dengan menyebarkan kuesioner sebanyak 30 (n).[45] Hal ini bertujuan agar penelitian yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah terutama terkait dengan validitas pertanyaan yang diajukan.[46] Setelah dilakukan studi pendahuluan sebanyak 30 (n), selanjutnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap semua pertanyaan yang diajukan dari masing-masing variabel.
D.   Deskripsi Variabel
E.   Tahapan Analisis Data
Tahapan Analisis Data
1.      Uji Validitas
2.      Uji Reliabilitas
3.      Uji Regresi Model Linear dan Berganda
4.      Uji  Prasyarat Analisis, meliputi : Uji Normalitas, Uji Homogenitas, Uji Linieritas.
5.      Untuk  menguji model regresi yang diperoleh benar-benar merupakan penduga parameter yang akurat, efesien dan tidak bias atau dikenal dengan istilah asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator)  dilakukan pengujian model persamaan regresi dengan uji asumsi klasik yang persyaratannya mencakup uji multikolinearitas (VIF), uji heteroskedastisitas (Scatter Plot) dan uji autokorelasi (Durbin-Watson).[47]
6.      Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan dengan analisis statistik inferensial digunakan untuk menguji ketiga hipotesis penelitian. Analisis inferensial yang digunakan adalah analisis regresi linier sederhana dan analisis regresi linier berganda. Analisis regresi linier sederhana untuk menguji hipotesis pengaruh secara parsial sedangkan analisis regresi linier berganda untuk menguji hipotesis pengaruh secara gradual.
Hipotesis pengaruh secara parsial  dengan menggunakan regresi linear sederhana dengan model persamaan regresi :
Y = a + bX1  dan
Y = a + bX2.
Adapun hipotesis pengaruh secara gradual diuji dengan regresi linear berganda dengan model  persamaan regresi  :
Y = a + bX1 + cX2 + dX3 + eX4
Dimana Y (variabel kesedian zakat dengan potong gaji), a (intercept atau konstanta), b,c,d dan e  (koefesien), X1 (variabel pengetahuan), X2 (Variabel budaya), X3 (variabel motivasi), dan X4 (variabel regulasi). Hipotesis statistiknya adalah sebagai berikut :
a.      Hipotesis pertama
 (Tidak ada pengaruh X1 terhadap Y)
 (ada pengaruh X1 terhadap Y)
b.         Hipotesis kedua
 (Tidak ada pengaruh X2 terhadap Y)
 (Ada pengaruh X2 terhadap Y)
c.          Hipotesis ketiga
 (Tidak ada pengaruh X3 terhadap Y)
 (Ada pengaruh X3 terhadap Y)
d.         Hipotesis keempat
 (Tidak ada pengaruh X4 terhadap Y)
 (Ada pengaruh X4 terhadap Y)
e.          Hipotesis kelima
 (Tidak ada pengaruh X1+X2+X3+X4 terhadap Y)
 (Ada pengaruh X1+X2+X3+X4 terhadap Y)
Analisis regresi dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.    Mencari persamaan model regresi Y atas X1, Y atas X2,  Y atas X3, Y atas X4 dan Y atas X1+X2+X3+X4. Langkah ini dilakukan dengan menganalisis tabel Coefesient hasil analisis SPSS.
b.    Menguji signifikansi regresi Y atas X1, Y atas X1, Y atas X2,  Y atas X3, Y atas X4 dan Y atas X1+X2+X3+X4. Langkah ini dilakukan dengan menganalisis nilai F hitung pada tabel Anova hasil analisis SPSS terhadap nilai F tabel.  
c.    Uji signifikansi koefesien regresi X1 terhadap Y,  Y atas X1, Y atas X2,  Y atas X3, Y atas X4 dan Y atas X1+X2+X3+X4.  Langkah ini dilakukan dengan menganalisis nilai R (ry1, ry2, ry3, ry4 dan ry1-4) pada tabel Model Summary hasil analisis SPSS serta menganalisis nilai t hitung pada tabel Coefesient  hasil analisis SPSS terhadap nilai t tabel untuk hipotesis pengaruh secara parsial dan analisis nilai F pada Anova terhadap F tabel untuk analisis hipotesis pengaruh secara gradual.
Dari nilai koefesien dan persamaan regresi dapat diketahui : ada tidaknya pengaruh, arah pengaruhnya positif atau negative, kekuatan pengaruhnya, tingkat signifikansi pengaruh, kontribusi pengaruhnya terhadap variabel Y dan prediksi nilai Y jika terjadi perubahan variasi X.

ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.   Factor-faktor yang Memengaruhi Keputusan PNS Membayar Zakat Profesi.
Hasil analisis regresi sebagaimana diuraikan pada pembahasan di atas dapat dijelaskan hal-hal berikut ini:
a.          Semua variabel independen (pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi) memiliki pengaruh yang besar seperti ditunjukkan oleh nilai r secara berturut-turut, yaitu 0,755; 0,78; 0,86; dan 0,837 untuk yang linear. Dengan demikian r untuk semua variabel > dari 0, maka:
1)      Hipotesis pertama
 (Tidak ada pengaruh X1 terhadap Y), ditolak.
 (ada pengaruh X1 terhadap Y), diterima.
Persamaan regresi yang diperoleh untuk variabel pengetahuan adalah:
Y = -1,515 + 0.119X  
2)      Hipotesis kedua
 (Tidak ada pengaruh X2 terhadap Y), ditolak.
 (Ada pengaruh X2 terhadap Y), diterima.
Persamaan regresi yang diperoleh untuk variabel budaya adalah:
Y = -1,515 + 0,101X  
3)      Hipotesis ketiga
 (Tidak ada pengaruh X3 terhadap Y), ditolak.
 (Ada pengaruh X3 terhadap Y), diterima.
Persamaan regresi yang diperoleh untuk variabel motivasi adalah:
Y = -1,515 + 0,121X  
4)      Hipotesis keempat
 (Tidak ada pengaruh X4 terhadap Y), ditolak
 (Ada pengaruh X4 terhadap Y), diterima
Persamaan regresi yang diperoleh untuk variabel regulasi adalah
Y = -1,515 + 0,120X
Sedangkan dari penjelasan tabel 4.23, diperoleh nilai r = 0, 946 > 0. Artinya, total variabel X (X1+X2+X3+X4) mempunyai pengaruh terhadap variabel kesediaan. Dengan demikian,
5)      Hipotesis kelima
 (Tidak ada pengaruh X1+X2+X3+X4 terhadap Y), ditolak.
 (Ada pengaruh X1+X2+X3+X4 terhadap Y), diterima.
Persamaan regresi yang diperoleh untuk keseluruhan variable secara serentak adalah:
Y = -2,641 + 0,019X1 + 0,020X2 + 0,062X3 + 0,051X4
b.          Data nilai r tersebut pada point 1, juga menujukkan arah yang kuat dan positif. Artinya, jika semua variabel independen nilainya bertambah naik, maka tingkat kesediaan mereka juga akan naik, dan sebaliknya. Dengan demikian, hipotesis semakin tinggi pengetahuan, budaya bersedekah, motivasi dan pemahamannya terhadap regulasi zakat dan pajak akan semakin memengaruhi keputusan PNS (kesadaran dan kesediaan) untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
c.          Dari hasil analisis di atas juga diperoleh keterangan besaran prosentase pengaruh semua variabel independen secara parsial terhadap variabel kesediaan, yaitu masing-masing sebesar 57%, 61%, 74%, dan 70%. Hal ini dilihat dari nilai R.Square pada masing variabel (lihat Tabel summary). Sedangkan besaran prosentase pengaruh semua variabel secara serentak dipeoleh nilai R. Square 0.894 atau 89,4%. Artinya, variabel kesediaan ditentukan oleh keempat variabel tersebut secara serentak sebesar 89,4%. Selebihnya, sebagiannya, yaitu 10,6% ditentukan oleh faktor lain yang tidak dianalisis dalam penelitian ini, misalnya, faktor kepercayaan atau ketidakpuasan, faktor pemahaman yang berbeda, atau mungkin juga faktor keengganan.
d.          Besaran kekuatan pengaruh yang ditunjukkan oleh angka R2 (R Square) tersebut berdasar Tabel menunjukkan tingkat hubungan yang sedang untuk variabel pengetahuan dan tingkat hubungan kuat untuk variabel budaya, motivasi dan regulasi.[48]
e.           Hasil uji kelayakan untuk semua variabel independen menunjukkan angka Signifikansi = 0,000 atau < 0,005. Ini menunjukkan bahwa analisis regresi dengan empat prediktor (empat variabel) masing-masing berupa pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi layak digunakan dalam memprediksi kesediaan.
f.            Persamaan regresi yang diperoleh dari hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesediaan PNS dapat diprediksi oleh tingkat pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi, dengan persamaan regresi yang diperoleh berikut: Y = -2,641 + 0,019X1 + 0,020X2 + 0,062X3 + 0,051X4;
Dengan demikian, jika pemerintah bermaksud untuk mengeluarkan kebijakan terkait pembayaran zakat profesi atas gaji oleh PNS di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon, hendaknya ia menjaga sedikitnya empat komponen tersebut.

B.   Analisis Lanjutan
Dari persamaan regresi yang diperoleh secara serentak dari keseluruhan variable diketahui bahwa koefisien regresi tertinggi adalah variable motivasi sebesar 0,62 dan koefisien regresi terendah terdapat pada variable pengetahuan sebesar 0,19. Dari data ini disimpulkan bahwa variable motivasi menjadi factor yang menentukan dalam memberikan pengaruh terhadap keputusan pegawai untuk memberikan kesediaan membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
Sedangkan factor pengetahuan bukanlah faktor yang menentukan. Tingginya tingkat pengetahuan tidak menjamin seseorang bersedia membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji ketika faktor motivasi yang dimiliki pegawai adalah rendah. Karena itu, memberikan sejumlah motivasi kepada pegawai menjadi sangat penting bagi pemerintah dalam mendorong dilahirkannya kebijakan pentingnya membayar zakat profesi tersebut.
Pertanyaannya adalah motivasi-motivasi apa saja yang dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam hal ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan analisis lanjutan terhadap 10 pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner, berupa analisis regresi untuk masing-masing pertanyaan terhadap variable kesediaan.
Hasil analisis pengaruh masing-masing indikator terhadap variable kesediaan menunjukkan bahwa pengakuan keberimanan seseorang menjadi faktor yang paling berpengaruh. Seseorang merasa nyaman jika keberimanannya mendapat pengakuan dari orang lain. Sebaliknya ia menjadi sangat khawatir dan takut jika dikategorikan ke dalam orang-orang yang mendustakan agama atau tidak beriman. Keberimanan ini kemudian diejawantahkan dalam point-point kedua, ketiga dan keempat yang bersifat imanen (keadilan). Artinya hal-hal transenden lebih utama dibanding hal-hal yang imanen.
Kekhawatiran ini akan terasa semakin longgar pada orang yang berpengetahuan tinggi. Sebaliknya, terasa semakin ketat pada orang yang berpengetahuan rendah. Pengetahuan yang dimaksud baik mencakup pengetahuan tentang konsep dasar zakat profesi itu sendiri maupun dalam hal keteraksesannya terhadap informasi-informasi menyangkut manajemen tata kelola LAZ/BAZ dan perkembangan masyarakat,  serta keteraksesannya terhadap Undang-undang dan peraturan lainnya.
Sedangkan pengaruh terendah terdapat pada indikator ke-10 yang berbunyi “dengan berzakat melalui Badan/Lembaga Amil Zakat, pengelolaan dana-dana zakat akan lebih baik, transparan dan berdayaguna”.  Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga BAZ/LAZ tentang pengelolaan dana-dana zakat perlu diperbaiki.
Perbaikan tentang hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memperbaiki manajemen pelaporan, kinerja dan perencanaan dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance, suatu prinsip yang menekankan akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik.
C.   Tingkat Respon Masyarakat terhadap Realisasi UU Zakat dan Pajak
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kedua tentang tingkat respon masyarakat dalam hal ini PNS terhadap kehadiran UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan UU no 17 Tahun 2000. Tingkat respon ini akan terlihat pada besaran prosentase jumlah PNS yang menyatakan bersedia membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Pertanyaan yang relevan yang diajukan kepada responden adalah:
  1. Apakah Anda merasa perlu untuk segera merealisasikan UU No 38 Tahun 1999 bahwa pembayaran zakat akan lebih terkoordinasi dengan baik bila disalurkan melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat?
  2. Apakah Anda merasa perlu untuk segera merealisasikan UU No 17 Tahun 2000 dan SK Direjen Pajak No. 163/PJ/2003 bahwa pembayaran zakat yang Anda bayarkan melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat dapat dijadikan sebagai komponen pengurang pajak?
  3. Apakah Anda merasa perlu untuk mendorong pimpinan di tempat anda bekerja untuk memfasilitasi anda dalam hal pembyaran zakat melalui Badan /Lembaga Amil Zakat?

Hasil penelitian menjelaskan bahwa dari 98 responden, 14 orang atau 14,3% menyatakan tidak bersedia untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Sedangkan 84 responden atau 85,7% menyatakan bersedia.
Besaran prosentase yang menyatakan bersedia tersebut di atas dapat menjadi dasar argumentasi bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan bahwa masing-masing instansi sebaiknya segera menyediakan layanan bagi PNS untuk dapat membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.  Sekaligus menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Dalam hal ini terdapat beberapa alasan mengapa pembayaran zakat profesi oleh PNS itu penting dilakukan melalui BAZ dan LAZ dengan cara pemotongan gaji adalah sebagai berikut:
1.      Penghasilan PNS jelas dan tetap;
2.      Dengan cara pemotongan gaji lebih memudahkan dan meringankan PNS membayar zakat;
3.      Dibayarkan melalui BAZ dan LAZ memudahkan dalam hal pengumpulan dan pendistribusiaan dana-dana zakat;
4.      Pengumpulan dan pendistribusiaan dana-dana zakat oleh BAZ/LAZ akan memberikan nilai keadilan bagi mustahik:
a.       Tidak menjadi beban emosional secara personal bagi mustahik kepada muzakki;
b.      Terdapat distribusi secara merata kepada setiap mustahik;
c.       Terprogram secara baik dalam hal pentasharuffan antara dana-dana untuk konsumtif dan untuk produktif, bahkan jika memungkinkan untuk kepentingan layanan-layanan publik.
5.      Pengumpulan dan pendistribusiaan dana-dana zakat oleh BAZ/LAZ akan mempercepat proses upaya mengurangi kemiskinan khususnya di Kota Cirebon. Jika 5000 PNS dari 5173 total PNS yang memiliki potensi untuk membayar zakat ini dapat membayar zakat profesinya secara berkelanjutan, misalnya dengan nilai nominal rata-rata Rp.100.000,-  maka dana yang terhimpun setiap tahunnya adalah Rp.500.000.000,-; angka yang cukup signifikan untuk dijadikan sebagai dana-dana bantuan usaha, beasiswa, pengobatan gratis, menyediakan sarana-sarana kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tidak mampu, dan lain-lain.

D.   Penerimaan Zakat Profesi di Kota Cirebon
Hingga saat ini, berdasar data yang diperoleh dari Badan Amil Zakat Kota Cirebon menunjukkan bahwa baru sejak tahun 2010 dana dari zakat profesi mulai masuk dalam Daftar Hasil Perolehan Zakat, Infak dan shodaqoh. Pada Tahun 2010, dana zakat profesi yang masuk berjumlah Rp. 20.356.850,-. Pada Tahun 2011 mengalami kenaikan, yaitu sebesar Rp. 38.200.400,-. Sedangkan tahun sebelumnya yakni Tahun 2009, dana zakat profesi menunjukan angka perolehan di posisi nol. Menurut Ketua Bazda Kota Cirebon, Drs. H. Moh. Farid Marzuki, dana zakat profesi yang terkumpul diperoleh dari UPZ (Unit Pengelola Zakat) yang terdapat di beberapa instansi pemerintah Kota Cirebon.  Jelasnya, perkembangan besaran jumlah dana dari zakat profesi ini sangat bergantung dari komitmen para pimpinan instansi setempat. Pihaknya telah mengajukan usul ke Pemerintah Kota Cirebon, dalam hal ini Walikota, untuk dapat mengeluarkan kebijakan yang mendorong setiap pegawai untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ. Sayangnya, hingga saat ini, usulannya belum mendapat respon yang baik.[49]
E.   Kesimpulan dan Saran
A.      KESIMPULAN
Hasil analisis regresi sebagaimana diuraikan di atas menyimpulkan hal-hal berikut ini:
  1. Semua variabel independen (pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi) memiliki pengaruh yang besar terhadap variabel kesediaan, baik secara parsial maupun secara serentak.
  2. Nilai pengaruh menujukkan arah yang kuat dan positif. Artinya, jika komponen pengetahuan, budaya, motivasi dan pemahaman PNS atas regulasi diperkuat, maka tingkat kesediaan mereka juga akan naik, dan sebaliknya. Ini artinya, menjadi kewajiban pemerintah untuk memperkuat PNS pada komponen tersebut baik yang bersifat penguatan wawasan, pengkondisian (behavior), maupun yang bersifat penguatan spiritual
  3. Kekuatan pengaruh budaya, motivasi dan regulasi lebih kuat dari pengetahuan atas zakat. Artinya, pertama, tingkat pengetahuan atas zakat tidak seluruhnya berhubungan lurus dengan keputusan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Kedua, pemerintah daerah memiliki peluang besar untuk menerapkan regulasi zakat dan pajak ini secara otoritatif. Artinya kesediaan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji juga besar dipengaruhi oleh kekuatan memaksa dari pemimpin. Mengandalkan kerelaan dari PNS saja tidak cukup.
  4. Faktor-faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi, dapat menjadi prediktor untuk melihat  tingkat kesediaan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Dengan demikian, jika pemerintah bermaksud untuk mengeluarkan kebijakan terkait pembayaran zakat profesi atas gaji oleh PNS di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon, hendaknya pemerintah menjaga sedikitnya empat faktor tersebut.
  5. Dari penelitian ini juga disimpulkan bahwa sebagian besar PNS atau 85,7% bersedia untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Hal ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan bahwa masing-masing instansi sebaiknya segera menyediakan layanan bagi PNS untuk dapat membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.  Sekaligus menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Juga sangat terbuka untuk dikeluarkan perintah semacam intruksi atau dalam bentuk Surat Keputusan (SK).
  6. Variable motivasi menempati urutan pengaruh terkuat dibanding tiga variable lainnya, sedangkan variable pengetahuan menempati urutan pengaruh terendah. Motivasi yang dimaksud baik yang bersifat transenden-spiritual maupun yang bersifat imanen berupa nilai-nilai keadilan, kebersamaan, kepedulian,kasih sayang pada sesama, dan lain-lain. Karena itu menjadi penting bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja dalam hal meningkatkan kualitas layanan, meningkatkan kepercayaan publik, melibatkan partisipasi masyarakat, dan lainnya. Salah satunya adalah dengan cara memperbaiki manajemen tata kelola terutama dalam hal pengumpulan, pendistribusian, pertanggungjawaban. pelaporan serta promosi dan publikasi oleh LAZ/BAZ.
Dengan demikian, maka terdapat beberapa saran yang dapat dirumuskan, sebagai berikut:
  1. Pemerintah atau para pemimpin di setiap lembaga, institusi, organisasi atau kelompok sosial hendaknya memperhatikan empat faktor penting yang memengaruhi keputusan seseorang untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ, yaitu faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi.
  2. Upaya memperkuat faktor faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi ini dapat dilakukan dengan cara penguatan-penguatan baik bersifat argumentasi/ wawasan, pembiasaan, serta memberikan dorongan-dorongan baik yang bersifat material maupun spiritual.
  3. Pembayaran zakat profesi melalui pemotongan gaji ini tidak bisa hanya mengandalkan kerelaan. Dengan demikian disarankan kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan yang bersifat memaksa agar setidaknya semua PNS dapat membayarkan zakat profesinya. Kebijakan tersebut dapat berupa Peraturan Daerah, Surat Keputusan (SK), atau Surat Edaran (SE).
  4. Supaya PNS dapat membayarkan zakat profesinya melalui pemotongan gaji ini maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk segera menyediakan sarana dan pra sarana yang diperlukan, baik untuk memudahkan pelaksanaan maupun pengawasan.
  5. Disarankan kepada peneliti lain untuk menganalisis pendistribusian dana-dana zakat yang ada di Kota Cirebon sehingga daya efek zakat untuk mengurangi kemiskinan dapat dibuktikan secara empiris. Hal ini dapat memberikan pengaruh balik pada meningkatnya motivasi muzakki untuk berzakat.
  6. Sosialisasi dan publikasi keberadaan UU tentang Pengelolaan Zakat No 38 Tahun 1999 dan atau UU No. 23 Tahun 2011 serta UU No 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan terkait antara pajak dan zakat menjadi penting dilakukan oleh pemerintah. Sebab hal ini dapat menjadi motivasi berpengaruh terhadap direalisasikannya kedua UU tersebut.
Saran-saran tersebut, tentu saja memerlukan semangat dan kerjakeras untuk mengaplikasikannya ke dalam realitas empiris, baik yang personal maupun yang sosial – institusional.






[1] Pola Pembinaan Lembaga Pengelola Zakat, Depag RI, 2005, hal 8;
[2] Gustian Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006) , Cet. ke-1;
[3] Abu Aeman. Tesis. 2009. Zakat Profesi di Kabupaten Sukoharjo
[4] Hasan Basri, Implementasi UU Zakat di Kabupaten Gresik, Jurnal Logos, Vol 6 No.2 th 2009. Hl 173 – 191;
[5] Interview dengan Kepala Bagian Zakat dan Wakaf, Drs H Husni Thamrin, Rabu, 9 Maret 2011
[6] Gustian Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, (Jakarta, PT. Rajawali Grafindo Persada, 2006), Cet. ke-1, hal. 161 – 241;
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat (Semarang : PT. Pustaka Rizky Putra, 1999), 3
[8] Q.S. Al-Kahfi ayat 74 dan Q.S. Fathir ayat 18. Seperti dikutip Asmuni MTh, Al-Arabi mengemukakan dua makna zakat, yaitu pencucian jiwa yang merupakan makna spiritual dan pencucian serta pengembangan harta  yang memiliki makna ekonomis dalam rangka membangun solidaritas sosial, dalam makalah berjudul: Zakat Profesi dan upaya menuju kesejahteraan sosial, Jurnal Ekonomi Islam La_Riba, Vol. I, No. 1, Juli 2007, didownload di journal.uii.ac.id/index.php/JEI/article/view/1046/971, pada Oktober 2010; Lihat juga pengertian zakat yang dikupas oleh Mu’inan Rafi dalam Potensi Zakat (dari Konsumtif Karitatif – ke Produktif – Berdayaguna), menurut Perspektif Hukum Islam, (Yogyakarta, Citra Pustaka, Februari 2011), cet. Ke-1, hal 23;
[9] Kata Zakat bermakna keberesan dinukil oleh Didin Hafidhuddin dari Majma Lughoh al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, juz I hal 396. Lihat Zakat dalam Perekonomian Moderen, (Jakarta, Gema Insani Pers, 2002) hal. 7;
[10] Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status Dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits (Jakarta : Litera AntarNusa, 1987), 34
[11] Subekti, Sugeng Agus, Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, Penelitian terhadap Kecenderungan Pembayar Zakat di Kelurahan Tebet Barat Barat Kecamatan Tebet Jakarta Selatan, (Jakarta, UI, 2003), hal. 18;
[12] Julien Ries, Blessing, Terjemahan dari Bahasa Perancis oleh Jefferey C. Haight dan Annie S. Mahler, dalam The Encyclopedia of Religion, Vol 2, Mircea Eliade ed. (New York, Mcmillan Publishing Company, 1987), hal. 247, seperti dikutip Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Pembangunan Ekonomi Umat, (Jakarta, Kemenag RI, Agustus 2009), hal. 170;
[13] Luthfi, Attabiq, Peran Zakat untuk Kemakmuran Rakyat, www.dakwatuna.com/Tafsir ayat/26/8/2009/ 05 Ramadhan 1430 H, didownload pada sekitar April 2010.
[14]Q.S. At-Taubah ayat 60 dan 103 dan Q.S Ar-Ruum ayat 39.
[15] Firmansyah, dkk., Potensi dan Peran Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan, (Jakarta, LIPI, 2007), 107 – 121;
[16] Hafiduddin, Didin. Panduan Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, (Jakarta : Gema Insani Press 1998), 103. Islam tidak mewajibkan zakat kepada seluruh harta benda, sedikit atau banyak, tetapi mewajibkan atas harta benda yang sampai pada hitungan nishab, bersih dari utang serta lebih dari kebutuhan pokok pemilikinya. Hal ini untuk menetapkan siapa yang tergolong orang kaya yang wajib zakat karena zakat hanya dipungut dari orang-orang kaya (yang mencapai kemampuan). Nishab menurut Adiwarman Karim dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (The International Institute of Islamic Thought, Pustaka Pelajar, Januari 2002), cet. Ke-2, hal. 34, adalah batas terendah dari kuantitas atau nilai dari suatu komoditi dan jumlah tetap dari tiap jenis binatang ternak. Nishab dan zakat dari berbagai jenis barang berbeda satu sama lain.
[17] Departemen Agama, Pola Pembinaan badan/Lembaga Amil Zakat (Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam & Penyelenggaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004), 24.
[18] Q.S At-Taubah ayat 60.
[19] Ibid, hal 108
[20] Jahrotunasipah, Ipah., Kontekstualisasi Teks: Upaya Membongkar Sistem Patriarkhi, dalam Jurnal EQUALITA Vol. 9. No. 21 Desember 2011, (Cirebon, IAIN Syekhnurdjati, 2011), hal. 101 – 102;
[21] F. Mas’udi, Masdar, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta, P3M, Maret 1993), cet. Ke-3, hal 108. Meskipun dia menggunakan istilah syari’at, tapi yang dimaksud (sesuai konteks pembicaraan dalam  halaman tersebut) adalah fiqih.  Tentu saja, secara filosofis kedua kata tersebut adalah hal yang berbeda, dimana yang syari’at memiliki makna yang lebih luas dari kata fiqih.
[22] Ibid, hal. 110;
[23] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung, Mizan, Tahun,  September 2001), cet. Ke-3, hal. 1999;
[24] Husein Muhammad, Tafsir Al-Qur’an dalam Perspektif Perempuan, (Dawroh Fiqh Perempuan), (Cirebon, Fahmina-Institute, Mei 2006), cet. Ke-1 hal 75-76
[25] Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta, P3M, Maret 1993), Cet. Ke-3, hal 9 – 10;
[26] Pandangan secara tekstualis atas ayat-ayat zakat ini diperlihatkan antara lain oleh Gazi Inayah dalam judul asli al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-Daribah (Dirosah Muqaranah), diterjemahkan oleh Zainudin Adnan dan Nailul Falah, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, (yogjakarta, Tiara Wacana, 2003), cet. Ke-1.
[27] Subekti, Sugeng Agus, Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, Tesis, Penelitian terhadap Kecenderungan Pembayar Zakat di Kelurahan Tebet Barat, Kecamatan Tebet Jakarta Selatan, (Jakarta, UI, 2003). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa aktivitas berzakat mengalami reduksi dari pesan keadilan social menjadi sebatas pesan keagamaan yang bersifat personal. Ia hanya memenuhi unsur subjektif individu berupa kewajiban personal dari ajaran agama yang dianutnya (Islam).
[28] Rasionalitas adalah landasan dari tindakan sosial yang berangkat dari aspek-aspek perilaku subjektif yang dapat dinilai secara objektif. Suatu tindakan dikatakan rasional yaitu jika tindakan tersebut hasil dari pertimbangan secara sadar dan berorientasi  pada pencapaian tujuan tertentu (rasionalitas instrument). Lihat Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, judul asli Sosiology Theory Clasical Founders and Contemporary Perspektif, alih bahasa Robert M.Z. Lawang, (Jakarta, Gramedia, 1986), hal. 216; sebagaimana dirujuk oleh Sugeng Agus Subekti dalam penelitiannya berjudul Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, (Jakarta, UI, 2003), hal. 26;
[29] Amalia, Euis, dkk., Teori Mikroekonomi Islam, (Jakarta, UIN, 2009), cet. Ke-1, hal. 43;
[30] Yusuf, Syamsu dan A. Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian, (Bandung, Remaja Rosdakarya, Juni 2008), cet. Ke-2, hal. 156 – 163;
[31] Muflih, Muhammad, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006) cet. Ke-1, hal. 66 – 67;
[32] Subekti, Sugeng Agus dalam penelitiannya berjudul Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, (Jakarta, UI, 2003), hal. 24 - 26;
[33] Ibid, hal. 28 – 29;
[34] Jadi, kesadaran dalam konteks ini adalah pemahaman atau pengetahuan seseorang tentang dirinya dan keberadaan dirinya. Pengertian ini dikemukakan oleh Searle (1997: 196), sebagaimana dikutip oleh Septi Gumiandari dalam Psikologi Kognitif, Membedah Potensi Berfikir Manusia dalam Perspektif Islam (Cirebon, Nurjati Press, November 2011), cet. Ke-1, hal. 118;
[35] Karsino, Peluang Kesediaan Karyawan untuk Dipungut Zakat Profesi dengan Metode Withholding dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Penelitian Terhadap Karyawan Swasta Di Jakarta), Tesis pada Universitas Indonesia, Program Pascasarjana, Program Studi Timur Tengah dan Islam, Kkhususan Ekonomi dan Keuangan Syari’ah, (Jakarta, UI, 2009).
[36] UU ini, kini telah diamandemen menjadi UU no 23 Tahun 2011
[37] Sekarang, UU ini telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Tetapi, deskripsi tentang zakat masih sama, tidak mengalami perubahan secara substantif.
[38] Prihartini, Farida, dkk., Hukum Islam Zakat & Wakaf, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Jakarta, UI,  2005), cet. Ke-1, hal. 89; Lihat juga UU Pajak No. 17 Tahun 2009 hasil download dari http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2

[39] http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=10
[40] Karsino, Op.Cit., Abstrak
[41] Menurut Sugiyono, sebagaimana dikutip oleh Riduwan, dalam Metode dan Teknik Menyusun Tesis, (Bandung, Alfabeta, 2004), cet. Ke-1, hal. 56 – 65, sampel adalah bagian dari populasi atau wakil populasi yang diteliti. Jadi sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi. Tekhnik pengambilan sampel ada dua, yaitu  probability sampling dan non probability sampling. Salah satu cara tekhnik pengambilan sampel adalah menggunakan rumus Taro Yamane yaitu: n = N/N.d2 +1. (n= jumlah sampel; N = jumlah populasi; d = presisi yang ditetapkan).
[42] Kuesioner atau angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain bersedia memberikan respon (responden) sesuai dengan permintaan pengguna. Tujuan penyebaran angket adalah mencari informasi yang lengkap mengenai suatu masalah dari responden  tanpa merasa khawatir bila responden memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan. Ibid, hal. 99.
[43] Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dengan menggunakan skala likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi dimensi, dimensi dijabarkan menjadi sub variabel, sub variabel dijabarkan menjadi indikator-indikator yang dapat diukur. Indikator-idikator yang terukur inilah yang dijadikan guide-line dalam membuat item instrumen berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab. Ibid, hal. 86.
[44] Pendapat ahli dalam penelitian ini diwakili oleh Prof. Abdus Salam Dz, MM, dalam konseling sepanjang bimbingan.
[45] Uji coba pendahuluan ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner di lingkungan tempat kerja penulis, yaitu teman-teman PNS di MAN2 Cirebon.
[46] Ibid, hal 109
[47] Darmana, Imang, Op.Cit, Lampiran.
[48] Sugiyono, Statistik untuk Penelitian,  (Bandung, Alfabeta,  Januari 2011), cet. Ke-18,  hal. 231.
[49] Interview langsung dengan Drs. H. Moh. Farid Marzuki, di Kantor Bazda Kota Cirebon, di Jl. Kanggraksan, pada Sabtu, 21 Januari 2012.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
KEPUTUSAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)
DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KOTA CIREBON UNTUK MEMBAYAR ZAKAT PROFESI MELALUI BAZ / LAZ DENGAN CARA PEMOTONGAN GAJI

Studi Kasus atas Respon PNS
Terhadap UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
dan UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan


by Ipah Jahrotunasipah

Abstrak
Pembayaran zakat profesi oleh para Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintahan Kota Cirebon hingga kini belum mengembangkan metode withholding (pemotongan gaji). Ia belum dilihat sebagai modal social yang potensial dan masih bertumpu pada kerelaan (kesediaan) muzakki. Padahal kontribusi besaran zakat profesi terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan penyelesaian persoalan sosial lainnya sangatlah signifikan. Karena itu, penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang memengaruhi keputusan PNS di Lingkungan Pemerintah Daerah Kota Cirebon untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
Metodologi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi linear sederhana dan regresi linear berganda dengan menempatkan faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi sebagai variabel independen dan kesediaan sebagai faktor dependen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut berpengaruh kuat dan sedang terhadap kesediaan baik secara parsial maupun secara serentak. Seperti ditunjukkan oleh nilai r secara berturut-turut, yaitu 0,755; 0,78; 0,86; dan 0,837 untuk yang parsial. Dengan demikian r untuk semua variabel > dari 0 dan H0 ditolak dan H1 diterima. Begitu juga hasil analisis regresi berganda menunjukkan nilai r = 0, 946 > 0. Artinya, total variabel X (X1+X2+X3+X4) mempunyai pengaruh terhadap variabel kesediaan, dengan persamaan regresi: Y = -2,641 + 0,19X1 + 0,020X2 + 0,062X3 + 0,051X4 . Artinya, hipotesis semakin tinggi pengetahuan, budaya bersedekah, motivasi dan pemahamannya terhadap regulasi zakat dan pajak di Indonesia akan semakin memengaruhi tingkat kesadaran dan kesediaan berzakat para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Cirebon melalui BAZ/LAZ, diterima.
Selain itu, dari penelitian ini juga diperoleh data bahwa 85,7% responden menyatakan bersedia untuk pembayaran zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.


PENDAHULUAN
a.    Latar Belakng Masalah
Berdasarkan UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, lembaga pengelola zakat terdiri atas Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, baik di tingkat nasional maupun provinsi hingga kecamatan. Sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ), adalah institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah, untuk melakukan kegiatan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan agama.[1]
BAZ/LAZ tersebut belum banyak mengembangkan metode pemungutan zakat profesi melalui metode withholding (pemotongan gaji) (withholding tax) oleh Manajemen Perusahaan selaku pemberi kerja. Padahal, meknisme withholding tax ini terbukti telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan pajak di Indonesia, yaitu antara lain berupa pajak penghasilan karyawan (PPh Pasal 21), yakni pajak penghasilan yang dipotong dari gaji karyawan. Faktor keberhasilan metode tersebut adalah karena pengelolaan pajak dilakukan oleh negara yang di dalamnya terdapat unsur sanksi hukum bagi yang tidak melaksanakannya.
Pengaturan tentang zakat profesi ini juga telah dikukuhkan dengan UU Pajak No 17 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa zakat penghasilan adalah komponen pengurang pajak.[2] Meski demikian, sejumlah penelitian zakat di beberapa daerah menunjukkan bahwa pengelolaan dana-dana zakat baik dalam hal pengumpulannya maupun pendistribusiannya masih menunjukkan adanya keterbatasan-keterbatasan yang juga disebabkan oleh kebijakan yang belum berpihak.
Misalnya, penelitian di Sukoharjo[3] dan Kabupaten Gresik[4] yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pemotongan zakat profesi sebagai komponen pengurang pajak belum dapat dilaksanakan secara maksimal dikarenakan (1) masih adanya keraguan dari pemerintah daerah setempat; (2) tidak ada kerjasama yang baik antara pemerintah daerah dan dirjen pajak, antara BAZ/LAZ dengan pemerintah (3) serta kesadaran muzakki untuk berzakat melalui BAZ/LAZ masih rendah. Berbeda dengan pengalaman di Kabupaten Bengkulu. Pemotongan zakat dengan system withholding telah berhasil dilaksanakan dengan baik pada zakat profesi PNS di lingkungan Pemda setempat dengan menggunakan SK Walikota No. 20 Tahun 2008.
Termasuk Kota Cirebon, pemerintahannya hingga kini belum menunjukkan ke arah upaya pelaksanaan kedua UU tersebut. Sebagai studi awal, hasil interview dengan Kepala Bagian Zakat dan Wakaf Kementrian Agama Kota Cirebon menyebutkan pihaknya belum bisa menerapkan secara utuh kedua Undang-undang tersebut (UU No 38 Th 1999 dan UU No 17 Th 2000). Menurutnya, pelaksanaan kedua Undang-undang tersebut masih diasumsikan memberatkan pegawai terkait dengan kondisi banyak hal. “baru tahun ini kami akan bekerja sama dengan Pemda supaya Walikota memberikan himbauan agar seluruh pegawai di lingkungan pemerintahannya berzakat melalui lembaga zakat BAZ/LAZ”, ungkapnya.[5]
Meskipun pengelolaan zakat profesi ini di Indonesia belum dilakukan oleh negara, namun bukan berarti para pegawai tidak dapat membayar zakat profesi melalui BAZ atau LAZ dan menjadikannya sebagai komponen pengurang pajak. Seperti diatur oleh UU Pajak No. 17 Tahun 2000, yakni dengan cara melampirkan lembar ke-1 surat setoran zakat atau fotocopinya yang telah dilegalisir oleh Badan Amil Zakat yang telah disyahkan/dikukuhkan pemerintah penerima setoran zakat, yang bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.[6] Akan tetapi, metode ini hanya mungkin dapat dilakukan jika terdapat faktor kesediaan pegawai untuk dilakukan pemotongan gaji guna membayar zakat profesinya.
Karena itu, sebagai upaya optimalisasi pengelolaan dan pendistribusian dana-dana zakat, diperlukan penelitian untuk melihat lebih jauh faktor-faktor yang memengaruhi pengumpulan zakat profesi, misalnya pada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah Kota Cirebon. Hal ini dilakukan untuk melihat peluang sejauhmana metode withholding dapat diterapkan di Kota Cirebon, dengan cara melihat (menganalisis) respon-respon yang diberikan terhadap kehadiran kedua Undang-undang tersebut, yakni UU no 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU no 17 Tahun 2001 tentang Pajak Penghasilan. Peluang yang baik sejatinya direspon dengan segera, terutama dalam hal ini, oleh pemerintah. Maka, harapan bersama untuk membangun kesejahteraan, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan ekonomi masyarakat dapat mewujud.
b.    Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat tiga pertanyaan yang diajukan, pertama apakah tingkat keputusan PNS untuk membayar zakat profesi melalui pemotongan gaji dipengaruhi oleh variable pengetahuan pegawai mengenai zakat, budaya bersedekah pegawai dan lingkungannya, motivasi pegawai, dan keteraksesan pegawai atas regulasi zakat dan pajak? Kedua, Berapa jumlah PNS secara statistik melalui besaran prosentase, yang menyatakan kesediaan untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji? Dan ketiga, bagaimana tingkat perkembangan penerimaan zakat dalam 2 (dua) tahun terakhir? Apakah menunjukkan perkembangan yang signifikan pasca diundangkannya UU No. 38 Tahun 1999 dan UU Pajak Tahun 2000?
c.    Kerangka Pemikiran
Pertanyaan penelitian tersebut didasarkan pada kerangka pemikiran sebagaimana diilustrasikan oleh bagan kerangka di bawah ini:
Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran










PENGETAHUAN
 






BUDAYA
 


MOTIVASI
 



REGULASI
 

 













d.     Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a)               Factor-faktor yang memengaruhi pembayaran zakat profesi pada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintahan Kota Cirebon adalah  factor pengetahuan, factor budaya, factor motivasi dan factor regulasi tentang zakat dan pajak;
b)               Semakin tinggi pengetahuan, budaya bersedekah, motivasi dan ketersediaan regulasi zakat dan pajak di Indonesia akan semakin memengaruhi tingkat kesadaran dan kesediaan berzakat para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Cirebon melalui BAZ/LAZ;
e.      Metode penelitian
Penelitian ini menempatkan variable dependent berupa keputusan (kesadaran dan kesediaan) pegawai untuk dilakukan pemotongan zakat profesi atas gaji dan variable independent berupa pengetahuan pegawai, budaya pegawai dan lingkungannya, motivasi dan keteraksesan pegawai atas regulasi zakat dan pajak.
Untuk memecahkan masalah penelitian akan dilakukan metode kuantitatif dengan jenis data yang dipakai adalah data primer. Data primer diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner berupa sejumlah pernyataan dan pertanyaan. Untuk melihat pengaruh masing-masing variabel independen berupa pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi digunakan kalimat-kalimat pernyataan/pertanyaan yang kemudian diberikan skor dengan menggunakan skala likert.
Selanjutnya, analisis terhadap data primer yang diperoleh akan menggunakan analisis regresi, berupa regresi linear dan regresi berganda. Regresi linear digunakan untuk melihat tingkat pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Sedangkan analisis regresi berganda digunakan untuk melihat tingkat pengaruh semua variabel secara serentak terhadap variabel dependen.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh PNS yang dianggap telah berpenghasilan melebihi nishab dan mengandung potensi sebagai muzakki, yaitu PNS yang bergolongan IIIa ke atas.
LANDASAN TEORI
A.   Konsep Dasar Zakat Profesi
1.      Pengertian Zakat Profesi
Zakat menurut bahasa, merupakan bentukan dari kata zakayazkuzakâan, zakâtan, yang berarti berarti namâ = tumbuh (kesuburan), barakah = keberkatan, thaharah, tathhier = bersih, dan berarti juga tazkiyah = mensucikan.[7]
Makna lain dari kata zakat, secara etimologis, adalah (1) bertambah atau berlipat ganda, (2) tumbuh dan berkembang, (3) suci atau tidak berdosa, (4) menyucikan diri dan (5) pujian yang baik.[8] Bahkan juga bermakna as-sholahu, yaitu keberesan.[9]
Dari arti kata tersebut diperoleh sedikitnya lima pengertian zakat secara lebih luas. Pertama, zakat adalah sebagian harta yang dikeluarkan kepada orang miskin dan diharapkan akan mendatangkan kesuburan pahala.[10] Kedua, zakat itu merupakan cara memperoleh jiwa suci dan terhindar dari sikap kikir dan dosa. Ketiga, zakat berarti membersihkan, yaitu membersihkan harta penghasilan dengan cara mengembalikan hak orang lain yang terdapat pada harta tersebut. Dan keempat adalah menumbuhkan, yaitu karena dengan zakat yang dibayarkan kepada para mustahik, terjadilan sirkulasi uang dalam masyarakat yang mengakibatkan bertambah dan berkembangnya fungsi uang itu dalam masyarakat.[11]
Kelima, zakat itu berarti keberkahan, yaitu cara seseorang memperoleh hidup yang barokah, yang mengandung kenikmatan-kenikmatan, terhindar dari kesulitan-kesulitan hidup, serta memiliki daya atau kekuatan-kekuatan untuk dapat melewati hidup secara lebih baik lagi.
“Term barokah adalah sebuah karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia, alam atau benda atau sebuah keuntungan materi maupun spiritual yang dihasilkan dari keinginan Tuhan. Dalam arti ini, keberkahan adalah kekuatan yang agung dan suci, kekuatan yang melimpah dari dunia yang supernatural yang melimpahkan sebuah kualitas baru pada benda yang mendapat barokah tersebut.”[12]
Kata zakat juga memiliki kesamaan arti secara etimologi dengan kata riba sebagai tumbuh dan berkembang. Tetapi, pengertian secara maknawi (terminology) amatlah berkebalikan secara simetris. Jika yang pertama bertujuan membersihkan dan menambah pahala, maka yang kedua adalah mengotori dan menambah dosa. Seperti diperlihatkan dalam Q.S Ar-Rum ayat 39, Allah mengkaitkan zakat dengan sistim ekonomi ribawi yang jelas kontra kemakmuran dan kesejahteraan orang banyak (baca: rakyat; umat). [13]
Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan dari zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Kesediaan berzakat, dalam hal ini menuntut adanya kesadaran. Dengan demikian, kesadaran berzakat merupakan sebuah keharusan bagi orang Islam yang diwujudkan melalui upaya memperhatikan hak fakir miskin dan para mustahik (orang yang berhak mendapatkan zakat) lainnya. Kesadaran berzakat juga dipandang sebagai orang yang berusaha untuk selalu membersihkan, menyuburkan dan mengembangkan hartanya serta mensucikan jiwanya.[14]
Sedangkan zakat profesi adalah salah satu jenis zakat hasil ijtihad ulama kekinian. Ia merupakan perluasan konsep tentang harta yang dizakatkan. Hal ini sangat penting dilakukan sebagai langkah maju dalam perekonomian muslim. Selain menciptakan rasa keadilan dan kebersamaan diantara pembayar zakat, juga akan menjamin dan memperbesar potensi zakat yang ada dalam masyarakat. Dengan potensi yang besar inilah pendayagunaan zakat dapat menjadi solusi alternatif dalam menanggulangi kemiskinan.[15]
Menurut al-Qardhawi, seperti dikutip oleh Didin Hafiduddin, zakat profesi adalah zakat yang dikenakan kepada penghasilan para pekerja karena profesinya baik itu dilakukan sendirian maupun bersama dengan pihak/lembaga lain yang mana mendatangkan penghasilan (honorarium) yang memenuhi nishab.[16]
2.   Tasharruf Zakat Profesi
Dana-dana zakat dapat diperuntukkan untuk kebutuhan konsumtif dan produktif yaitu:[17]
a.   Kebutuhan konsumtif
Zakat diperuntukkan bagi pemenuhan hajat hidup para mustahik delapan asnaf, sesuai dengan Undang-undang, mustahik delapan asnaf[18] ialah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, ibnu sabil yang didalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi seperti anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit utang, pengungsi yang terlantar dan korban bencana alam.
b.   Kebutuhan produktif
Pendayagunaan zakat juga dapat diperuntukkan bagi usaha produktif yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyaluran / pendistribusian zakat dalam bentuk ini adalah bersifat bantuan pemberdayaan melalui program atau kegiatan berkesinambungan, dengan dana bergulir untuk kesempatan penerima dana lebih banyak lagi.
c.    Membangun Sarana Umum (Publik)
Merupakan gagasan yang masih kontroversial apakah dana-dana zakat dapat ditasharrufkan untuk membangun sarana umum. Sebagian bersikeras bahwa dana zakat hanya boleh ditasharrufkan kepada delapan ashnaf sesuai dengan bunyi ayat secara tekstual pada Q.S. At-Taubah ayat 60. Sedangkan dalam perekonomian modern dimana aspek-aspek kehidupan berkembang luas, maka mereka berpendapat bahwa dana zakat dapat ditasharrufkan untuk membangun sarana umum.
Secara historis, dana-dana zakat baik perolehannya maupun pendistribusiannya tidaklah statis. Ia berkembang secara dinamis sesuai dengan keadaan yang menyertainya. Meskipun, Adiwarman Karim, untuk kehati-hatiannya menyebut bahwa dana zakat secara spesifik diperuntukkan untuk 8 ashnaf, dengan pengertian pada sabilillah dan ibnu sabil “diterjemahkan” sebagai dana untuk membebaskan budak dan dana untuk melaksanakan aktivitas pekerjaan umum.[19]
Jika kita hendak berpijak pada upaya kontekstualisasi ayat-ayat al-Qur’an, maka peluang untuk memberikan tafsir secara lebih luas pada kelompok 8 sangatlah terbuka. Upaya kontekstualisasi ayat-ayat al-Qur’an ini dikembangkan antara lain oleh Fazlur Rahman, Abdullah Ahmed An-Naim dan Abed Al-Jabiri.[20]  Hal ini juga ditegaskan oleh Mashdar F. Mas’udi bahwa prinsip kontekstualitas dan relativitas dari fiqih  adalah sangat jelas.[21] Kejelasan ini didasarkan pada prinsip maqashidu syari’at atau tujuan utama syari’at diberlakukan kepada manusia, yakni kemashlahatan bagi semua orang. Kemashlahatan diartikan sebagai kesejahteraan dan keadilan. [22]
Penekanan ajaran Islam terhadap cita kemashlahatan berupa nilai keadilan ini diilustrasikan Karen Amstrong sebagai berikut:
“Islam berarti kaum muslim memiliki kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara dimana orang-orang miskin dan lemah diperlakukan secara layak. Pesan moral Al-Qur’an yang pertama sederhana saja: janganlah menimbun kekayaan dan mencari keuntungan bagi diri sendiri, tetapi bagilah kemakmuran secara merata dengan menyedekahkan sebagian harta kepada fakir miskin. Zakat dan shalat merupakan  dua dari lima rukun atau prinsip ajaran Islam. Seperti halnya Nabi-nabi Ibrani, Muhammad menyiarkan sebuh etika yang bisa kita sebut sosialis sebagai kosekuensi dari penyembahan Tuhan kepada satu Tuhan.”[23]

B.   Relasi Zakat dan Pajak
Islam adalah agama yang memberikan kerahmatan bagi seluruh alam. sebagaimana  bunyi ayat 107 dari Q.S Al-Anbiya. “wa mâ arsalnâka illa rahmatan lil âlamîn”, artinya, “dan tiadalah Aku utus engkau wahai Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”.  Menurut Husein Muhammad, terma rahmat menunjuk bahwa Islam adalah agama yang terbuka dan responsif atas problem-problem kemanusiaan. Ia selalu mengusahakan sistem kehidupan yang memberi rahmat dan kesejahteraan, baik materil maupun non-materil, yang diorientasikan baik untuk kehidupan sekarang maupun untuk kehiduan akhirat kelak. Karenanya, terma kerahmatan meniscayakan berlakunya norma-norma kemanusiaan, yaitu antara lain keadilan, kesetaraan, kepedulian dan kemashlahatan sosial.[24]
Sedangkan Masdar F. Mas’udi menjelaskan ayat tersebut secara implisit menghendaki agar umat Muhammad memiliki komitmen terhadap hal-hal yang menjadi kepentingan semua pihak – tanpa membedakan warna kulit, bahasa, budaya dan keyakinan masing-masing. Jelasnya, Islam menuntut penganutnya untuk menjadi pelayan bagi semua orang, bahkan segenap makhluk semesta. [25]
Karena itu, sebagai upaya mewujudkan kerahmatan bagi semua orang inilah maka konsep zakat tidak saja dipahami sebagai ibadah (jalan kesalehan) yang berdimensi personal dan yang ritual (mahdhah), tetapi sekaligus sejatinya dipandang sebagai ibadah sosial yang dinamis (gair mahdhah). Dinamis dalam pengertian dapat dikembangkan sesuai dengan konteks kekinian, sesuai dengan spirit kaidah fiqihtaghoyyuril ahkam bi taghoyyuril amkinah wal azminah wal ahwal”, berubahnya hukum sesuai dengan berubahnya tempat, waktu dan keadaan. Dengan demikian, fiqih atau dalam hal ini zakat akan senantiasa dapat merespon persoalan-persoalan keummatan sesuai dengan kondisi zaman.
Dengan demikian konsep zakat tidak saja mengandung muatan yang sakral – transendental, tetapi sekaligus bersifat profanimmanent (keadilan).  Pada konteks yang kedua inilah maka konsep zakat sejatinya terus dapat dikembangkan baik menyangkut dasar filosofisnya, epistemologinya, struktur dan kelembagaannya, maupun manajemen operasionalnya. Secara historis menunjukkan bahwa pengalaman ummat Islam masih lemah dalam hal tersebut, yang berakibat konsep zakat tidak banyak berkembang.
Realitas masyarakat saat ini lebih banyak mengenal pajak daripada zakat. Zakat dan pajak adalah dua hal yang secara teologis-filosofis dianggap sebagai kata yang berbeda. Zakat secara umum diartikan sebagai harta yang dibayarkan oleh seorang muzakki yang didasarkan atas kesadarannya sebagai hamba Allah. Sedangkan pajak lebih diartikan sebagai harta yang dibayarkan (tanpa memerhatikan kaya atau miskin) kepada negara yang didasarkan atas kesadaran politiknya sebagai seorang warga negara. Yang pertama bersifat spiritual- relation, sedangkan yang kedua bersifat politic-citizenship relation. Yang pertama bersifat sakral sedang yang kedua bersifat profan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pajak dan zakat tidak pernah bisa disatukan, sesuatu yang terpisah dan karenanya model pengelolaannya kemudian dilakukan secara terpisah.[26]
Berbeda dari pandangan tersebut, Masdar F. Mas’udi melihat bahwa zakat dan pajak adalah dua kata yang bisa diintegrasikan, atau bahkan secara substansi mengandung makna yang sama. Hal ini berdasar pada pemaknaan kembali pada pajak dan zakat itu sendiri. Dijelaskannya bahwa sepanjang sejarah peradaban, ada tiga konsep makna yang pernah diberikan kepada pranata pajak.  Pertama, pajak dengan konsep upeti atau persembahan kepada raja.  Kedua, pajak dengan konsep ‘kontra-prestasi’ (dalam Al-Quran disebut jizyah) antara rakyat pembayar pajak, dan pihak penguasa.  Negara dengan pajak jizyah, mengabdi pada kepentingan elite penguasa.  Ketiga, pajak dengan konsep etik atau ruh zakat, yaitu pajak sebagai sedekah karena Allah yang diamanatkan kepada negara untuk kemaslahatan segenap rakyat. Maka, pada konsep yang ketiga inilah, tegas Masdar, pajak dan zakat bisa disatukan.
Tetapi, saya kira pandangan yang progresif ini masih memerlukan jangka waktu panjang untuk mempraktikannya. Karena, pada umumnya masyarakat masih melihat keterpisahan antara hukum Tuhan dengan hukum buatan manusia. Termasuk dalam membayar zakat, pada umumnya dipandang sebagai memenuhi kewajiban Tuhan semata.[27]
Dan dalam penulisan penelitian ini, penulis tidak mengambil konsep yang ketiga, tetapi mengambil konsep yang kedua dengan pertimbangan bahwa realitas empirik menunjukkan bahwa pengelolaan zakat dan pajak masih dilakukan secara terpisah. Yang zakat dikelola oleh Baznas sedangkan pajak dikelola oleh Dirjen Pajak, meski keduanya sekarang sama-sama berada di bawah pengelolaan negara/ pemerintah. Kebijakan yang sangat moderat ketika UU Pajak No. 17 tahun 2000 berusaha mengakomodasi kepentingan masyarakat muslim (muzakki) dengan menjadikan zakat sebagai komponen pengurang pajak. Namun, dalam hal ini banyak dari muslim yang belum menggunakan (mengambil manfaat) dari kebijakan tersebut.
C.    Berzakat sebagai sebuah Perilaku (Amalan Sholihan)
1.      Perilaku Berzakat sebagai Tindakan Ekonomi
Perilaku berzakat, berinfaq  dan bershodaqoh juga sering disebut sebagai “membelanjakan” harta di jalan Allah. Artinya, berzakat sebagai sebuah tindakan yang dianggap akan mendatangkan keuntungan-keuntungan secara ekonomi, baik yang bersifat profit maupun benefit. Hal ini, sesuai dengan pengertian zakat itu sendiri sebagai upaya-upaya menumbuhkan harta, pahala, mendatangkan keberuntungan, keberkahan, mensucikan, membersihkan dan memperoleh pujian yang baik.
Dengan demikian, jika perilaku berzakat dilihat sebagai tindakan ekonomi, maka ia akan didasarkan pada prinsip-prinsip rasionalitas[28] berikut ini:[29]
a.       Konsumsi dinyatakan rasional jika pembelanjaan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan; pada ekonomi konvensional, hal ini tidak diperhatikan.
ولا تجعل يدك مغلولة إلى عنوقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسور ا(Al- Isra: 29)
Pertanyaannya adalah apakah berzakat sudah dianggap sebagai kebutuhan bagi seorang muslim atau sebaliknya sebatas kewajiban dan ia menjadi beban? Sedangkan mengenai kemampuan, tentu saja, berzakat hanya berlaku bagi seorang mukallaf yang sudah mencapai nishab.
Adapun teori kebutuhan menurut teori Maslow meliputi kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan pengakuan dan kasih sayang, kebutuhan penghargaan, kebutuhan kognitif, kebutuhan estetika dan kebutuhan mengaktualisasikan diri.[30] Maka perilaku berzakat merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan tersebut.
Sedangkan menurut Asy-Syatibi, rumusan kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga tahapan, yaitu dhoruriyat (primer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier).[31] Yang dhoruriyat meliputi kebutuhan untuk memiliki aksesibilitas terhadap agama, kehidupan, pendidikan, keturunan dan harta. Maka perilaku berzakat merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan terkait menjalankan keyakinan (agama), melangsungkan kehidupan yang lebih baik, memperkuat pendidikan (tarbiyah islamiyah), memperkokoh keturunan, dan upaya mengembangkan harta.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku berzakat adalah rasional jika dilihat dari konsep upaya memenuhi kebutuhan baik menurut teori Maslaw maupun menurut As-Syatibi.
b.      Konsumsi dinyatakan rasional jika tidak hanya ditujukan untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk keperluan di jalan Allah; (consumtion for self and consumtion for couse of Allah); pada ekonomi konvensional, konsumsi hanya ditujukan pada dirinya sendiri;
وءات ذا القربى حقّه والمسكين وابن السبيل ولا تبذر تبذيرا   (Al-Israa: 26)
c.       Konsumsi dinyatakan rasional jika tingkat konsumsinya lebih kecil daripada konsumen non-muslim dikarenakan hanya diperbolehkan pada produk-produk yang halal dan thoyib; pada ekonomi konvensional tidak memperhatikan halal-thoyyib;
إنّما حرّم عليكم الميتة والدّم ولحم الخنزير .... (الأية)   (Al-Baqarah: 173)
d.      Konsumsi dinyatakan rasional jika ia dapat menyisihkan uangnya untuk ditabung; hal ini seperti dikemukakan oleh Nabi dalam haditsnya: “jagalah lima perkara sebelum dating lima perkara: sehatmu sebelum sakitmu, mudamu sebelum tuamu, ...”; termasuk dalam pengertian hadits di atas adalah jagalah uang kita sebelum datang waktu dimana kita tidak memperoleh pendapatan. Pada ekonomi konvensional, terdapat perhatian pada hal menabung ini, tetapi tujuannya yang berbeda. Jika dalam Islam tujuan menabung ini adalah untuk berjaga-jaga (precausanary) sedangkan dalam konvensional adalah untuk memperoleh pendapatan (dari bunga tinggi) sekaligus upaya para kapitalis untuk memperoleh dana public secara cuma-cuma.
e.       Konsumsi dinyatakan rasional jika ia dapat menggunakan sebagian uang tabungannya untuk kepentingan investasi dan kerjasama.  Islam sangat menganjurkan untuk dapat memaksimasi manfaat dari setiap fasilitas atau barang; Islam sangat mengecam kesia-siaan. Karena itu Islam tidak menghendaki adanya “idle”. Maka, untuk setiap fasilitas, barang dan atau uang yang disimpan, akan menjadi rasional jika diinvestasikan untuk mengambil manfaat yang lebih baik, lebih banyak, dan dapat berbagi dengan orang lain (couse of Allah). Spiritnya adalah firman Allah berikut:
تعاونوا على البرّ والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان .... (الأية) 
Investasi ini sekaligus sebagai upaya membangun kekuatan ekonomi dalam jangka panjang, tidak saja untuk kepentingan individu, tapi juga secara sosial. Hal ini penting untuk diperhatikan sebagai upaya menjawab pernyataan Allah SWT dalam Q.S. An-Nisaa ayat 9:
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرّية ضعافا خافوا عليهم .. (الأية)
f.    Konsumsi dinyatakan rasional jika ia tidak bersikap boros dan berlebihan. Boros dan berlebihan merupakan tindakan syaithanic; ini berkebalikan dengan ekonomi konvensional yang lebih memperhatikan maksimasi kekayaan.
إنّ الله لا يحبّ المسرفين .. (الأية)

Dari uraian tersebut, maka disimpulkan bahwa perilaku berzakat merupakan tindakan yang rasional dalam perspektif ekonomi Islam, karena ia merupakan salah satu upaya memenuhi kebutuhan, ditujukan untuk keperluan di jalan Allah, memerhatikan halal dan thoyyib, sebagai tabungan (materiil dan immaterial), sebagai bentuk investasi dan kerjasama serta sebagai kendali untuk tidak boros dan berlebihan

2.      Perilaku Berzakat sebagai Tindakan Sosial
Perilaku berzakat tidak hanya didasarkan atas kesadaran akan kewajiban sebagai seorang muslim yang bersifat personal, tetapi sejatinya didasarkan pula atas kesadaran akan pentingnya membangun kerahmatan (keadilan dan kemaslahatan) bagi semua orang.
Tindakan sosial dalam teori Fungsionalisme seperti yang diusung oleh Talcot Person memberikan kerangka bahwa aktivitas berzakat merupakan manifestasi spesifik dari ajaran Islam yang menginginkan adanya pengorbanan individu terhadap tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang seimbang. Tatanan masyarakat yang seimbang dianggap akan sanggup mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Jadi menurut  Teori Fungsionalisme, zakat hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan. Zakat bukanlah tujuan itu sendiri.[32]
Dengan begitu, perilaku berzakat tidak berhenti pada sekedar pemenuhan akan kewajiban yang berdampak pada sangat rigid-nya mekanisme atau aturan-aturan tekhnis, batasan-batasan nishab yang amat sakral, pentasharuffan yang demikian tekstual, dan lainnya. Akibatnya, ketercapaian akan tujuan tidak lagi menjadi bahan pertimbangan. Perilaku berzakat sejatinya dilihat sebagai sebuah upaya yang terus-menerus untuk menciptakan struktur masyarakat yang tidak timpang, baik secara ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Demikian juga menurut analisis tindakan sosial Marx Weber, perilaku berzakat akan dilihat sebagai tindakan rasional berorientasi nilai ketika didasarkan oleh rasa kewajiban yang diajarkan oleh agama. Tetapi hal ini akan berkembang menjadi tindakan rasional instrument atau bertujuan apabila ditunaikan tidak semata-mata atas dasar perintah wajib, tetapi dipahami sebagai sebuah instrument atau alat untuk terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan.[33]

3.      Dinamika Perilaku Berzakat
Berdasar penjelasan konsep-konsep/teori, perilaku manusia senantiasa dibangun oleh kesadaran-kesadaran, baik sebagai the self, pribadi, atau individu, maupun sebagai bagian dari orang lain.[34] Kesadaran-kesadaran tersebut senantiasa berubah dari waktu-ke waktu, dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Namun, sebagiannya akan menunjukkan konsistensi, tetap atau sama. Kondisi-kondisi tersebut sangat dipengaruhi – juga mempengaruhi, antara lain oleh faktor budaya, pengetahuan, motivasi dan regulasi.
Engel, Blackwell dan Miniard, seperti dikutip oleh Karsino menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap keputusan konsumen adalah sebagai berikut:[35]
a.       Perbedaan Individu
Terdiri dari beberapa kategori, yaitu:
1)      Sumberdaya konsumen;
2)      Pengetahuan;
3)      Sikap;
4)      Motivasi;
5)      Kepribadian, nilai yang dianut dan gaya hidup;
b.      Pengaruh Lingkungan
Meliputi:
1)      Budaya;
2)      Kelas Sosial;
3)      Pengaruh Pribadi;
4)      Pengaruh Keluarga;
5)      Situasi;
c.       Proses Psikologi
Terdiri dari:
1)      Pengolahan Informasi;
2)      Pembelajaran;
3)      Perubahan Sikap dan prilaku;
Karena itu, dalam penelitian ini, penulis hanya fokus pada empat faktor berupa faktor budaya, pengetahuan, motivasi dan regulasi. Keempat faktor tersebut berpengaruh kepada individu untuk memberikan keputusan untuk bersedia membayarkan zakat profesi kepada Baznas atau LAZ yang berada di bawah pengawasan pemerintah.

D.       Pelaksanaan Tekhnis Pembayaran Zakat dikaitkan dengan UU Pajak
UU no. 38 Tahun 1999[36] tentang Pengelolaan Zakat, yakni pada Bab IV Pasal 14 ayat 3 berbunyi bahwa: “Bahwa zakat yang telah dibayarkan pada Badan Amil Zakat atau Lembaga amil Zakat dapat dikurangkan dari laba/ pendapatan sisa kena pajak dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dan UU no 17 Tahun 2000[37] tentang Pajak Penghasilan yakni Pasal 9 ayat (1) berbunyi bahwa: “untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat 3 huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Adapun Pasal 4 ayat 3 huruf a bagian 1 mengemukakan bahwa zakat bukan objek pajak, karena penerimaan zakat dianggap bukan merupakan penerimaan pendapatan atau tambahan penghasilan sehingga tidak dikenai pajak. Sedangkan pembayaran zakat oleh wajib pajak (muzakki) dianggap sebagai pengeluaran biaya sehingga dapat mengurangi pembayaran pajak.[38]
Sebagai petunjuk tekhnis dari UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dkeluarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat, serta Surat Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2001 tentang didirikannya Badan Amil Zakat Nasional. Melalui dua surat keputusan tersebut, seorang wajib zakat yang telah membayar zakatnya ke BAZNAS, BAZDA, maupun LAZ yang diakui dan disahkan pemerintah maka dia akan memperoleh Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) dan Bukti Setor Zakat (BSZ) sebagai bukti untuk pengurangan penghasilan kena wajib pajak (PKP).
Selanjutnya Direktur Jendral Pajak mengeluarkan Surat Keputusan No.1643/PJ/2003 yang ditetapkan pada tanggal 10 Juni 2003 Tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Perhitungan Penghasilan Kena Pajak Penghasilan. Keputusan ini terdiri dari 5 Pasal, diantaranya Pasal 4 berbunyi:
(1)   Wajib pajak yang melakukan pengurangan zakat atas penghasilan, wajib melampirkan lembar ke-1 Surat Setoran Zakat atau fotocopy-nya yang telah dilegalisir oleh Badan Amil Zakat yang bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.
(2)   Surat Setoran Zakat yang dapat diakui sebagai bukti sekurang-kurangnya harus memuat:
-          Lengkap Wajib Pajak
-          Alamat jelas Wajib Pajak
-          Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
-          Jenis Penghasilan yang dibayar zakatnya
-          Sumber/jenis penghasilan dan bulan/tahun perolehannya
-          Besarnya penghasilan
-       Besarnya zakat atas penghasilan[39]




E.        Penelitian Sebelumnya
Sebuah penelitian yang hampir sama telah dilakukan oleh  Karsino, dalam tesisnya berjudul: “ Peluang Kesediaan Karyawan untuk Dipungut Zakat Profesi dengan Metode Withholding dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Penelitian Terhadap Karyawan Swasta Di Jakarta)”. [40]
Penelitian ini membahas mengenai peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode withholding (pemotongan gaji) dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profresi dengan metode withholding diduga dipengaruhi oleh empat variable, yaitu: pengetahuan karyawan mengenai zakat, budaya bersedekah pada diri karyawan dan lingkungannya, promosi Badan Amil Zakat (BAZ)/Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didapatkan karyawan dan pemahaman karyawan mengenai regulasi zakat dan pajak. Penelitian ini dilakukan terhadap 299 responden yang merupakan karyawan perusahaan swasta di Jakarta yang diambil secara acak.
Analisis data yang digunakan adalah regresi model binary logit. Hasil penelitian Karsino menyimpulkan bahwa peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode withholding adalah 63,20%. Apabila keempat variable pengaruh di atas bernilai rendah, peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode withholding adalah 21,26%. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pengetahuan karyawan mengenai zakat, budaya bersedekah pada diri karyawan dan lingkungannya, promosi dari BAZ/LAZ yang didapatkan karyawan dan pemahaman karyawan mengenai regulasi zakat dan pajak berpengaruh positif terhadap peluang kesediaan karyawan untuk dipungut zakat profesi dengan metode pemotongan atas gaji.
Berbeda dari penelitian Karsino tersebut adalah pertama, bahwa penelitian ini menggunakan variabel motivasi tanpa melibatkan promosi. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa faktor internal individu khususnya motivasi keagamaan lebih memiliki daya dorong untuk seseorang menentukan dan mengubah perilakunya.
Kedua, yang berbeda adalah jenis responden penelitian. Jika pada penelitian Karsino menggunakan responden karyawan swasta yang muslim dan berlokasi di Jakarta, maka pada penelitian ini yang menjadi responden adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berlokasi di daerah yaitu Kota Cirebon. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa PNS sejatinya memiliki kesadaran dan tanggungjawab yang lebih baik untuk patuh dan tunduk pada peraturan yang berlaku, untuk memberikan inisiatif dan tauladan yang lebih baik, serta memberikan dukungan yang lebih besar pada kemajuan dan keberhasilan kehidupan bangsa.
Ketiga, yang membedakan penelitian dengan Karsino adalah metodologi yang digunakan. Jika pada Karsino menggunakan analisis regresi model binary logit, pada penelitian ini menggunakan analisis regresi linear sederhana dan linear berganda.
Keempat, bahwa pada penelitian ini diilustrasikan bagaimana perkembangan zakat profesi dalam 2 (dua) tahun terakhir dan signifikansinya terhadap upaya mengurangi kemiskinan di Kota Cirebon.

METODOLOGI PENELITIAN
A.   Objek Penelitian
Penelitian ini menggunakan unit analisis individu, yaitu Pegawai Negeri Sipil yang beragama Islam di wilayah Kota Cirebon. Dengan demikian, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PNS muslim Pemerintahan Daerah di wilayah Kota Cirebon. Sedangkan sampel yang akan dijadikan responden adalah PNS muslim dari beberapa institusi di lingkungan Pemda yang diambil secara acak. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section yaitu data yang dikumpulkan dalam satu waktu tertentu. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan selama satu bulan yaitu bulan Januari 2012.

B.   Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini ialah PNS yang beragama Islam dari beberapa Institusi Pemda yang berkedudukan di wilayah Kota Cirebon. Adapun target responden yang akan diambil dalam penelitian ini adalah PNS muslim dengan pendapatan bruto per bulan yang nilainya telah melebihi nishab kewajiban zakat profesi dan atau berpotensi menjadi muzakki. Dengan mengacu pada nishab hasil pertanian, yakni 524 kg dan dengan asumsi bahwa harga beras per kilogram adalah Rp 7.000,-, maka dalam penelitian ini ditetapkan bahwa penghasilan bruto PNS adalah sebesar Rp 3.668.000,00 (= 524 kg x Rp 7.000,00/kg), atau diambil angka mudah sekurangnya Rp. 3.600.000,-. Angka penghasilan sebesar ini dianggap setidaknya diperoleh oleh pegawai mulai golongan IIIc ke atas. Golongan III a dan IIIb dianggap sebagai golongan yang berpotensi menjadi muzakki. Dengan demikian populasi pada penelitian ini adalah PNS mulai golongan IIIa ke atas berjumlah 5173.
Teknik pengumpulan sampel dilakukan dengan metode non probability sampling. Artinya, jumlah sampel ditetapkan sesuai dengan jumlah quota yang diinginkan dalam penelitian atau biasa disebut convenience sampling dan purposive random sampling. Dengan demikian sampel dalam penelitian ini adalah n = N/(N.d2+1)   =  5173/(5173.(0.1)2 + 1)    =  98 PNS atau responden.[41]
C.   Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian digunakan teknik pengumpulan data primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada responden sejumlah 98 PNS yang tersebar di beberapa instansi.
Dalam proses pengambilan data, desain kuesioner[42] dibuat dalam bentuk sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada responden. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibuat berdasarkan masing-masing atribut dari seluruh variabel penelitian. Masing-masing pertanyaan diberikan skor dengan menggunakan skala likert[43] sebagai berikut:
5 : Sangat (sangat setuju, sangat baik, sangat mendukung, sangat tersedia, sangat tahu, sangat mendukung, sangat ingin, sangat perlu, sangat ada (lengkap), dll)
4 : Sedang (setuju, baik, mendukung, tersedia, tahu, ada, dll)
3 : Kurang (kurang setuju, kurang baik, kurang tersedia, kurang tahu, kurang ada (ada tapi tidak memadai), dll)
2 : Tidak (tidak setuju, tidak baik, tidak tersedia, tidak tahu, tidak ingin, tidak ada, dll
1 : Sangat Tidak (sangat tidak setuju, sangat tidak mendukung, sangat tidak tersedia, sangat tidak tahu, sangat tidak ingin, samasekali tidak ada, dll)
Sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan uji validitas instrumen dengan pertama-pertama meminta pandangan ahli (judgment experts).[44] Setelah itu dilakukan coba pendahuluan dengan menyebarkan kuesioner sebanyak 30 (n).[45] Hal ini bertujuan agar penelitian yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah terutama terkait dengan validitas pertanyaan yang diajukan.[46] Setelah dilakukan studi pendahuluan sebanyak 30 (n), selanjutnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap semua pertanyaan yang diajukan dari masing-masing variabel.
D.   Deskripsi Variabel
E.   Tahapan Analisis Data
Tahapan Analisis Data
1.      Uji Validitas
2.      Uji Reliabilitas
3.      Uji Regresi Model Linear dan Berganda
4.      Uji  Prasyarat Analisis, meliputi : Uji Normalitas, Uji Homogenitas, Uji Linieritas.
5.      Untuk  menguji model regresi yang diperoleh benar-benar merupakan penduga parameter yang akurat, efesien dan tidak bias atau dikenal dengan istilah asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator)  dilakukan pengujian model persamaan regresi dengan uji asumsi klasik yang persyaratannya mencakup uji multikolinearitas (VIF), uji heteroskedastisitas (Scatter Plot) dan uji autokorelasi (Durbin-Watson).[47]
6.      Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan dengan analisis statistik inferensial digunakan untuk menguji ketiga hipotesis penelitian. Analisis inferensial yang digunakan adalah analisis regresi linier sederhana dan analisis regresi linier berganda. Analisis regresi linier sederhana untuk menguji hipotesis pengaruh secara parsial sedangkan analisis regresi linier berganda untuk menguji hipotesis pengaruh secara gradual.
Hipotesis pengaruh secara parsial  dengan menggunakan regresi linear sederhana dengan model persamaan regresi :
Y = a + bX1  dan
Y = a + bX2.
Adapun hipotesis pengaruh secara gradual diuji dengan regresi linear berganda dengan model  persamaan regresi  :
Y = a + bX1 + cX2 + dX3 + eX4
Dimana Y (variabel kesedian zakat dengan potong gaji), a (intercept atau konstanta), b,c,d dan e  (koefesien), X1 (variabel pengetahuan), X2 (Variabel budaya), X3 (variabel motivasi), dan X4 (variabel regulasi). Hipotesis statistiknya adalah sebagai berikut :
a.      Hipotesis pertama
 (Tidak ada pengaruh X1 terhadap Y)
 (ada pengaruh X1 terhadap Y)
b.         Hipotesis kedua
 (Tidak ada pengaruh X2 terhadap Y)
 (Ada pengaruh X2 terhadap Y)
c.          Hipotesis ketiga
 (Tidak ada pengaruh X3 terhadap Y)
 (Ada pengaruh X3 terhadap Y)
d.         Hipotesis keempat
 (Tidak ada pengaruh X4 terhadap Y)
 (Ada pengaruh X4 terhadap Y)
e.          Hipotesis kelima
 (Tidak ada pengaruh X1+X2+X3+X4 terhadap Y)
 (Ada pengaruh X1+X2+X3+X4 terhadap Y)
Analisis regresi dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.    Mencari persamaan model regresi Y atas X1, Y atas X2,  Y atas X3, Y atas X4 dan Y atas X1+X2+X3+X4. Langkah ini dilakukan dengan menganalisis tabel Coefesient hasil analisis SPSS.
b.    Menguji signifikansi regresi Y atas X1, Y atas X1, Y atas X2,  Y atas X3, Y atas X4 dan Y atas X1+X2+X3+X4. Langkah ini dilakukan dengan menganalisis nilai F hitung pada tabel Anova hasil analisis SPSS terhadap nilai F tabel.  
c.    Uji signifikansi koefesien regresi X1 terhadap Y,  Y atas X1, Y atas X2,  Y atas X3, Y atas X4 dan Y atas X1+X2+X3+X4.  Langkah ini dilakukan dengan menganalisis nilai R (ry1, ry2, ry3, ry4 dan ry1-4) pada tabel Model Summary hasil analisis SPSS serta menganalisis nilai t hitung pada tabel Coefesient  hasil analisis SPSS terhadap nilai t tabel untuk hipotesis pengaruh secara parsial dan analisis nilai F pada Anova terhadap F tabel untuk analisis hipotesis pengaruh secara gradual.
Dari nilai koefesien dan persamaan regresi dapat diketahui : ada tidaknya pengaruh, arah pengaruhnya positif atau negative, kekuatan pengaruhnya, tingkat signifikansi pengaruh, kontribusi pengaruhnya terhadap variabel Y dan prediksi nilai Y jika terjadi perubahan variasi X.

ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.   Factor-faktor yang Memengaruhi Keputusan PNS Membayar Zakat Profesi.
Hasil analisis regresi sebagaimana diuraikan pada pembahasan di atas dapat dijelaskan hal-hal berikut ini:
a.          Semua variabel independen (pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi) memiliki pengaruh yang besar seperti ditunjukkan oleh nilai r secara berturut-turut, yaitu 0,755; 0,78; 0,86; dan 0,837 untuk yang linear. Dengan demikian r untuk semua variabel > dari 0, maka:
1)      Hipotesis pertama
 (Tidak ada pengaruh X1 terhadap Y), ditolak.
 (ada pengaruh X1 terhadap Y), diterima.
Persamaan regresi yang diperoleh untuk variabel pengetahuan adalah:
Y = -1,515 + 0.119X  
2)      Hipotesis kedua
 (Tidak ada pengaruh X2 terhadap Y), ditolak.
 (Ada pengaruh X2 terhadap Y), diterima.
Persamaan regresi yang diperoleh untuk variabel budaya adalah:
Y = -1,515 + 0,101X  
3)      Hipotesis ketiga
 (Tidak ada pengaruh X3 terhadap Y), ditolak.
 (Ada pengaruh X3 terhadap Y), diterima.
Persamaan regresi yang diperoleh untuk variabel motivasi adalah:
Y = -1,515 + 0,121X  
4)      Hipotesis keempat
 (Tidak ada pengaruh X4 terhadap Y), ditolak
 (Ada pengaruh X4 terhadap Y), diterima
Persamaan regresi yang diperoleh untuk variabel regulasi adalah
Y = -1,515 + 0,120X
Sedangkan dari penjelasan tabel 4.23, diperoleh nilai r = 0, 946 > 0. Artinya, total variabel X (X1+X2+X3+X4) mempunyai pengaruh terhadap variabel kesediaan. Dengan demikian,
5)      Hipotesis kelima
 (Tidak ada pengaruh X1+X2+X3+X4 terhadap Y), ditolak.
 (Ada pengaruh X1+X2+X3+X4 terhadap Y), diterima.
Persamaan regresi yang diperoleh untuk keseluruhan variable secara serentak adalah:
Y = -2,641 + 0,019X1 + 0,020X2 + 0,062X3 + 0,051X4
b.          Data nilai r tersebut pada point 1, juga menujukkan arah yang kuat dan positif. Artinya, jika semua variabel independen nilainya bertambah naik, maka tingkat kesediaan mereka juga akan naik, dan sebaliknya. Dengan demikian, hipotesis semakin tinggi pengetahuan, budaya bersedekah, motivasi dan pemahamannya terhadap regulasi zakat dan pajak akan semakin memengaruhi keputusan PNS (kesadaran dan kesediaan) untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
c.          Dari hasil analisis di atas juga diperoleh keterangan besaran prosentase pengaruh semua variabel independen secara parsial terhadap variabel kesediaan, yaitu masing-masing sebesar 57%, 61%, 74%, dan 70%. Hal ini dilihat dari nilai R.Square pada masing variabel (lihat Tabel summary). Sedangkan besaran prosentase pengaruh semua variabel secara serentak dipeoleh nilai R. Square 0.894 atau 89,4%. Artinya, variabel kesediaan ditentukan oleh keempat variabel tersebut secara serentak sebesar 89,4%. Selebihnya, sebagiannya, yaitu 10,6% ditentukan oleh faktor lain yang tidak dianalisis dalam penelitian ini, misalnya, faktor kepercayaan atau ketidakpuasan, faktor pemahaman yang berbeda, atau mungkin juga faktor keengganan.
d.          Besaran kekuatan pengaruh yang ditunjukkan oleh angka R2 (R Square) tersebut berdasar Tabel menunjukkan tingkat hubungan yang sedang untuk variabel pengetahuan dan tingkat hubungan kuat untuk variabel budaya, motivasi dan regulasi.[48]
e.           Hasil uji kelayakan untuk semua variabel independen menunjukkan angka Signifikansi = 0,000 atau < 0,005. Ini menunjukkan bahwa analisis regresi dengan empat prediktor (empat variabel) masing-masing berupa pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi layak digunakan dalam memprediksi kesediaan.
f.            Persamaan regresi yang diperoleh dari hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesediaan PNS dapat diprediksi oleh tingkat pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi, dengan persamaan regresi yang diperoleh berikut: Y = -2,641 + 0,019X1 + 0,020X2 + 0,062X3 + 0,051X4;
Dengan demikian, jika pemerintah bermaksud untuk mengeluarkan kebijakan terkait pembayaran zakat profesi atas gaji oleh PNS di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon, hendaknya ia menjaga sedikitnya empat komponen tersebut.

B.   Analisis Lanjutan
Dari persamaan regresi yang diperoleh secara serentak dari keseluruhan variable diketahui bahwa koefisien regresi tertinggi adalah variable motivasi sebesar 0,62 dan koefisien regresi terendah terdapat pada variable pengetahuan sebesar 0,19. Dari data ini disimpulkan bahwa variable motivasi menjadi factor yang menentukan dalam memberikan pengaruh terhadap keputusan pegawai untuk memberikan kesediaan membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.
Sedangkan factor pengetahuan bukanlah faktor yang menentukan. Tingginya tingkat pengetahuan tidak menjamin seseorang bersedia membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji ketika faktor motivasi yang dimiliki pegawai adalah rendah. Karena itu, memberikan sejumlah motivasi kepada pegawai menjadi sangat penting bagi pemerintah dalam mendorong dilahirkannya kebijakan pentingnya membayar zakat profesi tersebut.
Pertanyaannya adalah motivasi-motivasi apa saja yang dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam hal ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan analisis lanjutan terhadap 10 pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner, berupa analisis regresi untuk masing-masing pertanyaan terhadap variable kesediaan.
Hasil analisis pengaruh masing-masing indikator terhadap variable kesediaan menunjukkan bahwa pengakuan keberimanan seseorang menjadi faktor yang paling berpengaruh. Seseorang merasa nyaman jika keberimanannya mendapat pengakuan dari orang lain. Sebaliknya ia menjadi sangat khawatir dan takut jika dikategorikan ke dalam orang-orang yang mendustakan agama atau tidak beriman. Keberimanan ini kemudian diejawantahkan dalam point-point kedua, ketiga dan keempat yang bersifat imanen (keadilan). Artinya hal-hal transenden lebih utama dibanding hal-hal yang imanen.
Kekhawatiran ini akan terasa semakin longgar pada orang yang berpengetahuan tinggi. Sebaliknya, terasa semakin ketat pada orang yang berpengetahuan rendah. Pengetahuan yang dimaksud baik mencakup pengetahuan tentang konsep dasar zakat profesi itu sendiri maupun dalam hal keteraksesannya terhadap informasi-informasi menyangkut manajemen tata kelola LAZ/BAZ dan perkembangan masyarakat,  serta keteraksesannya terhadap Undang-undang dan peraturan lainnya.
Sedangkan pengaruh terendah terdapat pada indikator ke-10 yang berbunyi “dengan berzakat melalui Badan/Lembaga Amil Zakat, pengelolaan dana-dana zakat akan lebih baik, transparan dan berdayaguna”.  Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga BAZ/LAZ tentang pengelolaan dana-dana zakat perlu diperbaiki.
Perbaikan tentang hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memperbaiki manajemen pelaporan, kinerja dan perencanaan dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance, suatu prinsip yang menekankan akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik.
C.   Tingkat Respon Masyarakat terhadap Realisasi UU Zakat dan Pajak
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kedua tentang tingkat respon masyarakat dalam hal ini PNS terhadap kehadiran UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan UU no 17 Tahun 2000. Tingkat respon ini akan terlihat pada besaran prosentase jumlah PNS yang menyatakan bersedia membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Pertanyaan yang relevan yang diajukan kepada responden adalah:
  1. Apakah Anda merasa perlu untuk segera merealisasikan UU No 38 Tahun 1999 bahwa pembayaran zakat akan lebih terkoordinasi dengan baik bila disalurkan melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat?
  2. Apakah Anda merasa perlu untuk segera merealisasikan UU No 17 Tahun 2000 dan SK Direjen Pajak No. 163/PJ/2003 bahwa pembayaran zakat yang Anda bayarkan melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat dapat dijadikan sebagai komponen pengurang pajak?
  3. Apakah Anda merasa perlu untuk mendorong pimpinan di tempat anda bekerja untuk memfasilitasi anda dalam hal pembyaran zakat melalui Badan /Lembaga Amil Zakat?

Hasil penelitian menjelaskan bahwa dari 98 responden, 14 orang atau 14,3% menyatakan tidak bersedia untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Sedangkan 84 responden atau 85,7% menyatakan bersedia.
Besaran prosentase yang menyatakan bersedia tersebut di atas dapat menjadi dasar argumentasi bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan bahwa masing-masing instansi sebaiknya segera menyediakan layanan bagi PNS untuk dapat membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.  Sekaligus menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Dalam hal ini terdapat beberapa alasan mengapa pembayaran zakat profesi oleh PNS itu penting dilakukan melalui BAZ dan LAZ dengan cara pemotongan gaji adalah sebagai berikut:
1.      Penghasilan PNS jelas dan tetap;
2.      Dengan cara pemotongan gaji lebih memudahkan dan meringankan PNS membayar zakat;
3.      Dibayarkan melalui BAZ dan LAZ memudahkan dalam hal pengumpulan dan pendistribusiaan dana-dana zakat;
4.      Pengumpulan dan pendistribusiaan dana-dana zakat oleh BAZ/LAZ akan memberikan nilai keadilan bagi mustahik:
a.       Tidak menjadi beban emosional secara personal bagi mustahik kepada muzakki;
b.      Terdapat distribusi secara merata kepada setiap mustahik;
c.       Terprogram secara baik dalam hal pentasharuffan antara dana-dana untuk konsumtif dan untuk produktif, bahkan jika memungkinkan untuk kepentingan layanan-layanan publik.
5.      Pengumpulan dan pendistribusiaan dana-dana zakat oleh BAZ/LAZ akan mempercepat proses upaya mengurangi kemiskinan khususnya di Kota Cirebon. Jika 5000 PNS dari 5173 total PNS yang memiliki potensi untuk membayar zakat ini dapat membayar zakat profesinya secara berkelanjutan, misalnya dengan nilai nominal rata-rata Rp.100.000,-  maka dana yang terhimpun setiap tahunnya adalah Rp.500.000.000,-; angka yang cukup signifikan untuk dijadikan sebagai dana-dana bantuan usaha, beasiswa, pengobatan gratis, menyediakan sarana-sarana kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tidak mampu, dan lain-lain.

D.   Penerimaan Zakat Profesi di Kota Cirebon
Hingga saat ini, berdasar data yang diperoleh dari Badan Amil Zakat Kota Cirebon menunjukkan bahwa baru sejak tahun 2010 dana dari zakat profesi mulai masuk dalam Daftar Hasil Perolehan Zakat, Infak dan shodaqoh. Pada Tahun 2010, dana zakat profesi yang masuk berjumlah Rp. 20.356.850,-. Pada Tahun 2011 mengalami kenaikan, yaitu sebesar Rp. 38.200.400,-. Sedangkan tahun sebelumnya yakni Tahun 2009, dana zakat profesi menunjukan angka perolehan di posisi nol. Menurut Ketua Bazda Kota Cirebon, Drs. H. Moh. Farid Marzuki, dana zakat profesi yang terkumpul diperoleh dari UPZ (Unit Pengelola Zakat) yang terdapat di beberapa instansi pemerintah Kota Cirebon.  Jelasnya, perkembangan besaran jumlah dana dari zakat profesi ini sangat bergantung dari komitmen para pimpinan instansi setempat. Pihaknya telah mengajukan usul ke Pemerintah Kota Cirebon, dalam hal ini Walikota, untuk dapat mengeluarkan kebijakan yang mendorong setiap pegawai untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ. Sayangnya, hingga saat ini, usulannya belum mendapat respon yang baik.[49]
E.   Kesimpulan dan Saran
A.      KESIMPULAN
Hasil analisis regresi sebagaimana diuraikan di atas menyimpulkan hal-hal berikut ini:
  1. Semua variabel independen (pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi) memiliki pengaruh yang besar terhadap variabel kesediaan, baik secara parsial maupun secara serentak.
  2. Nilai pengaruh menujukkan arah yang kuat dan positif. Artinya, jika komponen pengetahuan, budaya, motivasi dan pemahaman PNS atas regulasi diperkuat, maka tingkat kesediaan mereka juga akan naik, dan sebaliknya. Ini artinya, menjadi kewajiban pemerintah untuk memperkuat PNS pada komponen tersebut baik yang bersifat penguatan wawasan, pengkondisian (behavior), maupun yang bersifat penguatan spiritual
  3. Kekuatan pengaruh budaya, motivasi dan regulasi lebih kuat dari pengetahuan atas zakat. Artinya, pertama, tingkat pengetahuan atas zakat tidak seluruhnya berhubungan lurus dengan keputusan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Kedua, pemerintah daerah memiliki peluang besar untuk menerapkan regulasi zakat dan pajak ini secara otoritatif. Artinya kesediaan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji juga besar dipengaruhi oleh kekuatan memaksa dari pemimpin. Mengandalkan kerelaan dari PNS saja tidak cukup.
  4. Faktor-faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi, dapat menjadi prediktor untuk melihat  tingkat kesediaan PNS untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Dengan demikian, jika pemerintah bermaksud untuk mengeluarkan kebijakan terkait pembayaran zakat profesi atas gaji oleh PNS di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon, hendaknya pemerintah menjaga sedikitnya empat faktor tersebut.
  5. Dari penelitian ini juga disimpulkan bahwa sebagian besar PNS atau 85,7% bersedia untuk membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji. Hal ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan bahwa masing-masing instansi sebaiknya segera menyediakan layanan bagi PNS untuk dapat membayar zakat profesi melalui BAZ/LAZ dengan cara pemotongan gaji.  Sekaligus menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Juga sangat terbuka untuk dikeluarkan perintah semacam intruksi atau dalam bentuk Surat Keputusan (SK).
  6. Variable motivasi menempati urutan pengaruh terkuat dibanding tiga variable lainnya, sedangkan variable pengetahuan menempati urutan pengaruh terendah. Motivasi yang dimaksud baik yang bersifat transenden-spiritual maupun yang bersifat imanen berupa nilai-nilai keadilan, kebersamaan, kepedulian,kasih sayang pada sesama, dan lain-lain. Karena itu menjadi penting bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja dalam hal meningkatkan kualitas layanan, meningkatkan kepercayaan publik, melibatkan partisipasi masyarakat, dan lainnya. Salah satunya adalah dengan cara memperbaiki manajemen tata kelola terutama dalam hal pengumpulan, pendistribusian, pertanggungjawaban. pelaporan serta promosi dan publikasi oleh LAZ/BAZ.
Dengan demikian, maka terdapat beberapa saran yang dapat dirumuskan, sebagai berikut:
  1. Pemerintah atau para pemimpin di setiap lembaga, institusi, organisasi atau kelompok sosial hendaknya memperhatikan empat faktor penting yang memengaruhi keputusan seseorang untuk membayar zakat melalui BAZ/LAZ, yaitu faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi.
  2. Upaya memperkuat faktor faktor pengetahuan, budaya, motivasi dan regulasi ini dapat dilakukan dengan cara penguatan-penguatan baik bersifat argumentasi/ wawasan, pembiasaan, serta memberikan dorongan-dorongan baik yang bersifat material maupun spiritual.
  3. Pembayaran zakat profesi melalui pemotongan gaji ini tidak bisa hanya mengandalkan kerelaan. Dengan demikian disarankan kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan yang bersifat memaksa agar setidaknya semua PNS dapat membayarkan zakat profesinya. Kebijakan tersebut dapat berupa Peraturan Daerah, Surat Keputusan (SK), atau Surat Edaran (SE).
  4. Supaya PNS dapat membayarkan zakat profesinya melalui pemotongan gaji ini maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk segera menyediakan sarana dan pra sarana yang diperlukan, baik untuk memudahkan pelaksanaan maupun pengawasan.
  5. Disarankan kepada peneliti lain untuk menganalisis pendistribusian dana-dana zakat yang ada di Kota Cirebon sehingga daya efek zakat untuk mengurangi kemiskinan dapat dibuktikan secara empiris. Hal ini dapat memberikan pengaruh balik pada meningkatnya motivasi muzakki untuk berzakat.
  6. Sosialisasi dan publikasi keberadaan UU tentang Pengelolaan Zakat No 38 Tahun 1999 dan atau UU No. 23 Tahun 2011 serta UU No 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan terkait antara pajak dan zakat menjadi penting dilakukan oleh pemerintah. Sebab hal ini dapat menjadi motivasi berpengaruh terhadap direalisasikannya kedua UU tersebut.
Saran-saran tersebut, tentu saja memerlukan semangat dan kerjakeras untuk mengaplikasikannya ke dalam realitas empiris, baik yang personal maupun yang sosial – institusional.






[1] Pola Pembinaan Lembaga Pengelola Zakat, Depag RI, 2005, hal 8;
[2] Gustian Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006) , Cet. ke-1;
[3] Abu Aeman. Tesis. 2009. Zakat Profesi di Kabupaten Sukoharjo
[4] Hasan Basri, Implementasi UU Zakat di Kabupaten Gresik, Jurnal Logos, Vol 6 No.2 th 2009. Hl 173 – 191;
[5] Interview dengan Kepala Bagian Zakat dan Wakaf, Drs H Husni Thamrin, Rabu, 9 Maret 2011
[6] Gustian Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, (Jakarta, PT. Rajawali Grafindo Persada, 2006), Cet. ke-1, hal. 161 – 241;
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat (Semarang : PT. Pustaka Rizky Putra, 1999), 3
[8] Q.S. Al-Kahfi ayat 74 dan Q.S. Fathir ayat 18. Seperti dikutip Asmuni MTh, Al-Arabi mengemukakan dua makna zakat, yaitu pencucian jiwa yang merupakan makna spiritual dan pencucian serta pengembangan harta  yang memiliki makna ekonomis dalam rangka membangun solidaritas sosial, dalam makalah berjudul: Zakat Profesi dan upaya menuju kesejahteraan sosial, Jurnal Ekonomi Islam La_Riba, Vol. I, No. 1, Juli 2007, didownload di journal.uii.ac.id/index.php/JEI/article/view/1046/971, pada Oktober 2010; Lihat juga pengertian zakat yang dikupas oleh Mu’inan Rafi dalam Potensi Zakat (dari Konsumtif Karitatif – ke Produktif – Berdayaguna), menurut Perspektif Hukum Islam, (Yogyakarta, Citra Pustaka, Februari 2011), cet. Ke-1, hal 23;
[9] Kata Zakat bermakna keberesan dinukil oleh Didin Hafidhuddin dari Majma Lughoh al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, juz I hal 396. Lihat Zakat dalam Perekonomian Moderen, (Jakarta, Gema Insani Pers, 2002) hal. 7;
[10] Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status Dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits (Jakarta : Litera AntarNusa, 1987), 34
[11] Subekti, Sugeng Agus, Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, Penelitian terhadap Kecenderungan Pembayar Zakat di Kelurahan Tebet Barat Barat Kecamatan Tebet Jakarta Selatan, (Jakarta, UI, 2003), hal. 18;
[12] Julien Ries, Blessing, Terjemahan dari Bahasa Perancis oleh Jefferey C. Haight dan Annie S. Mahler, dalam The Encyclopedia of Religion, Vol 2, Mircea Eliade ed. (New York, Mcmillan Publishing Company, 1987), hal. 247, seperti dikutip Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Pembangunan Ekonomi Umat, (Jakarta, Kemenag RI, Agustus 2009), hal. 170;
[13] Luthfi, Attabiq, Peran Zakat untuk Kemakmuran Rakyat, www.dakwatuna.com/Tafsir ayat/26/8/2009/ 05 Ramadhan 1430 H, didownload pada sekitar April 2010.
[14]Q.S. At-Taubah ayat 60 dan 103 dan Q.S Ar-Ruum ayat 39.
[15] Firmansyah, dkk., Potensi dan Peran Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan, (Jakarta, LIPI, 2007), 107 – 121;
[16] Hafiduddin, Didin. Panduan Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, (Jakarta : Gema Insani Press 1998), 103. Islam tidak mewajibkan zakat kepada seluruh harta benda, sedikit atau banyak, tetapi mewajibkan atas harta benda yang sampai pada hitungan nishab, bersih dari utang serta lebih dari kebutuhan pokok pemilikinya. Hal ini untuk menetapkan siapa yang tergolong orang kaya yang wajib zakat karena zakat hanya dipungut dari orang-orang kaya (yang mencapai kemampuan). Nishab menurut Adiwarman Karim dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (The International Institute of Islamic Thought, Pustaka Pelajar, Januari 2002), cet. Ke-2, hal. 34, adalah batas terendah dari kuantitas atau nilai dari suatu komoditi dan jumlah tetap dari tiap jenis binatang ternak. Nishab dan zakat dari berbagai jenis barang berbeda satu sama lain.
[17] Departemen Agama, Pola Pembinaan badan/Lembaga Amil Zakat (Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam & Penyelenggaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004), 24.
[18] Q.S At-Taubah ayat 60.
[19] Ibid, hal 108
[20] Jahrotunasipah, Ipah., Kontekstualisasi Teks: Upaya Membongkar Sistem Patriarkhi, dalam Jurnal EQUALITA Vol. 9. No. 21 Desember 2011, (Cirebon, IAIN Syekhnurdjati, 2011), hal. 101 – 102;
[21] F. Mas’udi, Masdar, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta, P3M, Maret 1993), cet. Ke-3, hal 108. Meskipun dia menggunakan istilah syari’at, tapi yang dimaksud (sesuai konteks pembicaraan dalam  halaman tersebut) adalah fiqih.  Tentu saja, secara filosofis kedua kata tersebut adalah hal yang berbeda, dimana yang syari’at memiliki makna yang lebih luas dari kata fiqih.
[22] Ibid, hal. 110;
[23] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung, Mizan, Tahun,  September 2001), cet. Ke-3, hal. 1999;
[24] Husein Muhammad, Tafsir Al-Qur’an dalam Perspektif Perempuan, (Dawroh Fiqh Perempuan), (Cirebon, Fahmina-Institute, Mei 2006), cet. Ke-1 hal 75-76
[25] Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta, P3M, Maret 1993), Cet. Ke-3, hal 9 – 10;
[26] Pandangan secara tekstualis atas ayat-ayat zakat ini diperlihatkan antara lain oleh Gazi Inayah dalam judul asli al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-Daribah (Dirosah Muqaranah), diterjemahkan oleh Zainudin Adnan dan Nailul Falah, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, (yogjakarta, Tiara Wacana, 2003), cet. Ke-1.
[27] Subekti, Sugeng Agus, Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, Tesis, Penelitian terhadap Kecenderungan Pembayar Zakat di Kelurahan Tebet Barat, Kecamatan Tebet Jakarta Selatan, (Jakarta, UI, 2003). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa aktivitas berzakat mengalami reduksi dari pesan keadilan social menjadi sebatas pesan keagamaan yang bersifat personal. Ia hanya memenuhi unsur subjektif individu berupa kewajiban personal dari ajaran agama yang dianutnya (Islam).
[28] Rasionalitas adalah landasan dari tindakan sosial yang berangkat dari aspek-aspek perilaku subjektif yang dapat dinilai secara objektif. Suatu tindakan dikatakan rasional yaitu jika tindakan tersebut hasil dari pertimbangan secara sadar dan berorientasi  pada pencapaian tujuan tertentu (rasionalitas instrument). Lihat Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, judul asli Sosiology Theory Clasical Founders and Contemporary Perspektif, alih bahasa Robert M.Z. Lawang, (Jakarta, Gramedia, 1986), hal. 216; sebagaimana dirujuk oleh Sugeng Agus Subekti dalam penelitiannya berjudul Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, (Jakarta, UI, 2003), hal. 26;
[29] Amalia, Euis, dkk., Teori Mikroekonomi Islam, (Jakarta, UIN, 2009), cet. Ke-1, hal. 43;
[30] Yusuf, Syamsu dan A. Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian, (Bandung, Remaja Rosdakarya, Juni 2008), cet. Ke-2, hal. 156 – 163;
[31] Muflih, Muhammad, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006) cet. Ke-1, hal. 66 – 67;
[32] Subekti, Sugeng Agus dalam penelitiannya berjudul Aktivitas Berzakat dan Model Pengelolaan Zakat, (Jakarta, UI, 2003), hal. 24 - 26;
[33] Ibid, hal. 28 – 29;
[34] Jadi, kesadaran dalam konteks ini adalah pemahaman atau pengetahuan seseorang tentang dirinya dan keberadaan dirinya. Pengertian ini dikemukakan oleh Searle (1997: 196), sebagaimana dikutip oleh Septi Gumiandari dalam Psikologi Kognitif, Membedah Potensi Berfikir Manusia dalam Perspektif Islam (Cirebon, Nurjati Press, November 2011), cet. Ke-1, hal. 118;
[35] Karsino, Peluang Kesediaan Karyawan untuk Dipungut Zakat Profesi dengan Metode Withholding dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Penelitian Terhadap Karyawan Swasta Di Jakarta), Tesis pada Universitas Indonesia, Program Pascasarjana, Program Studi Timur Tengah dan Islam, Kkhususan Ekonomi dan Keuangan Syari’ah, (Jakarta, UI, 2009).
[36] UU ini, kini telah diamandemen menjadi UU no 23 Tahun 2011
[37] Sekarang, UU ini telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Tetapi, deskripsi tentang zakat masih sama, tidak mengalami perubahan secara substantif.
[38] Prihartini, Farida, dkk., Hukum Islam Zakat & Wakaf, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Jakarta, UI,  2005), cet. Ke-1, hal. 89; Lihat juga UU Pajak No. 17 Tahun 2009 hasil download dari http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2

[39] http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=10
[40] Karsino, Op.Cit., Abstrak
[41] Menurut Sugiyono, sebagaimana dikutip oleh Riduwan, dalam Metode dan Teknik Menyusun Tesis, (Bandung, Alfabeta, 2004), cet. Ke-1, hal. 56 – 65, sampel adalah bagian dari populasi atau wakil populasi yang diteliti. Jadi sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi. Tekhnik pengambilan sampel ada dua, yaitu  probability sampling dan non probability sampling. Salah satu cara tekhnik pengambilan sampel adalah menggunakan rumus Taro Yamane yaitu: n = N/N.d2 +1. (n= jumlah sampel; N = jumlah populasi; d = presisi yang ditetapkan).
[42] Kuesioner atau angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain bersedia memberikan respon (responden) sesuai dengan permintaan pengguna. Tujuan penyebaran angket adalah mencari informasi yang lengkap mengenai suatu masalah dari responden  tanpa merasa khawatir bila responden memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan. Ibid, hal. 99.
[43] Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dengan menggunakan skala likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi dimensi, dimensi dijabarkan menjadi sub variabel, sub variabel dijabarkan menjadi indikator-indikator yang dapat diukur. Indikator-idikator yang terukur inilah yang dijadikan guide-line dalam membuat item instrumen berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab. Ibid, hal. 86.
[44] Pendapat ahli dalam penelitian ini diwakili oleh Prof. Abdus Salam Dz, MM, dalam konseling sepanjang bimbingan.
[45] Uji coba pendahuluan ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner di lingkungan tempat kerja penulis, yaitu teman-teman PNS di MAN2 Cirebon.
[46] Ibid, hal 109
[47] Darmana, Imang, Op.Cit, Lampiran.
[48] Sugiyono, Statistik untuk Penelitian,  (Bandung, Alfabeta,  Januari 2011), cet. Ke-18,  hal. 231.
[49] Interview langsung dengan Drs. H. Moh. Farid Marzuki, di Kantor Bazda Kota Cirebon, di Jl. Kanggraksan, pada Sabtu, 21 Januari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar